Diduga Langgar Kode Etik, Deputi Penindakan KPK Dilaporkan ke Dewas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) telah melaporkan Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Karyoto ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Laporan itu terkait dugaan pelanggaran kode etik oleh Karyoto dalam memberikan rilis kegiatan tangkap tangan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikdbud) pada 20 Mei 2020.
(Baca juga: Semester Pertama Bekerja, Dewas KPK Lakukan Tiga Fokus Besar)
"Hari ini, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, via email telah menyampaikan surat kepada Dewan Pengawas KPK berupa laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Karyoto," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman, dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Selasa (26/5/2020).
Ada tiga poin utama terkait dugaan pelanggaraan etik yang dilakukan Karyoto. Pertama, melakukan rilis sendiri atas nama Deputi Penindakan KPK. (Baca juga: Dewas Terima 92 Pengaduan Dugaan Pelanggaran oleh Pimpinan KPK)
"Hal ini bertentangan dengan arahan dan evaluasi Dewas KPK yang berisi bahwa yang diperkenankan memberikan pernyataan terkait penanganan suatu perkara (kasus) kepada media adalah Pimpinan KPK dan atau Juru Bicara KPK," terang Boyamin.
Berikutnya, mengenai penyebutan nama-nama secara lengkap tanpa inisial terhadap orang-orang yang dilakukan pengamanan dan atau pemeriksaan. Boyamin menilai, semestinya penyebutan nama itu hanya inisial demi azas praduga tidak bersalah.
"Selama ini release atau konpers KPK atas kegiatan tangkap tangan (OTT) selalu dengan penyebutan inisial untuk nama-nama yang terkait dengan OTT," singgung dia.
Ketiga, terkait penyataan pembuka Karyoto yang merespons pertanyaan wartawan soal informasi adanya kegiatan OTT. Menurut Boyamin, hal itu diduga tidak benar.
"Ini diduga tidak benar karena informasi OTT tidak bocor sehingga tidak ada wartawan yang menanyakan kabar OTT dan diduga OTT diberitahukan oleh Karyoto kepada wartawan dalam bentuk release," imbuh dia.
Selain itu, MAKI juga menyoroti kegiatan OTT terhadap staf UNJ di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Operasi itu diduga tanpa perencanaan matang dan tidak detail mulai dari penerimaan pengaduan masyarakat sampai dengan keputusan penindakan.
Boyamin mengatakan, semestinya sebelum melakukan kegiatan tangkap tangan sudah dipastikan apa modusnya apakah suap atau gratifikasi dan siapa penyelenggara negaranya. Dengan begitu, ketika sudah dilakukan Giat Tangkap Tangan tidak mungkin tidak ditemukan penyelenggara negaranya.
MAKI menuding perencanaan dan analisa perkara terhadap kegiatan tangkap tangan diduga tidak melibatkan jaksa yang bertugas di KPK. Hal ini berdasar hasil giat tangkap tangan yang gagal.
"Jika OTT dilakukan dengan melibatkan jaksa, semestinya tidak gagal sebagaimana selama ini terjadi di KPK. Semestinya melibatkan jaksa sebagai pengendali penanganan perkara untuk memastikan materi substansi peristiwa, kapan eksekusi penangkapan dan penahanan, kewenangan para pihak, dan analisisnya," cecar Boyamin.
Pelaksanaan aksi itu, lanjut Boyamin, diduga tidak tertib dan tidak lengkap administrasi penyelidikan sesuai prosedur (SOP) dan KUHAP. Menurut dia, jika pelaksanaan itu bagus dengan segala administrasi, maka potensi gagalnya operasi itu kecil.
Ia menilai, kegiatan OTT sesuai prosedur standar dilakukan penyadapan terhadap pihak-pihak terkait. Jika dilakukan penyadapan, dirinya meyakini tidak ada izin penyadapan dari Dewas KPK. Begitu juga bila tidak dilakukan penyadapan, maka telah melanggar SOP KPK.
"Kami membatasi diri untuk tidak memasuki pokok perkara apakah dalam OTT tersebut terdapat tindak pidana korupsi (TPK) atau tidak ada TPK. Selanjutnya, menyerahkan sepenuhnya kepada Dewas KPK untuk menindaklanjuti laporan ini sesuai ketentuan yang berlaku," jelas Boyamin.
Sebagai informasi, saat ini penanganan perkara OTT tersebut telah dilimpahkan ke Polda Metro Jaya. Pasalnya, KPK mengaku tak menemukan keterlibatan penyelenggara negara yang merupakan ranah lembaga antirasuah itu. Hingga kini, Polda Metro Jaya belum menetapkan tersangka lantaran perkara tersebut masih terus diperiksa dan didalami.
(Baca juga: Semester Pertama Bekerja, Dewas KPK Lakukan Tiga Fokus Besar)
"Hari ini, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, via email telah menyampaikan surat kepada Dewan Pengawas KPK berupa laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Karyoto," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman, dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Selasa (26/5/2020).
Ada tiga poin utama terkait dugaan pelanggaraan etik yang dilakukan Karyoto. Pertama, melakukan rilis sendiri atas nama Deputi Penindakan KPK. (Baca juga: Dewas Terima 92 Pengaduan Dugaan Pelanggaran oleh Pimpinan KPK)
"Hal ini bertentangan dengan arahan dan evaluasi Dewas KPK yang berisi bahwa yang diperkenankan memberikan pernyataan terkait penanganan suatu perkara (kasus) kepada media adalah Pimpinan KPK dan atau Juru Bicara KPK," terang Boyamin.
Berikutnya, mengenai penyebutan nama-nama secara lengkap tanpa inisial terhadap orang-orang yang dilakukan pengamanan dan atau pemeriksaan. Boyamin menilai, semestinya penyebutan nama itu hanya inisial demi azas praduga tidak bersalah.
"Selama ini release atau konpers KPK atas kegiatan tangkap tangan (OTT) selalu dengan penyebutan inisial untuk nama-nama yang terkait dengan OTT," singgung dia.
Ketiga, terkait penyataan pembuka Karyoto yang merespons pertanyaan wartawan soal informasi adanya kegiatan OTT. Menurut Boyamin, hal itu diduga tidak benar.
"Ini diduga tidak benar karena informasi OTT tidak bocor sehingga tidak ada wartawan yang menanyakan kabar OTT dan diduga OTT diberitahukan oleh Karyoto kepada wartawan dalam bentuk release," imbuh dia.
Selain itu, MAKI juga menyoroti kegiatan OTT terhadap staf UNJ di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Operasi itu diduga tanpa perencanaan matang dan tidak detail mulai dari penerimaan pengaduan masyarakat sampai dengan keputusan penindakan.
Boyamin mengatakan, semestinya sebelum melakukan kegiatan tangkap tangan sudah dipastikan apa modusnya apakah suap atau gratifikasi dan siapa penyelenggara negaranya. Dengan begitu, ketika sudah dilakukan Giat Tangkap Tangan tidak mungkin tidak ditemukan penyelenggara negaranya.
MAKI menuding perencanaan dan analisa perkara terhadap kegiatan tangkap tangan diduga tidak melibatkan jaksa yang bertugas di KPK. Hal ini berdasar hasil giat tangkap tangan yang gagal.
"Jika OTT dilakukan dengan melibatkan jaksa, semestinya tidak gagal sebagaimana selama ini terjadi di KPK. Semestinya melibatkan jaksa sebagai pengendali penanganan perkara untuk memastikan materi substansi peristiwa, kapan eksekusi penangkapan dan penahanan, kewenangan para pihak, dan analisisnya," cecar Boyamin.
Pelaksanaan aksi itu, lanjut Boyamin, diduga tidak tertib dan tidak lengkap administrasi penyelidikan sesuai prosedur (SOP) dan KUHAP. Menurut dia, jika pelaksanaan itu bagus dengan segala administrasi, maka potensi gagalnya operasi itu kecil.
Ia menilai, kegiatan OTT sesuai prosedur standar dilakukan penyadapan terhadap pihak-pihak terkait. Jika dilakukan penyadapan, dirinya meyakini tidak ada izin penyadapan dari Dewas KPK. Begitu juga bila tidak dilakukan penyadapan, maka telah melanggar SOP KPK.
"Kami membatasi diri untuk tidak memasuki pokok perkara apakah dalam OTT tersebut terdapat tindak pidana korupsi (TPK) atau tidak ada TPK. Selanjutnya, menyerahkan sepenuhnya kepada Dewas KPK untuk menindaklanjuti laporan ini sesuai ketentuan yang berlaku," jelas Boyamin.
Sebagai informasi, saat ini penanganan perkara OTT tersebut telah dilimpahkan ke Polda Metro Jaya. Pasalnya, KPK mengaku tak menemukan keterlibatan penyelenggara negara yang merupakan ranah lembaga antirasuah itu. Hingga kini, Polda Metro Jaya belum menetapkan tersangka lantaran perkara tersebut masih terus diperiksa dan didalami.
(maf)