Terowongan Istiqlal-Katedral, Modal Sosial Kehidupan Beragama
loading...
A
A
A
Nur Rif’ah Hasaniy
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga
Isu-isu intoleransi di Indonesia tidak pernah habis diperbincangkan. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Wahid Foundation, kasus intoleranssi yang melanggar kemerdekaan beragama dan berkeyakinan terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2018 misalnya, telah terjadi sebanyak 192 peristiwa dan 276 tindakan intoleransi. Dari seluruh kasus yang terjadi, tiga bentuk tindakan dengan kasus terbanyak ialah pemidanaan berdasarkan agama atau keyakinan yakni sebanyak 48 kasus, penyesatan agama atau keyakinan yakni 32 kasus dan pelarangan aktivitas yakni sebanyak 31 kasus. Survey serupa yang dilakukan oleh Setara Institute pada tahun 2020 juga menunjukkan hasil yang tidak kalah mencengangkan. Terjadi sebanyak 422 tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Dengan kasus tertinggi yakni berupa tindakan intoleransi sebanyak 62 kasus, penodaan agama sebanyak 32 kasus, dan penolakan mendirikan tempat ibadah sebanyak 17 kasus.
Menanggapi mirisnya fakta intoleransi tersebut, pemerintah lantas dengan gencar dan massif mengampanyekan program penguatan moderasi beragama melalui Kementrian Agama. Kampanye moderasi beragama merupakan solusi yang bisa dibilang cukup tepat. Sebab, berdasarkan temuan berbagai survey yang ada, salah satu faktor utama penyebab terjadinya fenomena intoleransi ini ialah menjamurnya sifat keberagamaan yang eksklusif dan perasaan terpinggirkan dari kehidupan sosial, politik dan ekonomi.
Selain ditempuh melalui penguatan secara ideologis, kampanye moderasi beragama oleh pemerintah seolah terkonfirmasi secara simbolis melalui pembangunan terowongan silaturahmi Masjid Istiqlal-Gereja Katedral di ibu kota negara. Pembangunan terowongan ini sudah barang tentu mendapat berbagai respon dari masyarakat, baik respon positif maupun negatif. Pasalnya, bangunan infrastruktur, atau dalam konteks ini adalah terowongon, yang pada mulanya hanya memiliki nilai guna sebagai jembatan penghubung dari satu tempat ke tempat yang lain, dibubuhi nilai-nilai sosio-agama yakni berupa narasi kerukunan umat beragama.
Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch, misalnya, menyampaikan bahwa pembangunan terowongan tersebut sebenarnya tidak jelek, tetapi tidak pula dapat menyelesaikan persoalan intoleransi yang terjadi di Indonesia. Karena secara substansial, pembangunan tersebut tidak bersentuhan langsung dengan penyelesaian kasus-kasus intoleransi yang selama ini melanda Indonesia. Berbeda dengan Harsono, Plt Kepala BPJPH Kemenag Mastuki HS, dalam artikel opininya menulis, selain sebagai simbol penyatuan secara fisik, terowongan silaturahmi itu menurutnya juga merepresentasikan bertemunya hati, pikiran, sikap dan tindakan dua agama yang secara sosio-teologis memegang kendali utama dalam menciptakan kehidupan yang damai bagi masyarakat Indonesia.
Pembangunan terowongan silaturahmi itu saat ini sudah mencapai 61% selesai. Terowongan dibangun dengan panjang 28,3 m, tinggi 3 m, dan lebar 4,1 m. Desain interiornya berbahan marmer dan dilengkapi railing stainless. Tidak hanya menggunakan tangga, terowongan ini juga dilengkapi lift untuk mempermudah akses penyandang disabilitas. Hal ini menunjukkan bahwa terowongan sengaja dibangun dan didesain sebagai fasilitas publik, tidak hanya untuk kepentingan nilai-nilai sosio-teologis.
Terowongan silaturahmi Istiqlal-Katedral ini sebenarnya bisa didekati dengan banyak sudut pandang, tetapi tulisan ini hendak melihatnya dari sudut pandang teori bridging social capital. Tujuannya adalah untuk melihat, modal sosial apa yang diberikan terowongan itu bagi masa depan kehidupana beragama di Indonesia. Membuat sebuah terowongan memang tidak lantas menjadikan Indonesia sebagai negara yang moderat, rukun dan bersih dari kasus intoleransi. Kendatipun demikian, terowongan silaturahmi tersebut dapat kita lihat sebagai sebuah modal sosial bagi masa depan kehidupan beragama di Indonesia.
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Sunyoto Usman membagi modal, sesuatu yang bisa digunakan untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat sosial, menjadi empat tipe, yakni modal finansial, modal fisik, modal manusia atau human capital dan modal sosial. Terowongan silaturahmi sebagai bangunan bisa berperan sebagai modal fisik. Namun sebagai sebuah simbol, ia juga bisa berperan sebagai modal sosial. Modal fisik adalah faktor produksi barang atau jasa, dapat berupa bahan baku, seperti sumber daya alam dan bahan tambang atau berupa infrastruktur. Sedangkan modal sosial adalah usaha untuk mengelola, meningkatkan dan menggunakan relasi sosial untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat sosial.
Menjadikan Indonesia sebagai negara yang moderat dan rukun adalah cita-cita besar dengan banyak tantangan. Meskipun umat muslim adalah warga negara mayoritas di Indonesia, mereka tetap tidak dapat berjalan sebelah tangan. Seluruh warga negara yang berada di bawah naungan NKRI tanpa memandang latar belakang agama, perlu saling bahu membahu untuk menciptakan negara yang aman, damai dan tenteram. Sunyoto Usman menyebut kondisi ini sebagai adaptive capacity. Keadaan di mana masyarakat berusaha beradaptasi atau melakukan survival strategy karena kondisi yang telah berubah. Pada kondisi inilah, modal sosial didayagunakan.
Terdapat dua kategori modal sosial, yakni bonding social capital dan bridging social capital. Bonding social capital mengikat jejaring dari aktor sosial berdasarkan identitas kekerabatan, agama atau adat tertentu, sehingga jejaring dari bonding social capital ini tidak terlalu luas. Berbeda dengan bridging social capital yang mengikat aktor sosial tidak terbatas, sebab relasi yang dibangun melampaui identitas kekerabatan, agama atau adat tertentu. Sehingga peran relasi-relasi dengan networking atau bridging social tersebut lebih kuat dari pada bonding social. Terowongan silaturahmi, secara simbolik telah menyiratkan kesan bridging social tersebut. Sebuah modal kunci bagi masa depan moderasi beragama di Indonesia.
Paparan di atas menyiratkan, pembangunan terowongan silaturahmi Istiqlal-Katedral sebagai citra yang dibentuk oleh pemerintah setidaknya dapat menjadi modal awal untuk menyerukan, mengelorakan dan melanggengkan semangat moderasi beragama sehingga tercipta kerukunan hidup beragama. Namun perlu diingat pula, terowongan silaturahmi tersebut tetap saja hanya sebagai sebuah bangunan infrastrutur sebagaimana fasilitas infrastruktur lainnya tanpa keterlibatan masyarakat yang sadar akan nilai pentingnya kerukunan hidup beragama. Karena itu, penting bagi kita untuk terus menggalakkan dan mengelorakan semangat moderasi beragama dan melawan diskriminasi melalui berbagai kegiatan-kegiatan syiar moderasi.
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga
Isu-isu intoleransi di Indonesia tidak pernah habis diperbincangkan. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Wahid Foundation, kasus intoleranssi yang melanggar kemerdekaan beragama dan berkeyakinan terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2018 misalnya, telah terjadi sebanyak 192 peristiwa dan 276 tindakan intoleransi. Dari seluruh kasus yang terjadi, tiga bentuk tindakan dengan kasus terbanyak ialah pemidanaan berdasarkan agama atau keyakinan yakni sebanyak 48 kasus, penyesatan agama atau keyakinan yakni 32 kasus dan pelarangan aktivitas yakni sebanyak 31 kasus. Survey serupa yang dilakukan oleh Setara Institute pada tahun 2020 juga menunjukkan hasil yang tidak kalah mencengangkan. Terjadi sebanyak 422 tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Dengan kasus tertinggi yakni berupa tindakan intoleransi sebanyak 62 kasus, penodaan agama sebanyak 32 kasus, dan penolakan mendirikan tempat ibadah sebanyak 17 kasus.
Menanggapi mirisnya fakta intoleransi tersebut, pemerintah lantas dengan gencar dan massif mengampanyekan program penguatan moderasi beragama melalui Kementrian Agama. Kampanye moderasi beragama merupakan solusi yang bisa dibilang cukup tepat. Sebab, berdasarkan temuan berbagai survey yang ada, salah satu faktor utama penyebab terjadinya fenomena intoleransi ini ialah menjamurnya sifat keberagamaan yang eksklusif dan perasaan terpinggirkan dari kehidupan sosial, politik dan ekonomi.
Selain ditempuh melalui penguatan secara ideologis, kampanye moderasi beragama oleh pemerintah seolah terkonfirmasi secara simbolis melalui pembangunan terowongan silaturahmi Masjid Istiqlal-Gereja Katedral di ibu kota negara. Pembangunan terowongan ini sudah barang tentu mendapat berbagai respon dari masyarakat, baik respon positif maupun negatif. Pasalnya, bangunan infrastruktur, atau dalam konteks ini adalah terowongon, yang pada mulanya hanya memiliki nilai guna sebagai jembatan penghubung dari satu tempat ke tempat yang lain, dibubuhi nilai-nilai sosio-agama yakni berupa narasi kerukunan umat beragama.
Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch, misalnya, menyampaikan bahwa pembangunan terowongan tersebut sebenarnya tidak jelek, tetapi tidak pula dapat menyelesaikan persoalan intoleransi yang terjadi di Indonesia. Karena secara substansial, pembangunan tersebut tidak bersentuhan langsung dengan penyelesaian kasus-kasus intoleransi yang selama ini melanda Indonesia. Berbeda dengan Harsono, Plt Kepala BPJPH Kemenag Mastuki HS, dalam artikel opininya menulis, selain sebagai simbol penyatuan secara fisik, terowongan silaturahmi itu menurutnya juga merepresentasikan bertemunya hati, pikiran, sikap dan tindakan dua agama yang secara sosio-teologis memegang kendali utama dalam menciptakan kehidupan yang damai bagi masyarakat Indonesia.
Pembangunan terowongan silaturahmi itu saat ini sudah mencapai 61% selesai. Terowongan dibangun dengan panjang 28,3 m, tinggi 3 m, dan lebar 4,1 m. Desain interiornya berbahan marmer dan dilengkapi railing stainless. Tidak hanya menggunakan tangga, terowongan ini juga dilengkapi lift untuk mempermudah akses penyandang disabilitas. Hal ini menunjukkan bahwa terowongan sengaja dibangun dan didesain sebagai fasilitas publik, tidak hanya untuk kepentingan nilai-nilai sosio-teologis.
Terowongan silaturahmi Istiqlal-Katedral ini sebenarnya bisa didekati dengan banyak sudut pandang, tetapi tulisan ini hendak melihatnya dari sudut pandang teori bridging social capital. Tujuannya adalah untuk melihat, modal sosial apa yang diberikan terowongan itu bagi masa depan kehidupana beragama di Indonesia. Membuat sebuah terowongan memang tidak lantas menjadikan Indonesia sebagai negara yang moderat, rukun dan bersih dari kasus intoleransi. Kendatipun demikian, terowongan silaturahmi tersebut dapat kita lihat sebagai sebuah modal sosial bagi masa depan kehidupan beragama di Indonesia.
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Sunyoto Usman membagi modal, sesuatu yang bisa digunakan untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat sosial, menjadi empat tipe, yakni modal finansial, modal fisik, modal manusia atau human capital dan modal sosial. Terowongan silaturahmi sebagai bangunan bisa berperan sebagai modal fisik. Namun sebagai sebuah simbol, ia juga bisa berperan sebagai modal sosial. Modal fisik adalah faktor produksi barang atau jasa, dapat berupa bahan baku, seperti sumber daya alam dan bahan tambang atau berupa infrastruktur. Sedangkan modal sosial adalah usaha untuk mengelola, meningkatkan dan menggunakan relasi sosial untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat sosial.
Menjadikan Indonesia sebagai negara yang moderat dan rukun adalah cita-cita besar dengan banyak tantangan. Meskipun umat muslim adalah warga negara mayoritas di Indonesia, mereka tetap tidak dapat berjalan sebelah tangan. Seluruh warga negara yang berada di bawah naungan NKRI tanpa memandang latar belakang agama, perlu saling bahu membahu untuk menciptakan negara yang aman, damai dan tenteram. Sunyoto Usman menyebut kondisi ini sebagai adaptive capacity. Keadaan di mana masyarakat berusaha beradaptasi atau melakukan survival strategy karena kondisi yang telah berubah. Pada kondisi inilah, modal sosial didayagunakan.
Terdapat dua kategori modal sosial, yakni bonding social capital dan bridging social capital. Bonding social capital mengikat jejaring dari aktor sosial berdasarkan identitas kekerabatan, agama atau adat tertentu, sehingga jejaring dari bonding social capital ini tidak terlalu luas. Berbeda dengan bridging social capital yang mengikat aktor sosial tidak terbatas, sebab relasi yang dibangun melampaui identitas kekerabatan, agama atau adat tertentu. Sehingga peran relasi-relasi dengan networking atau bridging social tersebut lebih kuat dari pada bonding social. Terowongan silaturahmi, secara simbolik telah menyiratkan kesan bridging social tersebut. Sebuah modal kunci bagi masa depan moderasi beragama di Indonesia.
Paparan di atas menyiratkan, pembangunan terowongan silaturahmi Istiqlal-Katedral sebagai citra yang dibentuk oleh pemerintah setidaknya dapat menjadi modal awal untuk menyerukan, mengelorakan dan melanggengkan semangat moderasi beragama sehingga tercipta kerukunan hidup beragama. Namun perlu diingat pula, terowongan silaturahmi tersebut tetap saja hanya sebagai sebuah bangunan infrastrutur sebagaimana fasilitas infrastruktur lainnya tanpa keterlibatan masyarakat yang sadar akan nilai pentingnya kerukunan hidup beragama. Karena itu, penting bagi kita untuk terus menggalakkan dan mengelorakan semangat moderasi beragama dan melawan diskriminasi melalui berbagai kegiatan-kegiatan syiar moderasi.
(war)