Jauh dari Keluarga, Ciptakan Dampak Psikologis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bagi seseorang yang menetap di negara lain, menghadapi situasi semacam ini tentu tidaklah mudah. Terlebih bagi diaspora yang baru saja datang ke suatu negara.
Pada tahap awal, idealnya para pendatang masih menjalani masa adaptasi. Langkah ini dilakukan karena banyaknya perbedaan antara negara asal dengan negara yang akan ditinggali. Mulai dari perbedaan budaya, tradisi serta pola hidup. Namun, dengan adanya situasi pandemi yang telah mengubah semua aspek kehidupan, orang-orang yang menetap di luar negeri mau tidak mau harus mengeluarkan usaha ekstra cepat untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Tahap inilah yang kemudian dapat mempengaruhi kaum diaspora secara psikologis. Terlebih mereka tinggal jauh dari keluarga. Kekhawatiran yang tinggi terhadap nasib keluarga karena tingkat kasus Covid-19 yang memprihatinkan, sementara ruang gerak mereka sendiri dibatasi di negara yang ditinggali, membuat dampaknya semakin terasa.
Hal tersebut diamini Diaspora Indonesia yang kini tinggal di Thailand, Topan Renyaan. Menurutnya, berada dalam situasi pandemi di negeri orang tidak mudah karena jauh dari keluarga. Sementara, keluarga adalah pihak yang memberikan dorongan terbesar. "Berada di negara lain tidak bersama keluarga pasti cukup berat. Apalagi di masa pandemi seperti ini. Dukungan orang-orang terdekat sangat penting," ujarnya.
Dampak psikologis juga diakui Topan sangat terasa pada saat baru dirinya menginjakkan kaki di Thailand. Saat pertama kali masuk ke negara tersebut, Topan harus memenuhi beberapa persyaratan kesehatan yang cukup ketat seperti hasil tes PCR dan dokumen fit to fly yang lengkap. Kelengkapan dokumen itu menunjukkan bahwa si pendatang sudah siap terbang dalam kondisi sehat dan aman. "Sesampainya di sana, kami juga harus melakukan karantina selama 14 hari di hotel. Jadi, tidak bisa langsung melakukan aktivitas," ujar Topan saat dihubungi MPI.
Beratnya menjalani hidup di negara orang juga dialami Satya. Wanita yang hijrah ke Amerika pada 2017 ini mengaku mulai mengalami stres dengan kondisi yang serba tidak menentu saat memasuki bulan ke-4 dan ke-5 pandemi, yakni Juli dan Agustus. Ditambah, dirinya harus pula mengurus perpanjangan izin tinggal atau Green Card yang cukup rumit serta memakan waktu. "Waktu itu sempat panik, apalagi orang-orang juga lagi panik kan. Saya inget banget waktu itu. Tapi ya pasrah saja," tuturnya.
Media Sosial Jadi Sarana Ampuh Jalin Komunikasi
Satya dan Topan sepakat bahwa dalam kondisi sulit ini, hal terpenting saat ini adalah tetap menjalin komunikasi dengan keluarga. Karena, biar bagaimanapun keluarga merupakan support system yang harus dimiliki saat masa genting seperti ini. Bagi ketiganya, media sosial menjadi sarana ampuh untuk berkomunikasi dengan keluarga. "Sekarang ini ya saya hanya bisa mengandalkan media sosial dan aplikasi berbagi pesan (WhatsApp) untuk menghubungi keluarga. Paling sering sih kami video call," kata Satya.
Ia mengaku sangat bersyukur dengan kecanggihan teknologi yang kini ada. Sebab, mempermudah komunikasi dengan keluarga yang jauh dengannya. Aktivitas serupa juga dilakukan Topan. "Kalau sekarang sebisa mungkin komunikasinya tetap berjalan jangan sampai terputus. Kalau sama keluarga bisa dengan telpon baik lewat whatsapp maupun video call," ujar pria yang bekerja di lembaga internasional ini.
Dalam buku yang ditulis oleh John Canavan, John Pinkerton dan Pat Dolan yang bertajuk ‘Family Support as Reflective Practice’ disebutkan bahwa, dukungan keluarga adalah sebuah bentuk dukungan sosial bagi individu. Dukungan tersebut bersifat informal antar keluarga dan disebut sebagai central helping system. Menurut, Ardi Primasari, Psikolog Klinis, Diaspora Indonesia umumnya mengalami pengurasan energi akibat tidak bisa bertemu dengan keluarga.
"Meskipun memang tidak bisa digeneralisasi ya. Namun, beberapa ada yang mengalami hal itu. Tidak ada yang bisa menggantikan berharganya sebuah pertemuan. Apalagi dengan keluarga. Karena, mereka andil besar dalam memberikan dukungan," ujarnya.
Namun, wanita yang juga bekerja sebagai psikolog di salah satu perusahaan oli dan gas ini sangat optimistis, Diaspora Indonesia mampu berjuang dan bertahan di tengah pandemi Covid-19 ini. Untuk ke depannya, masyarakat harus menyesuaikan diri dengan penggunaan teknologi. Menurutnya, pertemuan secara daring menjadi senjata ampuh untuk bertemu keluarga atau rekan kerja.
Lihat Juga: Sepekan Terjadi 2 Kasus Penembakan, Ketua MPR Dorong Psikologi Anggota Polisi Diperiksa Rutin
Pada tahap awal, idealnya para pendatang masih menjalani masa adaptasi. Langkah ini dilakukan karena banyaknya perbedaan antara negara asal dengan negara yang akan ditinggali. Mulai dari perbedaan budaya, tradisi serta pola hidup. Namun, dengan adanya situasi pandemi yang telah mengubah semua aspek kehidupan, orang-orang yang menetap di luar negeri mau tidak mau harus mengeluarkan usaha ekstra cepat untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Tahap inilah yang kemudian dapat mempengaruhi kaum diaspora secara psikologis. Terlebih mereka tinggal jauh dari keluarga. Kekhawatiran yang tinggi terhadap nasib keluarga karena tingkat kasus Covid-19 yang memprihatinkan, sementara ruang gerak mereka sendiri dibatasi di negara yang ditinggali, membuat dampaknya semakin terasa.
Hal tersebut diamini Diaspora Indonesia yang kini tinggal di Thailand, Topan Renyaan. Menurutnya, berada dalam situasi pandemi di negeri orang tidak mudah karena jauh dari keluarga. Sementara, keluarga adalah pihak yang memberikan dorongan terbesar. "Berada di negara lain tidak bersama keluarga pasti cukup berat. Apalagi di masa pandemi seperti ini. Dukungan orang-orang terdekat sangat penting," ujarnya.
Dampak psikologis juga diakui Topan sangat terasa pada saat baru dirinya menginjakkan kaki di Thailand. Saat pertama kali masuk ke negara tersebut, Topan harus memenuhi beberapa persyaratan kesehatan yang cukup ketat seperti hasil tes PCR dan dokumen fit to fly yang lengkap. Kelengkapan dokumen itu menunjukkan bahwa si pendatang sudah siap terbang dalam kondisi sehat dan aman. "Sesampainya di sana, kami juga harus melakukan karantina selama 14 hari di hotel. Jadi, tidak bisa langsung melakukan aktivitas," ujar Topan saat dihubungi MPI.
Beratnya menjalani hidup di negara orang juga dialami Satya. Wanita yang hijrah ke Amerika pada 2017 ini mengaku mulai mengalami stres dengan kondisi yang serba tidak menentu saat memasuki bulan ke-4 dan ke-5 pandemi, yakni Juli dan Agustus. Ditambah, dirinya harus pula mengurus perpanjangan izin tinggal atau Green Card yang cukup rumit serta memakan waktu. "Waktu itu sempat panik, apalagi orang-orang juga lagi panik kan. Saya inget banget waktu itu. Tapi ya pasrah saja," tuturnya.
Media Sosial Jadi Sarana Ampuh Jalin Komunikasi
Satya dan Topan sepakat bahwa dalam kondisi sulit ini, hal terpenting saat ini adalah tetap menjalin komunikasi dengan keluarga. Karena, biar bagaimanapun keluarga merupakan support system yang harus dimiliki saat masa genting seperti ini. Bagi ketiganya, media sosial menjadi sarana ampuh untuk berkomunikasi dengan keluarga. "Sekarang ini ya saya hanya bisa mengandalkan media sosial dan aplikasi berbagi pesan (WhatsApp) untuk menghubungi keluarga. Paling sering sih kami video call," kata Satya.
Ia mengaku sangat bersyukur dengan kecanggihan teknologi yang kini ada. Sebab, mempermudah komunikasi dengan keluarga yang jauh dengannya. Aktivitas serupa juga dilakukan Topan. "Kalau sekarang sebisa mungkin komunikasinya tetap berjalan jangan sampai terputus. Kalau sama keluarga bisa dengan telpon baik lewat whatsapp maupun video call," ujar pria yang bekerja di lembaga internasional ini.
Dalam buku yang ditulis oleh John Canavan, John Pinkerton dan Pat Dolan yang bertajuk ‘Family Support as Reflective Practice’ disebutkan bahwa, dukungan keluarga adalah sebuah bentuk dukungan sosial bagi individu. Dukungan tersebut bersifat informal antar keluarga dan disebut sebagai central helping system. Menurut, Ardi Primasari, Psikolog Klinis, Diaspora Indonesia umumnya mengalami pengurasan energi akibat tidak bisa bertemu dengan keluarga.
"Meskipun memang tidak bisa digeneralisasi ya. Namun, beberapa ada yang mengalami hal itu. Tidak ada yang bisa menggantikan berharganya sebuah pertemuan. Apalagi dengan keluarga. Karena, mereka andil besar dalam memberikan dukungan," ujarnya.
Namun, wanita yang juga bekerja sebagai psikolog di salah satu perusahaan oli dan gas ini sangat optimistis, Diaspora Indonesia mampu berjuang dan bertahan di tengah pandemi Covid-19 ini. Untuk ke depannya, masyarakat harus menyesuaikan diri dengan penggunaan teknologi. Menurutnya, pertemuan secara daring menjadi senjata ampuh untuk bertemu keluarga atau rekan kerja.
Lihat Juga: Sepekan Terjadi 2 Kasus Penembakan, Ketua MPR Dorong Psikologi Anggota Polisi Diperiksa Rutin
(zik)