Andi Widjajanto Ragu PT TMI Monopoli Pengadaan Alutsista Rp1.760 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ahli Pertahanan, Andi Widjajanto ragu PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) akan memonopoli pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) sekitar Rp1.760 triliun. Sebab, modal awal yang harus dimiliki terlalu besar dan sulit bagi perusahaan manapun untuk memenuhinya.
"Kalau dibilang PT TMI akan ambil semua, Rp1,7 kuadriliun, itu saya yakin, pasti tidak bisa," kata Andi dalam diskusi bertajuk 'Ternyata Anggaran Alutsista Butuh Hingga 3,47 Kuadriliun Bukan Cuma 1.760 Triliun' di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, dikutip pada Senin (7/6/2021).
Andi yang juga merupakan analis Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) kemudian menjelaskannya. "Hitungannya sederhana saja Rp1,7 kuadriliun itu, maka dia equity-nya (penyertaan modal) kira-kira harus 30%. Dari Rp1,7 kuadrilion, katakan Rp600 triliun.” katanya.
Andi melanjutkan, dari Rp600 triliun tersebut, PT TMI harus menyediakan dana sekitar paling tidak Rp200 triliun. "Itu terlalu besar, enggak ada yang bisa melakukan itu di Indonesia bahkan BUMN," kata mantan sekretaris kabinet ini.
"Jadi, mengambil keseluruhan (proyek senilai) Rp1.7 kuadriliun dengan hitungan bisnis normal enggak akan bisa, enggak bisa dicari cara cepat untuk kuasai Rp1.7 kuadriliun itu di tangan satu entitas. Menhan pasti akan lihat BUMN dan BUMS (badan usaha milik swasta) dan diatur bareng-bareng," tambah Andi Widjajanto.
Di sisi lain, dia menilai wajar berdirinya PT TMI dalam memeriahkan industri Alutsista. Perusahaan itu dinilai melihat adanya peluang perluasan bisnis di bidang industri pertahanan seiring dengan disahkannya Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
"UU Ciptaker menyatakan, sekarang boleh swasta jadi lead integrator memproduksi senjata. Sebelum ada UU Ciptaker, yang boleh cuma delapan BUMN," katanya.
Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa swasta diperkenankan menjual dan memproduksi senjata atas izin menteri pertahanan. Kemudian, wajib ada alih teknologi sesuai mandat UU Industri Pertahanan. Merujuk UU Ciptaker, investor asing kini juga diperkenankan menanamkan modal pada industri pertahanan, selain swasta. Sebelumnya, sektor itu masuk terlarang atau tercantum dalam daftar negatif investasi (DNI).
"Jadi, bisa aja Pindad dapat investment joint venture (JV) dengan Jerman, misalnya, seperti yang dilakukan Rheinmetall ke Turki. PT Dirgantara Indonesia juga bisa saja ke Lockheed Martin. TNI AD pengin beli black hawke? Bisa JV buat bikin fasilitas perawatan black hawke," katanya.
"Lantas, apa masalahnya?" tanya Akbar Faisal.
"Saya enggak tahu," jawab Andi Widjajanto.
Dia menambahkan, PT TMI ataupun swasta lainnya belum bisa secara resmi bermain pada industri pertahanan sekalipun sudah mendapat lampu hijau dari UU Ciptaker. Karena, aturan turunan dari Omnibus Law belum terbit hingga kini.
Kata dia, seharusnya aturan turunan itu terbit pada April 2021. "Belum bisa bergerak karena menunggu UU Ciptaker lengkap turunannya. Selama aturan turunan belum lengkap, mereka belum bisa bergerak," imbuhnya.
"Kalau dibilang PT TMI akan ambil semua, Rp1,7 kuadriliun, itu saya yakin, pasti tidak bisa," kata Andi dalam diskusi bertajuk 'Ternyata Anggaran Alutsista Butuh Hingga 3,47 Kuadriliun Bukan Cuma 1.760 Triliun' di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, dikutip pada Senin (7/6/2021).
Andi yang juga merupakan analis Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) kemudian menjelaskannya. "Hitungannya sederhana saja Rp1,7 kuadriliun itu, maka dia equity-nya (penyertaan modal) kira-kira harus 30%. Dari Rp1,7 kuadrilion, katakan Rp600 triliun.” katanya.
Andi melanjutkan, dari Rp600 triliun tersebut, PT TMI harus menyediakan dana sekitar paling tidak Rp200 triliun. "Itu terlalu besar, enggak ada yang bisa melakukan itu di Indonesia bahkan BUMN," kata mantan sekretaris kabinet ini.
"Jadi, mengambil keseluruhan (proyek senilai) Rp1.7 kuadriliun dengan hitungan bisnis normal enggak akan bisa, enggak bisa dicari cara cepat untuk kuasai Rp1.7 kuadriliun itu di tangan satu entitas. Menhan pasti akan lihat BUMN dan BUMS (badan usaha milik swasta) dan diatur bareng-bareng," tambah Andi Widjajanto.
Di sisi lain, dia menilai wajar berdirinya PT TMI dalam memeriahkan industri Alutsista. Perusahaan itu dinilai melihat adanya peluang perluasan bisnis di bidang industri pertahanan seiring dengan disahkannya Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
"UU Ciptaker menyatakan, sekarang boleh swasta jadi lead integrator memproduksi senjata. Sebelum ada UU Ciptaker, yang boleh cuma delapan BUMN," katanya.
Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa swasta diperkenankan menjual dan memproduksi senjata atas izin menteri pertahanan. Kemudian, wajib ada alih teknologi sesuai mandat UU Industri Pertahanan. Merujuk UU Ciptaker, investor asing kini juga diperkenankan menanamkan modal pada industri pertahanan, selain swasta. Sebelumnya, sektor itu masuk terlarang atau tercantum dalam daftar negatif investasi (DNI).
"Jadi, bisa aja Pindad dapat investment joint venture (JV) dengan Jerman, misalnya, seperti yang dilakukan Rheinmetall ke Turki. PT Dirgantara Indonesia juga bisa saja ke Lockheed Martin. TNI AD pengin beli black hawke? Bisa JV buat bikin fasilitas perawatan black hawke," katanya.
"Lantas, apa masalahnya?" tanya Akbar Faisal.
"Saya enggak tahu," jawab Andi Widjajanto.
Dia menambahkan, PT TMI ataupun swasta lainnya belum bisa secara resmi bermain pada industri pertahanan sekalipun sudah mendapat lampu hijau dari UU Ciptaker. Karena, aturan turunan dari Omnibus Law belum terbit hingga kini.
Kata dia, seharusnya aturan turunan itu terbit pada April 2021. "Belum bisa bergerak karena menunggu UU Ciptaker lengkap turunannya. Selama aturan turunan belum lengkap, mereka belum bisa bergerak," imbuhnya.
(cip)