Akuakultur Sebagai Lokomotif Ekonomi Indonesia
loading...
A
A
A
Oleh
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
Ketua Umum MAI (Masyarakat Akuakultur Indonesia)
Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan (2010 – 2014; dan 2019 – 2024)
Hingga 2019 (sebelum pandemi covid-19) Indonesia masih berstatus sebagai negara berpendapatan-menengah atas dengan Pendapatan Nasional Kotor (PNK) perkapita 4.050 dolar AS. Suatu negara dinobatkan sebagai negara makmur (high-income country), bila PNK perkapitanya lebih besar dari 12.535 dolar AS (Bank Dunia, 2019). Angka kemiskinan pun masih tinggi, sekitar 30 juta orang (10,2% total penduduk) berdasarkan pada garis kemiskinan BPS (2020) sebesar Rp 460.000/orang/bulan, atau 100 juta orang (37%) menurut garis kemiskinan internasional sebesar 60 dolar AS (Rp 840.000)/orang/bulan (Bank Dunia, 2020). Untuk lulus dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), dan menjadi negara maju dan makmur pada 2045, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia harus diatas 7% per tahun. Selain itu, sebagaimana pengalaman keberhasilan Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan China; Indonesia juga mesti membangun sejumlah industri strategis. Yakni jenis-jenis industri yang dapat menghasilkan nilai tambah, banyak tenaga kerja, forward- and backward-linkages dan multiplier effects yang luas.
Selain makanan dan minuman, perkebunan, ESDM, tekstil, otomotif, dan elektronik sebagai industri strategis nasional sejak awal 1980-an, industri kelautan dan perikanan, khususnya aquaculture (perikanan budidaya) diyakini bisa menjadi industri strategis nasional yang mampu menghasilkan nilai tambah, banyak lapangan kerja, forward- and backward-linkages yang besar, dan multiplier effects yang luas. Lebih dari itu, karena basis dari industri akuakultur adalah SDA terbarukan, maka pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang dihasilkan oleh industri ini pun niscaya akan berkelanjutan (sustainable). Karena sebagian besar aktivitas akuakultur berlangsung di wilayah pedesaan, pesisir, pulau-pulau kecil, dan luar Jawa; maka industri ini bakal mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah (Jawa vs luar Jawa, Desa vs Kota) yang merupakan salah satu permasalahan khronis bangsa.
Potensi Ekonomi Akuakultur
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang 75% wilayahnya berupa laut, dan 28% wilayah daratnya pun berupa ekosistem perairan (danau, sungai, waduk, dan perairan rawa); Indonesia memiliki potensi produksi lestari akuakultur terbesar di dunia, sekitar 100 juta ton/tahun (FAO, 2014). Sejak 2009 Indonesia merupakan produsen akuakultur terbesar kedua dunia, hanya kalah dari China. Pada 2019 total produksi akuakultur – RI mencapai 16,3 juta ton (13,5% total produksi dunia), dimana 9,9 juta ton berupa rumput laut. Sementara produksi akuakultur China di tahun yang sama mencapai 68,4 juta ton (57% produksi dunia). Dan, produksi akuakultur India (peringkat-3 dunia) sebesar 7,8 juta ton (6,5% produksi global).
Sebagai ilustrasi betapa fantastisnya potensi ekonomi akuakultur Indonesia adalah 3 juta ha lahan pesisir yang cocok untuk budidaya tambak udang Vaname. Bila kita mampu mengembangkan 500.000 ha tambak udang Vaname dengan produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun (intensif-moderat), maka akan dihasilkan 20 juta ton atau 20 milyar kg udang setiap tahunnya. Dengan harga udang saat ini 5 dolar AS/kg, maka nilai ekonomi langsungnya sebesar 100 milyar dolar AS/tahun atau sekitar 10% PDB saat ini. Keuntungan bersihnya rata-rata Rp 45 juta/ha/bulan. Artinya, jika mulai tahun depan sampai 2024 kita buka usaha 100.000 tambak udang Vaname setiap tahunnya, maka dari udang saja bisa menyumbangkan 2 persen pertumbuhan ekonomi per tahun. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi sebesar 7% per tahun bagi akuakultur Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Kesempatan kerja langsung (on farm) yang bisa diciptakan dari 500.000 ha tambak udang itu sekitar 2 juta orang, dan tidak langsung (off farm) sekitar 1,5 juta orang. Padahal, banyak sekali komoditas akuakultur lainnya dengan nilai ekonomi sangat tinggi, seperti udang windu, kerapu, kepiting, lobster, abalone, teripang, kerang mutiara, dan rumput laut.
Lebih dari itu, akuakultur tidak hanya meliputi budidaya ikan, krustasea, dan moluska. Tetapi, juga invertebrata, alga mikro, alga makro (rumput laut), lamun (seagrass), dan mikroba dalam ekosistem perairan. Bahkan, dalam dekade terakhir China telah sukses membudidayakan padi di ekosistem laut dengan produktivitas rata-rata 9 ton/ha/tahun (Kentish, 2016). Seiring dengan kemajuan teknologi, terutama bioteknologi, nanoteknologi, dan berbagai jenis teknologi generasi Industri 4.0 seperti IoT, AI, Big Data, dan Blockchain. Maka, budidaya jenis tanaman pangan lainnya (jagung, kedelai, dan umbi-umbian) di dalam ekosistem perairan laut bukanlah hal yang mustahil.
Dengan demikian, akuakultur tidak hanya menghasilkan bahan pangan sumber protein hewani, tetapi juga bahan pangan sumber karbohidrat dan beragam jenis vitamin serta mineral. Di negara-negara maju dan emerging economies lain, berbagai senyawa bioaktif (seperti omega-3, pycocyanin, zeasantin, alginat, dan karagenan) yang diekstraksi dari berbagai biota perairan hasil akuakultur telah dimanfaatkan sebagai bahan baku utama bagi industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, cat, film, bioenergy, dan beragam industri lainnya. Potensi total nilai ekonomi industri bioteknologi kelautan diperkirakan mencapai empat kali lipat industri teknologi informasi (Ministry of Maritime and Fisheries Affairs, Republic of Korea, 2003). Karena sumber utama dari industri bioteknologi kelautan adalah biota laut, dan Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati laut (marine bidoversity) terbesar di dunia, mestinya Indonesia menjadi produsen dan pengekspor utama beragam produk industri bioteknologi kelautan. Ironisnya, Indonesia kini sebagai salah satu pengimpor terbesar di dunia berbagai produk industri bioteknologi kelautan termasuk squalence, minyak ikan, gamat, dan viagra.
Akuakultur juga menghasilkan berbagai jenis perhiasan yang bernilai ekonomi tinggi. Indonesia dikenal sebagai produsen mutiara laut selatan, dan ikan hias terbesar di dunia. Di Malaysia, Thailand, China, Jepang, dan Maldive, kegiatan perikanan budidaya juga dikembangkan sebagai destinasi pariwisata (aquaculture-based tourism). Selain itu, budidaya algae dan flora lainnya juga bisa menyerap CO2 (carbon sink) yang mencegah terjadinya pemanasan global. Sejak 2012 IPB berhasil menemukan 4 spesies alga mikro dari laut dengan kandungan hidrokarbon rata-rata 20% dari total berat keringnya, dan menghasilkan biofuel. Jika kita kembangkan budidaya alga mikro ini pada 2 juta ha lahan pesisir (0,3% total wilayah pesisir Indonesia) terintegrasi dengan industri pengilangannya, maka bisa diproduksi sekitar 2 juta barel biofuel/hari. Jumlah ini melampaui kebutuhan minyak mentah nasional, sekitar 1,4 juta barel/hari. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi menghamburkan devisa untuk impor migas, sekitar Rp 400 trilyun per tahun.
Cetak Biru Pembangunan
Supaya Indonesia menjadi produsen akuakultur terbesar di dunia, dan industri akuakultur menjadi lokomotif perekonomian yang berkontribusi signifikan terhadap terwujudnya Indonesia maju dan makmur pada 2045; maka pemerintah harus menetapkan akuakultur sebagai industri strategis nasional. Salah satu kisah sukses (success story) pembangunan akuakultur sebagai industri strategis nasional adalah budidaya salmon Norwegia.
Norwegia adalah negara maju yang sangat sejahtera, dengan PNK perkapita 82.500 dolar AS (Bank Dunia, 2019). Sektor ekonomi penyumbang terbesar terhadap PDB nya adalah sektor jasa, pariwisata dan ekonomi kreatif (57%), diikuti industri (29%), dan perikanan (6%). Pada 2019, ekspor perikanan Norwegia mencapai 12 milyar dolar AS, terbesar kedua di dunia setelah China. Nilai ekspor itu merupakan yang terbesar kedua setelah ekspor migas, dengan pangsa sekitar 12% total nilai ekspor Norwegia pada 2019. Kontribusi terbesar ekspor perikanan negara ini berasal dari ikan salmon, sekitar 68% total nilai ekspor perikanan. Produksi ikan salmon Norwegia sebagian besar dihasilkan dari budidaya. Sejak diperkenalkan pada tahun 1970-an budidaya salmon Norwegia telah mengalami pertumbuhan yang fenomenal, rata-rata 18,3% per tahun dari 1974 hingga 2019. Pada 2019, produksi budidaya salmon Norwegia mencapai 1,45 juta ton atau 99,98% total produksi salmonnya. Sementara itu, pada 2020 kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap PDB RI baru sekitar 3 persen, dan total nilai ekspor perikanannya hanya 5,2 milyar dolar AS atau peringkat-10 dunia (BPS, 2020; FAO, 2021). Industri budidaya salmon di Norwegia juga menyerap banyak tenaga kerja, menciptakan industrial linkages dan multiplier effects yang besar, dan mensejahterakan pelaku usaha secara berkelanjutan. Hampir 50 tahun, budidaya salmon Norwegia pada umumnya sangat sukses, tidak pernah gagal panen dan gagal pasar.
Ada 6 kunci sukses industri budidaya salmon Norwegia. Pertama adalah bahwa setiap unit usaha budidaya salmon menerapkan: (1) economy of scale, (2) Best Aquaculture Practices (BAP), (3) Integrated Supply Chain Management System (ISCMS), dan (4) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Kedua, pemerintah melindungi kawasan budidaya salmon dari konversi (alih fungsi) lahan menjadi kawasan industri manufaktur, pertambangan, pemukiman, dan land use lainnya. Ketiga, pemerintah melindungi kawasan budidaya salmon dari pencemaran yang berasal dari sektor pembangunan maupun wilayah lain. Keempat, pemerintah bersama swasta dan masyarakat mengembangkan pasar salmon di dalam maupun luar negeri. Kelima, skim kredit perbankan khusus dengan suku bunga relatif rendah dan persyaratan lunak. Keenam, iklim investasi dan ease of doing business (seperti perizinan, infrastruktur, keamanan berusaha, dan ketenagakerjaan) dibuat sangat kondusif dan atraktif.
Dengan melakukan benchmarking kepada kisah sukses industri budidaya salmon Norwegia diatas dan dilakukan penyesuaian (adjustments) sesuai kondisi alam dan sosiokultural di Indoensia, maka industri akuakultur tidak hanya akan mampu mengatasi permasalahan kekinian bangsa (kemiskinan, stunting, dan disparitas pembangunan), tetapi juga bakal berkontribusi signifikan bagi terwujudnya Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat pada 2045.
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
Ketua Umum MAI (Masyarakat Akuakultur Indonesia)
Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan (2010 – 2014; dan 2019 – 2024)
Hingga 2019 (sebelum pandemi covid-19) Indonesia masih berstatus sebagai negara berpendapatan-menengah atas dengan Pendapatan Nasional Kotor (PNK) perkapita 4.050 dolar AS. Suatu negara dinobatkan sebagai negara makmur (high-income country), bila PNK perkapitanya lebih besar dari 12.535 dolar AS (Bank Dunia, 2019). Angka kemiskinan pun masih tinggi, sekitar 30 juta orang (10,2% total penduduk) berdasarkan pada garis kemiskinan BPS (2020) sebesar Rp 460.000/orang/bulan, atau 100 juta orang (37%) menurut garis kemiskinan internasional sebesar 60 dolar AS (Rp 840.000)/orang/bulan (Bank Dunia, 2020). Untuk lulus dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), dan menjadi negara maju dan makmur pada 2045, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia harus diatas 7% per tahun. Selain itu, sebagaimana pengalaman keberhasilan Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan China; Indonesia juga mesti membangun sejumlah industri strategis. Yakni jenis-jenis industri yang dapat menghasilkan nilai tambah, banyak tenaga kerja, forward- and backward-linkages dan multiplier effects yang luas.
Selain makanan dan minuman, perkebunan, ESDM, tekstil, otomotif, dan elektronik sebagai industri strategis nasional sejak awal 1980-an, industri kelautan dan perikanan, khususnya aquaculture (perikanan budidaya) diyakini bisa menjadi industri strategis nasional yang mampu menghasilkan nilai tambah, banyak lapangan kerja, forward- and backward-linkages yang besar, dan multiplier effects yang luas. Lebih dari itu, karena basis dari industri akuakultur adalah SDA terbarukan, maka pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang dihasilkan oleh industri ini pun niscaya akan berkelanjutan (sustainable). Karena sebagian besar aktivitas akuakultur berlangsung di wilayah pedesaan, pesisir, pulau-pulau kecil, dan luar Jawa; maka industri ini bakal mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah (Jawa vs luar Jawa, Desa vs Kota) yang merupakan salah satu permasalahan khronis bangsa.
Potensi Ekonomi Akuakultur
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang 75% wilayahnya berupa laut, dan 28% wilayah daratnya pun berupa ekosistem perairan (danau, sungai, waduk, dan perairan rawa); Indonesia memiliki potensi produksi lestari akuakultur terbesar di dunia, sekitar 100 juta ton/tahun (FAO, 2014). Sejak 2009 Indonesia merupakan produsen akuakultur terbesar kedua dunia, hanya kalah dari China. Pada 2019 total produksi akuakultur – RI mencapai 16,3 juta ton (13,5% total produksi dunia), dimana 9,9 juta ton berupa rumput laut. Sementara produksi akuakultur China di tahun yang sama mencapai 68,4 juta ton (57% produksi dunia). Dan, produksi akuakultur India (peringkat-3 dunia) sebesar 7,8 juta ton (6,5% produksi global).
Sebagai ilustrasi betapa fantastisnya potensi ekonomi akuakultur Indonesia adalah 3 juta ha lahan pesisir yang cocok untuk budidaya tambak udang Vaname. Bila kita mampu mengembangkan 500.000 ha tambak udang Vaname dengan produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun (intensif-moderat), maka akan dihasilkan 20 juta ton atau 20 milyar kg udang setiap tahunnya. Dengan harga udang saat ini 5 dolar AS/kg, maka nilai ekonomi langsungnya sebesar 100 milyar dolar AS/tahun atau sekitar 10% PDB saat ini. Keuntungan bersihnya rata-rata Rp 45 juta/ha/bulan. Artinya, jika mulai tahun depan sampai 2024 kita buka usaha 100.000 tambak udang Vaname setiap tahunnya, maka dari udang saja bisa menyumbangkan 2 persen pertumbuhan ekonomi per tahun. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi sebesar 7% per tahun bagi akuakultur Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Kesempatan kerja langsung (on farm) yang bisa diciptakan dari 500.000 ha tambak udang itu sekitar 2 juta orang, dan tidak langsung (off farm) sekitar 1,5 juta orang. Padahal, banyak sekali komoditas akuakultur lainnya dengan nilai ekonomi sangat tinggi, seperti udang windu, kerapu, kepiting, lobster, abalone, teripang, kerang mutiara, dan rumput laut.
Lebih dari itu, akuakultur tidak hanya meliputi budidaya ikan, krustasea, dan moluska. Tetapi, juga invertebrata, alga mikro, alga makro (rumput laut), lamun (seagrass), dan mikroba dalam ekosistem perairan. Bahkan, dalam dekade terakhir China telah sukses membudidayakan padi di ekosistem laut dengan produktivitas rata-rata 9 ton/ha/tahun (Kentish, 2016). Seiring dengan kemajuan teknologi, terutama bioteknologi, nanoteknologi, dan berbagai jenis teknologi generasi Industri 4.0 seperti IoT, AI, Big Data, dan Blockchain. Maka, budidaya jenis tanaman pangan lainnya (jagung, kedelai, dan umbi-umbian) di dalam ekosistem perairan laut bukanlah hal yang mustahil.
Dengan demikian, akuakultur tidak hanya menghasilkan bahan pangan sumber protein hewani, tetapi juga bahan pangan sumber karbohidrat dan beragam jenis vitamin serta mineral. Di negara-negara maju dan emerging economies lain, berbagai senyawa bioaktif (seperti omega-3, pycocyanin, zeasantin, alginat, dan karagenan) yang diekstraksi dari berbagai biota perairan hasil akuakultur telah dimanfaatkan sebagai bahan baku utama bagi industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, cat, film, bioenergy, dan beragam industri lainnya. Potensi total nilai ekonomi industri bioteknologi kelautan diperkirakan mencapai empat kali lipat industri teknologi informasi (Ministry of Maritime and Fisheries Affairs, Republic of Korea, 2003). Karena sumber utama dari industri bioteknologi kelautan adalah biota laut, dan Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati laut (marine bidoversity) terbesar di dunia, mestinya Indonesia menjadi produsen dan pengekspor utama beragam produk industri bioteknologi kelautan. Ironisnya, Indonesia kini sebagai salah satu pengimpor terbesar di dunia berbagai produk industri bioteknologi kelautan termasuk squalence, minyak ikan, gamat, dan viagra.
Akuakultur juga menghasilkan berbagai jenis perhiasan yang bernilai ekonomi tinggi. Indonesia dikenal sebagai produsen mutiara laut selatan, dan ikan hias terbesar di dunia. Di Malaysia, Thailand, China, Jepang, dan Maldive, kegiatan perikanan budidaya juga dikembangkan sebagai destinasi pariwisata (aquaculture-based tourism). Selain itu, budidaya algae dan flora lainnya juga bisa menyerap CO2 (carbon sink) yang mencegah terjadinya pemanasan global. Sejak 2012 IPB berhasil menemukan 4 spesies alga mikro dari laut dengan kandungan hidrokarbon rata-rata 20% dari total berat keringnya, dan menghasilkan biofuel. Jika kita kembangkan budidaya alga mikro ini pada 2 juta ha lahan pesisir (0,3% total wilayah pesisir Indonesia) terintegrasi dengan industri pengilangannya, maka bisa diproduksi sekitar 2 juta barel biofuel/hari. Jumlah ini melampaui kebutuhan minyak mentah nasional, sekitar 1,4 juta barel/hari. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi menghamburkan devisa untuk impor migas, sekitar Rp 400 trilyun per tahun.
Cetak Biru Pembangunan
Supaya Indonesia menjadi produsen akuakultur terbesar di dunia, dan industri akuakultur menjadi lokomotif perekonomian yang berkontribusi signifikan terhadap terwujudnya Indonesia maju dan makmur pada 2045; maka pemerintah harus menetapkan akuakultur sebagai industri strategis nasional. Salah satu kisah sukses (success story) pembangunan akuakultur sebagai industri strategis nasional adalah budidaya salmon Norwegia.
Norwegia adalah negara maju yang sangat sejahtera, dengan PNK perkapita 82.500 dolar AS (Bank Dunia, 2019). Sektor ekonomi penyumbang terbesar terhadap PDB nya adalah sektor jasa, pariwisata dan ekonomi kreatif (57%), diikuti industri (29%), dan perikanan (6%). Pada 2019, ekspor perikanan Norwegia mencapai 12 milyar dolar AS, terbesar kedua di dunia setelah China. Nilai ekspor itu merupakan yang terbesar kedua setelah ekspor migas, dengan pangsa sekitar 12% total nilai ekspor Norwegia pada 2019. Kontribusi terbesar ekspor perikanan negara ini berasal dari ikan salmon, sekitar 68% total nilai ekspor perikanan. Produksi ikan salmon Norwegia sebagian besar dihasilkan dari budidaya. Sejak diperkenalkan pada tahun 1970-an budidaya salmon Norwegia telah mengalami pertumbuhan yang fenomenal, rata-rata 18,3% per tahun dari 1974 hingga 2019. Pada 2019, produksi budidaya salmon Norwegia mencapai 1,45 juta ton atau 99,98% total produksi salmonnya. Sementara itu, pada 2020 kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap PDB RI baru sekitar 3 persen, dan total nilai ekspor perikanannya hanya 5,2 milyar dolar AS atau peringkat-10 dunia (BPS, 2020; FAO, 2021). Industri budidaya salmon di Norwegia juga menyerap banyak tenaga kerja, menciptakan industrial linkages dan multiplier effects yang besar, dan mensejahterakan pelaku usaha secara berkelanjutan. Hampir 50 tahun, budidaya salmon Norwegia pada umumnya sangat sukses, tidak pernah gagal panen dan gagal pasar.
Ada 6 kunci sukses industri budidaya salmon Norwegia. Pertama adalah bahwa setiap unit usaha budidaya salmon menerapkan: (1) economy of scale, (2) Best Aquaculture Practices (BAP), (3) Integrated Supply Chain Management System (ISCMS), dan (4) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Kedua, pemerintah melindungi kawasan budidaya salmon dari konversi (alih fungsi) lahan menjadi kawasan industri manufaktur, pertambangan, pemukiman, dan land use lainnya. Ketiga, pemerintah melindungi kawasan budidaya salmon dari pencemaran yang berasal dari sektor pembangunan maupun wilayah lain. Keempat, pemerintah bersama swasta dan masyarakat mengembangkan pasar salmon di dalam maupun luar negeri. Kelima, skim kredit perbankan khusus dengan suku bunga relatif rendah dan persyaratan lunak. Keenam, iklim investasi dan ease of doing business (seperti perizinan, infrastruktur, keamanan berusaha, dan ketenagakerjaan) dibuat sangat kondusif dan atraktif.
Dengan melakukan benchmarking kepada kisah sukses industri budidaya salmon Norwegia diatas dan dilakukan penyesuaian (adjustments) sesuai kondisi alam dan sosiokultural di Indoensia, maka industri akuakultur tidak hanya akan mampu mengatasi permasalahan kekinian bangsa (kemiskinan, stunting, dan disparitas pembangunan), tetapi juga bakal berkontribusi signifikan bagi terwujudnya Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat pada 2045.
(war)