Pancasila Sakti
loading...
A
A
A
Prof Dr Phil Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
PANCASILA itu sakti, jika kita menjalankan sila-sila yang kita rapalkan. Pancasila adalah jimat, jika kita resepi dan hormati mantra isinya dan jalankan dalam praktek keseharian butir-butir tafsir kita atas lima Sila itu. Pancasila jaya, jika kita menunjukkan sikap Pancasilais, bukan hanya mengucapkan di bibir kita.
Pancasila bisa kehilangan kesaktiannya, kalau hapalan itu sekadar hapalan. Doktrin sekadar doktrin. Ideologi sekadar ideologi. Dogma sekadar alat untuk berkomunikasi biasa antara yang mempromosikan dan yang harus mentaatinya: tanpa sikap, tanpa komitmen, tanpa ketulusan, atau tanpa aksi nyata dari semua pihak. Pancasila akan tetap ada, tetapi perwujudannya bisa tidak ada. Adanya seperti tiadanya.
Ukuran bagaimana Pancasila itu sakti adalah bagaimana indeks kita meningkat: indeks negara, rakyat, pemerintah. Indeks demokrasi, toleransi beragama, persatuan antar etnis, kebersihan pemerintah, pendidikan rakyat, ekonomi makro dan mikro, politik yang bersih, kesehatan warga, dan hal-hal nyata lainnya. Pancasila adalah tindakan dan bukti nyata kita semua: keseriusan kita di bidang masing-masing dan tugas semua pihak.
Pancasila bukanlah alat komunikasi satu arah antara atas ke bawah. Tetapi Pancasila adalah komunikasi banyak arah, saling melihat dan mendengar. Pemerintah mempunyai program, rakyat mempunyai bayangan dan idealitas tentang negara dan yang menjalankannya. Pemimpin memegang visi ke depan, rakyat hidup sehari-hari penuh dengan kenyataan yang kadangkala menyenangkan, kadangkala membutuhkan peluh perjuangan. Yang beruntung dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik mengerti pada yang kurang beruntung. Yang kurang beruntung berusaha mengejar. Itulah Pancasilais. Pancasila adalah kehidupan dan praktik bukan seandainya, bukan seharusnya, tetapi tindakan kita.
Bagi generasi babyboomers (lahir tahun 1960 sampai 1980) turut menyaksikan bagaimana Pancasila itu telah digunakan sebagai alat kekuasaan, legitimasi dalam memerintah, dan sebagai bahan dalam menekan dan menjaga kelanggengan sebuah Orde. Kita lihat akhirnya rakyat tidak lagi mempercayai kesaktian Pancasila, lahirlah reformasi. Dasar bangsa ini digunakan untuk mempertegas dan meyakinkan rakyat bahwa Pancasila sakti, buktinya ideologi yang lain tidak mampu bertahan. Ideologi Pancasila berjaya. Namun, kenyataannya adakalanya Pancasila juga surut kesaktiannya, marwahnya, bahkan gunanya.
Waktu itu, Pancasila diwujudkan sebagai program dan propaganda sekaligus. Pancasila dihadirkan dengan paksa sebagai bentuk pendidikan warga dan pendidikan sekolah. Pancasila sebagai bahan hafalan dan bahan kurikulum. Semua jenjang pendidkan dari P4, P7, hingga butir-butir yang diperdebatkan dalam forum formal dan informal di semua jejang pendidikan dari dasar hingga perguruan tinggi. Semua hafal dan semua membicarakan Pancasila. Tetapi apakah semua melakukan amalan Pancasila? Sejauh mana kita waktu itu Pancasilais?
Tidak semua. Sebagian serius mendalami Pancasila, merapalkan mantranya. Filsafat Pancasila digarap dijadikan ritual negara. Tafsir Pancasila dikembangkan secara sistematis dan terstruktur. Pancasila menjadi bahan hafalan dan sebagai bahasa yang dimengerti semuanya.
Namun, kesaktian Pancasila menyusut, ketika yang mempromosikan tidak lagi: walk the talk, talk the walk (menjalankan yang dikatakan, mengatakan yang dijalankan). Ada pelanggaran berat yang dilakukan ketika itu. Distribusi sumber daya alam tidak seimbang, pembagian ekonomi tidak merata, teori ekonomi trickle down effect (menetes dari atas ke bawah) tidak jalan. Bocor dimana-mana. Piramida sosial benar-benar berbentuk lancip dan runcing. Atas sedikit jumlahnya, namun menguasai sumber melimpah, baik aset sosial, politik, ekonomi dan agama, sementara yang di bawah gemuk hampa udara. Demokrasi perwakilan mengalami kemerosotan karena Pancasila tidak dijalankan sebagaimana yang dijanjikan, tetapi Pancasila sebagai bahasa yang menguasai, sementara rakyat jelata dibawah piramida menyaksikan kebocoran di tingkat elit.
Tentu ada keberhasilan yang tidak mungkin dihapus begitu saja dalam sejarah manusia Nusantara ini. Periode tahun 1980-an adalah periode emas Pancasila. Tidak seorang pun yang mempu mengkritisi Pancasila versi elit. Pancasila sakti pada tahun-tahun itu, karena ekonomi berkembang baik. Politik terkontrol. Tata sosial rapi. Namun fondasi Pancasila tidak kokoh. Pancasila hanya hafalan. Lagu Indonesia raya sekedar dinyanyikan. Lagu Garuda Pancasila hanya indah di telinga dengan koor yang bersemangat.
Pancasila yang sesungguhnya tidak dihafal melulu. Lagu Indonesia raya yang sesungguhnya harus lebih dari sekedar gema lagu. Lima Sila harus dilaksanakan utamanya oleh yang di atas piramida dari segi sosial, ekonomi, dan politik. Yang di bawah piramida akan melihat bagaimana yang yang mempromosikan benar-benar melakukan itu. Yang tidak beruntung, dan kebetulan akses ke dunia ekonomi, politik, sosial dan agama lebih sedikit, akan menilai apakah kesaktian Pancasila dirasakan, atau hanya sekedar semboyan dan symbol tak bermakna.
Pancasila sungguh sakti. Seperti mantra dan doa. Jika kita tidak melaksanakan apa yang kita doakan dan mantra yang kita rapalkan, dunia tidak akan berubah. Pancasila tidak sakti, jika kita tidak menjalankan lima Sila itu.
Cara tepat melaksanakan Pancasila adalah cara lama yang sudah diresepkan ribuan tahun dipegangi oleh para filosof kuno dari Yunani, Romawi, Arab, China dan kerajaan-kerajaan Nusantara ini. Kerjakan apa yang kita katakan, katakana yang kita kerjakan. Pancasila adalah sikap dan perilaku. Wujudkan Pancasila dalam berkomitmen, berfikir, dan dalam semua tugas yang kita lakukan. Itulah Pancasila.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
PANCASILA itu sakti, jika kita menjalankan sila-sila yang kita rapalkan. Pancasila adalah jimat, jika kita resepi dan hormati mantra isinya dan jalankan dalam praktek keseharian butir-butir tafsir kita atas lima Sila itu. Pancasila jaya, jika kita menunjukkan sikap Pancasilais, bukan hanya mengucapkan di bibir kita.
Pancasila bisa kehilangan kesaktiannya, kalau hapalan itu sekadar hapalan. Doktrin sekadar doktrin. Ideologi sekadar ideologi. Dogma sekadar alat untuk berkomunikasi biasa antara yang mempromosikan dan yang harus mentaatinya: tanpa sikap, tanpa komitmen, tanpa ketulusan, atau tanpa aksi nyata dari semua pihak. Pancasila akan tetap ada, tetapi perwujudannya bisa tidak ada. Adanya seperti tiadanya.
Ukuran bagaimana Pancasila itu sakti adalah bagaimana indeks kita meningkat: indeks negara, rakyat, pemerintah. Indeks demokrasi, toleransi beragama, persatuan antar etnis, kebersihan pemerintah, pendidikan rakyat, ekonomi makro dan mikro, politik yang bersih, kesehatan warga, dan hal-hal nyata lainnya. Pancasila adalah tindakan dan bukti nyata kita semua: keseriusan kita di bidang masing-masing dan tugas semua pihak.
Pancasila bukanlah alat komunikasi satu arah antara atas ke bawah. Tetapi Pancasila adalah komunikasi banyak arah, saling melihat dan mendengar. Pemerintah mempunyai program, rakyat mempunyai bayangan dan idealitas tentang negara dan yang menjalankannya. Pemimpin memegang visi ke depan, rakyat hidup sehari-hari penuh dengan kenyataan yang kadangkala menyenangkan, kadangkala membutuhkan peluh perjuangan. Yang beruntung dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik mengerti pada yang kurang beruntung. Yang kurang beruntung berusaha mengejar. Itulah Pancasilais. Pancasila adalah kehidupan dan praktik bukan seandainya, bukan seharusnya, tetapi tindakan kita.
Bagi generasi babyboomers (lahir tahun 1960 sampai 1980) turut menyaksikan bagaimana Pancasila itu telah digunakan sebagai alat kekuasaan, legitimasi dalam memerintah, dan sebagai bahan dalam menekan dan menjaga kelanggengan sebuah Orde. Kita lihat akhirnya rakyat tidak lagi mempercayai kesaktian Pancasila, lahirlah reformasi. Dasar bangsa ini digunakan untuk mempertegas dan meyakinkan rakyat bahwa Pancasila sakti, buktinya ideologi yang lain tidak mampu bertahan. Ideologi Pancasila berjaya. Namun, kenyataannya adakalanya Pancasila juga surut kesaktiannya, marwahnya, bahkan gunanya.
Waktu itu, Pancasila diwujudkan sebagai program dan propaganda sekaligus. Pancasila dihadirkan dengan paksa sebagai bentuk pendidikan warga dan pendidikan sekolah. Pancasila sebagai bahan hafalan dan bahan kurikulum. Semua jenjang pendidkan dari P4, P7, hingga butir-butir yang diperdebatkan dalam forum formal dan informal di semua jejang pendidikan dari dasar hingga perguruan tinggi. Semua hafal dan semua membicarakan Pancasila. Tetapi apakah semua melakukan amalan Pancasila? Sejauh mana kita waktu itu Pancasilais?
Tidak semua. Sebagian serius mendalami Pancasila, merapalkan mantranya. Filsafat Pancasila digarap dijadikan ritual negara. Tafsir Pancasila dikembangkan secara sistematis dan terstruktur. Pancasila menjadi bahan hafalan dan sebagai bahasa yang dimengerti semuanya.
Namun, kesaktian Pancasila menyusut, ketika yang mempromosikan tidak lagi: walk the talk, talk the walk (menjalankan yang dikatakan, mengatakan yang dijalankan). Ada pelanggaran berat yang dilakukan ketika itu. Distribusi sumber daya alam tidak seimbang, pembagian ekonomi tidak merata, teori ekonomi trickle down effect (menetes dari atas ke bawah) tidak jalan. Bocor dimana-mana. Piramida sosial benar-benar berbentuk lancip dan runcing. Atas sedikit jumlahnya, namun menguasai sumber melimpah, baik aset sosial, politik, ekonomi dan agama, sementara yang di bawah gemuk hampa udara. Demokrasi perwakilan mengalami kemerosotan karena Pancasila tidak dijalankan sebagaimana yang dijanjikan, tetapi Pancasila sebagai bahasa yang menguasai, sementara rakyat jelata dibawah piramida menyaksikan kebocoran di tingkat elit.
Tentu ada keberhasilan yang tidak mungkin dihapus begitu saja dalam sejarah manusia Nusantara ini. Periode tahun 1980-an adalah periode emas Pancasila. Tidak seorang pun yang mempu mengkritisi Pancasila versi elit. Pancasila sakti pada tahun-tahun itu, karena ekonomi berkembang baik. Politik terkontrol. Tata sosial rapi. Namun fondasi Pancasila tidak kokoh. Pancasila hanya hafalan. Lagu Indonesia raya sekedar dinyanyikan. Lagu Garuda Pancasila hanya indah di telinga dengan koor yang bersemangat.
Pancasila yang sesungguhnya tidak dihafal melulu. Lagu Indonesia raya yang sesungguhnya harus lebih dari sekedar gema lagu. Lima Sila harus dilaksanakan utamanya oleh yang di atas piramida dari segi sosial, ekonomi, dan politik. Yang di bawah piramida akan melihat bagaimana yang yang mempromosikan benar-benar melakukan itu. Yang tidak beruntung, dan kebetulan akses ke dunia ekonomi, politik, sosial dan agama lebih sedikit, akan menilai apakah kesaktian Pancasila dirasakan, atau hanya sekedar semboyan dan symbol tak bermakna.
Pancasila sungguh sakti. Seperti mantra dan doa. Jika kita tidak melaksanakan apa yang kita doakan dan mantra yang kita rapalkan, dunia tidak akan berubah. Pancasila tidak sakti, jika kita tidak menjalankan lima Sila itu.
Cara tepat melaksanakan Pancasila adalah cara lama yang sudah diresepkan ribuan tahun dipegangi oleh para filosof kuno dari Yunani, Romawi, Arab, China dan kerajaan-kerajaan Nusantara ini. Kerjakan apa yang kita katakan, katakana yang kita kerjakan. Pancasila adalah sikap dan perilaku. Wujudkan Pancasila dalam berkomitmen, berfikir, dan dalam semua tugas yang kita lakukan. Itulah Pancasila.
(muh)