Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan Kembali, Komisi III Cecar Menkumham
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam Rapat Kerja (Raker) di Komisi III DPR, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) , Yasonna H Laoly dicecar oleh sejumlah anggota Komisi III DPR mengenai pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman menjelaskan bahwa pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden itu sudah selesai dibahas di Panja RUU KUHP Komisi III setelah melalui debat yang begitu panjang. Tetapi, definisi penghinaan yang pernah ia pertanyakan itu sampai saat ini tidak jelas, begitu juga dalam RUU KUHP.
"Dalam KUHP yang lama juga tidak jelas akibatnya suka-suka, kalau penguasa tidak suka "wah ini yang kritik ini penghinaan, tangkap". Apa lagi polisi kayak zaman sekarang menjadi alat ya udah enak aja polisinya disuruh tangkap orang ini, kan begitu sekarang ini," ujar Benny di Ruang Rapat Komisi III DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021).
Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat ini melanjutkan pasal penghinaan presiden ini sebenarnya sudah dihapus di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam KUHP. Bahkan, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dihina dengan kerbau di Bundaran HI kala itu pelakunya tidak bisa ditindak ke polisi karena pasal itu sudah dihapus.
"Tidak bisa dibawa ke polisi karena apa? Pasal itu sudah dihapus di dalam KUHP pak," ungkapnya.
Bahkan, kata Benny, yang menghapus kala itu adalah Ketua MK yang saat ini menjadi Menko Polhukam di Kabinet Joko Widodo (Jokowi) dan Maruf Amin, Mahfud MD. Dia mengaku mendengar kabar bahwa Mahfud mendukung agar pasal penghinaan itu dihidupkan kembali dalam KUHP.
"Saya mendengar sayup-sayup bahwa beliau (Mahfud MD) juga mendukung pasal ini dihidupkan lagi, coba dicek nanti kalau saya salah. Kalau saya tidak salah waktu beliau jadi Ketua MK, ya saya termasuk Ketua Panja saat itu menolak, enggak usahlah kita hidupkan pasal penghinaan ini," terang Benny.
"Tapi temen-temen memaksa ya sudah, kalau temen-temen maksa saya paham untuk selamatkan Bapak Presiden Jokowi yang orang suka-sukanya menghina omong di medsos, saya pun betul juga ini, saya setuju itu," sambungnya.
Kemudian, Anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra, Habiburokhman mengkritisi keberadaan pasal penghinaan presiden di dalam draf RKUHP. Menurutnya, pasal tersebut dialihkan ke perdata, bukan pidana. Tujuannya, agar tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang berperan rumpun eksekutif dalam menyelesaikan perkara.
"Saya sendiri dari dulu, dari mahasiswa, paling benci ini pasal. Saya rasa kalau saya ditanya, baiknya ini dialihkan ke ranah perdata saja. Jadi penyelesaiannya ke arah perdata," kata Habiburokhman di kesempatan sama.
Habiburokhman mengatakan selama pasal penghinaan presiden masih masuk ranah pidana maka akan timbul pandangan, pasal tersebut digunakan untuk pihak yang berseberangan dengan pemerintah.
"Tujuan bahwa pasal ini digunakan untuk melawan atau menghabiskan orang yang berseberangan dengan kekuasaan akan terus timbul seobjektif apapun proses peradilannya," kata Habiburokhman.
"Karena apa? Karena kepolisian dan kejaksaan itu masuk dalam rumpun eksekutif," sambungnya.
Lain halnya dengan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Arteria Dahlan. Mneurutnya, lucu jika dalam dua hari terakhir semua media ribut mengenai pasal penghinaan presiden, padahal ini tidak ada kaitannya dengan putusan MK.
Menurutnya, menghina anggota DPR saja bisa dihukum, apalagi menghina seorang kepala negara, sementara negara tetangga pun sudah menerapkan hukuman bagi orang yang menghina presiden.
"Negara sahabat di republik ini di kitab yang sama, ini dihukum. Malah menghina presiden sendiri enggak dihukum, ini kan logika berpikirnya kan enggak ada," ujarnya dalam rapat.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman menjelaskan bahwa pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden itu sudah selesai dibahas di Panja RUU KUHP Komisi III setelah melalui debat yang begitu panjang. Tetapi, definisi penghinaan yang pernah ia pertanyakan itu sampai saat ini tidak jelas, begitu juga dalam RUU KUHP.
"Dalam KUHP yang lama juga tidak jelas akibatnya suka-suka, kalau penguasa tidak suka "wah ini yang kritik ini penghinaan, tangkap". Apa lagi polisi kayak zaman sekarang menjadi alat ya udah enak aja polisinya disuruh tangkap orang ini, kan begitu sekarang ini," ujar Benny di Ruang Rapat Komisi III DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021).
Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat ini melanjutkan pasal penghinaan presiden ini sebenarnya sudah dihapus di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam KUHP. Bahkan, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dihina dengan kerbau di Bundaran HI kala itu pelakunya tidak bisa ditindak ke polisi karena pasal itu sudah dihapus.
"Tidak bisa dibawa ke polisi karena apa? Pasal itu sudah dihapus di dalam KUHP pak," ungkapnya.
Bahkan, kata Benny, yang menghapus kala itu adalah Ketua MK yang saat ini menjadi Menko Polhukam di Kabinet Joko Widodo (Jokowi) dan Maruf Amin, Mahfud MD. Dia mengaku mendengar kabar bahwa Mahfud mendukung agar pasal penghinaan itu dihidupkan kembali dalam KUHP.
"Saya mendengar sayup-sayup bahwa beliau (Mahfud MD) juga mendukung pasal ini dihidupkan lagi, coba dicek nanti kalau saya salah. Kalau saya tidak salah waktu beliau jadi Ketua MK, ya saya termasuk Ketua Panja saat itu menolak, enggak usahlah kita hidupkan pasal penghinaan ini," terang Benny.
"Tapi temen-temen memaksa ya sudah, kalau temen-temen maksa saya paham untuk selamatkan Bapak Presiden Jokowi yang orang suka-sukanya menghina omong di medsos, saya pun betul juga ini, saya setuju itu," sambungnya.
Kemudian, Anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra, Habiburokhman mengkritisi keberadaan pasal penghinaan presiden di dalam draf RKUHP. Menurutnya, pasal tersebut dialihkan ke perdata, bukan pidana. Tujuannya, agar tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang berperan rumpun eksekutif dalam menyelesaikan perkara.
"Saya sendiri dari dulu, dari mahasiswa, paling benci ini pasal. Saya rasa kalau saya ditanya, baiknya ini dialihkan ke ranah perdata saja. Jadi penyelesaiannya ke arah perdata," kata Habiburokhman di kesempatan sama.
Habiburokhman mengatakan selama pasal penghinaan presiden masih masuk ranah pidana maka akan timbul pandangan, pasal tersebut digunakan untuk pihak yang berseberangan dengan pemerintah.
"Tujuan bahwa pasal ini digunakan untuk melawan atau menghabiskan orang yang berseberangan dengan kekuasaan akan terus timbul seobjektif apapun proses peradilannya," kata Habiburokhman.
"Karena apa? Karena kepolisian dan kejaksaan itu masuk dalam rumpun eksekutif," sambungnya.
Lain halnya dengan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Arteria Dahlan. Mneurutnya, lucu jika dalam dua hari terakhir semua media ribut mengenai pasal penghinaan presiden, padahal ini tidak ada kaitannya dengan putusan MK.
Menurutnya, menghina anggota DPR saja bisa dihukum, apalagi menghina seorang kepala negara, sementara negara tetangga pun sudah menerapkan hukuman bagi orang yang menghina presiden.
"Negara sahabat di republik ini di kitab yang sama, ini dihukum. Malah menghina presiden sendiri enggak dihukum, ini kan logika berpikirnya kan enggak ada," ujarnya dalam rapat.
(kri)