Jangan Asal Galang Dana Publik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Fenomena filantropi yang tumbuh pesat di Indonesia perlu segera diimbangi dengan regulasi dan pola pengelolaan tepat. Kontrol dan transparansi pun menjadi urgen agar dana himpunan dari masyarakat itu bisa disalurkan dengan tepat sasaran.
Masyarakat belakangan kerap menggalang dana melalui media sosial (medsos) untuk beragam keperluan, seperti bantuan untuk korban bencana, pengungsi korban konflik, hingga membeli kapal selam. Lewat pemanfaatan platform media sosial, masyarakat sangat mudah untuk berderma.
Bahkan dalam hitungan hari, dana yang terkumpul bisa mencapai miliaran rupiah. Ini seperti terlihat pada fenomena penggalanan dana untuk donasi Palestina yang diinisasi Ustaz Adi Hidayat atau pembelian kapal selam oleh Himpunan Anak-Anak Muda Masjid (Hamas) Jogokariyan Yogyakarta. Di tengah sikap positif itu, aktivitas filantropi sebaiknya dilakukan melalui lembaga resmi dan mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku.
Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin mengatakan, fenomena filantropi ini harus diapresiasi karena merupakan bagian dari niat baik dan bentuk partisipasi warga dalam mendukung sesama. Menurutnya, masyarakat Indonesia sejak lama dikenal gemar membantu dan gotong royong. Inilah yang dimanfaatkan orang atau kelompok tertentu untuk menggerakkan masyarakat.
“Yang perlu kita perhatikan, niat baik saja tak cukup. Niat baik itu harus bisa dipertanggungjawabkan karena menyangkut dana publik. Yang perlu diperhatikan (lagi) bagaimana bisa dilakukan secara efektif. Karena itulah, kita mendorong kegiatan-kegiatan yang ada bisa disinergikan dengan lembaga-lembaga sosial,” ujarnya, kemarin.
Dalam pengumpulan dana untuk warga Palestina yang diinisiasi Ustaz Adi Hidayat misalnya, uang yang terkumpul mencapai Rp30 miliar. Youtuber Atta Halilintar pun melakukan hal yang sama dengan jumlah dana yang terkumpul sebanyak Rp2,3 miliar. Sedangkan, pengumpulan dana untuk membeli kapal selam yang diusung Hamas Jogokariyan berhasil memperoleh uang hingga Rp2 miliar hanya dalam hitungan hari. Namun Hamid kurang setuju pengumpulan dana dengan tujuan pembelian alutsista itu.
Dari awal, penggalang dana seharusnya memastikan kegiatan filantropi yang dilakukan bisa diimplementasikan. Pemerintah dan TNI pun pernah menyatakan menolak bantuan ini. Menurut Hamid, bantuan yang sudah terkumpul bisa dialihkan untuk kepentingan lain, tapi dengan persetujuan donatur.
“Prinsipnya, setiap penggalangan dana bahwa kegiatan yang disumbang benar-benar riil, realistis, dan bisa dilakukan,” ucapnya.
Dalam pandangan Hamid, harus diakui bahwa di era digital ada tren penggalangan dana yang diusung komunitas dan influencer lebih menonjol. Keunggulan mereka adalah lantaran memiliki banyak pengikut. Filantropi Indonesia perlu mendorong individu atau kelompok masyarakat ini bersinergi dengan lembaga-lembaga sosial yang sudah berpengalaman dalam pengumpulan dana dan penyaluran bantuan.
Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mengatakan pihaknya juga mengawasi pengumpulan dana untuk Palestina. Kewenangan pengawasan ini tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 9/1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB). PUB untuk Palestina memerlukan koordinasi di tingkat kementerian dan lembaga karena aturan penyaluran bantuannya cukup kompleks.
Mantan Wali Kota Surabaya itu mengakui masyarakat Indonesia memiliki panggilan secara spontan untuk membantu warga Palestina.
“Tapi ada aspek kehati-hatian. Kita harus pastikan bantuan itu betul-betul sampai dan akuntabel. Bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Penggalangan dana publik sebisa mungkin menggunakan rekening lembaga sosial yang sudah terdaftar resmi. Ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 29/ 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Dana, Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos) No 56/1996 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan oleh Masyarakat, dan Kepmensos No 1/1995 tentang Pengumpulan Sumbangan untuk Korban Bencana.
Soal pengaturan oleh pemerintah terkait dana sambungan ini, menurut Hamid, adalah sebuah keharusan. Tujuan pengaturan ini agar masyarakat mudah meminta pertanggungjawabannya. Kemudian juga diharapkan kegiatannya bisa berkelanjutan. “Kalau organisasi itu akan terus-menerus. Kalau individu, mungkin besok dia mempunyai kepentingan lain yang membuat kegiatan ditinggal. Akan tetapi, kalau dia bergandengan tangan dengan organisasi, organisasinya bisa terus-menerus (berjalan),” tuturnya.
Dalam UU No 16/2001 tentang Yayasan misalnya disebutkan pengumpulan dana yang mencapai atau lebih dari Rp500 juta harus diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan di media massa. Hamid menjelaskan setiap penggalang dana itu pun harus memberikan laporan kepada masyarakat, baik diminta atau tidak. Dengan demikian, maka tidak boleh ada ketersinggungan kalau ada yang menanyakan dana yang terkumpul dan penyalurannya.
“Tapi yang menanyakan tidak boleh dilandasi dengan kecurigaan tertentu. Mereka harus paham kegiatan pengumpulan dana publik masuk ranah informasi publik. Jadi data harus dibuka ke masyarakat. Mereka harus bersedia ditanya dan dimintai klarifikasi,” tegasnya.
Masalah yang kerap muncul dalam penggalangan dana secara individu adalah adanya dugaan penyelewengan. Dalam kacamata Hamid, hal itu terjadi karena penggalang dana menyampaikan informasi secara sepenggal-sepenggal dan tidak terstruktur. Akhirnya, masyarakat tidak bisa membaca secara utuh.
Uniknya meski tergolong semakin marak, hingga kini, belum ada hitungan pasti berapa potensi dana dari filantropi di Indonesia. Direktur Utama Baznas Arifin Purwakananta mengungkapkan potensi filantropi dari dari zakat, infaq, dan sedekah mencapai Rp300 triliun. Tahun lalu, dana yang terkumpul melalui lembaga amil zakat (LAZ) sebanyak Rp12,7 triliun.
Dia mengatakan di luar itu, masyarakat masih menyalurkan zakat, infaq, dan sedekah secara nonformal atau langsung kepada orang yang membutuhkan. Ini yang tak bisa dihitung jumlah dananya. Arifin menyebut kenaikan donasi masyarakat melalui lembaga resmi sudah cukup baik karena kenaikan sekitar 24% dari tahun 2019.
LAZ, seperti Baznas, Lazismu, dan Lazismu, biasanya memprioritaskan penyaluran dana umat itu untuk delapan asnaf, yakni fakir, miskin, amil, mualaf, hamba sahaya, orang yang memiliki utang, fisabilillah, dan ibnu sabil. Dua porsi terbesar itu untuk orang fakir dan miskin. Hal ini sebagai tuntunan bagi para amil agar mengedepankan problem umat yang paling besar, yakni kemiskinan.
“Masih banyak orang yang tidak bisa makan, sehat, dan sekolah. (Lalu) Apa fokus zakat keseluruhan, kalau saya boleh pakai terminologi SDGs, problematika masyarakat dunia itu enggak ada makanan, kurang air bersih, enggak ada tempat tinggal. Itu seluruhnya dibantu dari dana zakat,” tuturnya.
Terkait dengan munculnya penggalangan dana yang marak oleh individu, komunitas, atau yayasan tertentu, Baznas pun terbuka untuk menjalin bekerja sama. Arifin menjelaskan, pihaknya mendorong yayasan yang sudah mengelola zakat untuk menjadi amil zakat dan mendaftarkan secara resmi dengan memenuhi persyaratan yang berlaku.
Selama ini Baznas pun aktif membantu, mendorong, dan mengajari lembaga-lembaga kecil dalam pengelolaan zakat. Bahkan Baznas mempunyai Program ZakatHub, salah satunya, bekerja sama dengan KitaBisa,com. Pihaknya juga terbuka bagi orang atau lembaga yang baru mulai menggalang dana. “ZakatHUb itu dimaksudkan mengajak masyarakat agar bisa menggalang dana secara baik. (Kemudian) transparan dengan (menggunakan) rekening yayasan. Laporannya disampaikan kepada publik,” tuturnya.
Beda dengan penggalangan umum yang berkiblat pada UU No 9 Tahun 1961, LAZ-LAZ ini payung hukumnya UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Namun bagi Hamid Abidin, ada beberapa poin yang harus ditambahkan pada aturan hukum dalam pengumpulan dana. Dia menilai UU No 9/1961 ini sudah usang.
“Misalnya, soal perizinan itu agak susah diterapkan untuk penggalangan dana bencana. Untuk mengurus izinnya itu perlu waktu sampai berminggu-minggu. Apa iya (lama) untuk menolong korban bencana? Kan enggak mungkin,” jelasnya.
Selain itu, UU tersebut menyatakan izin penggalangan dana harus diperbaharui setiap tiga bulan. Hamid ingin izin itu diperbaharui setahun sekali. Yang paling sulit adalah ruang lingkup penggalangan dana masih terbatas pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional. Di era digital, donasi itu bisa berasal lintas daerah dan negara.
Dia juga mengkritik adanya aturan tidak boleh mengutip uang untuk operasional dalam penggalangan dana bencana. Ini tertuang dalam Kepmensos No 1/1995.
“Bagaimana bisa menyalurkan tanpa ada dana operasional? Misalnya, untuk mengirim beras itu butuh ongkos. Banyak hal yang sudah tidak bisa diterapkan. Sayangnya, belum menjadi prioritas untuk diubah,” katanya.
Di sisi lain, dalam pengelolaan zakat, infak, dan sedekah pun diatur tentang hak amil sebesar 12,5%. Itu tertuang dalam Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No 1/2016 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan Badan Amil Zakat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Masyarakat belakangan kerap menggalang dana melalui media sosial (medsos) untuk beragam keperluan, seperti bantuan untuk korban bencana, pengungsi korban konflik, hingga membeli kapal selam. Lewat pemanfaatan platform media sosial, masyarakat sangat mudah untuk berderma.
Bahkan dalam hitungan hari, dana yang terkumpul bisa mencapai miliaran rupiah. Ini seperti terlihat pada fenomena penggalanan dana untuk donasi Palestina yang diinisasi Ustaz Adi Hidayat atau pembelian kapal selam oleh Himpunan Anak-Anak Muda Masjid (Hamas) Jogokariyan Yogyakarta. Di tengah sikap positif itu, aktivitas filantropi sebaiknya dilakukan melalui lembaga resmi dan mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku.
Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin mengatakan, fenomena filantropi ini harus diapresiasi karena merupakan bagian dari niat baik dan bentuk partisipasi warga dalam mendukung sesama. Menurutnya, masyarakat Indonesia sejak lama dikenal gemar membantu dan gotong royong. Inilah yang dimanfaatkan orang atau kelompok tertentu untuk menggerakkan masyarakat.
“Yang perlu kita perhatikan, niat baik saja tak cukup. Niat baik itu harus bisa dipertanggungjawabkan karena menyangkut dana publik. Yang perlu diperhatikan (lagi) bagaimana bisa dilakukan secara efektif. Karena itulah, kita mendorong kegiatan-kegiatan yang ada bisa disinergikan dengan lembaga-lembaga sosial,” ujarnya, kemarin.
Dalam pengumpulan dana untuk warga Palestina yang diinisiasi Ustaz Adi Hidayat misalnya, uang yang terkumpul mencapai Rp30 miliar. Youtuber Atta Halilintar pun melakukan hal yang sama dengan jumlah dana yang terkumpul sebanyak Rp2,3 miliar. Sedangkan, pengumpulan dana untuk membeli kapal selam yang diusung Hamas Jogokariyan berhasil memperoleh uang hingga Rp2 miliar hanya dalam hitungan hari. Namun Hamid kurang setuju pengumpulan dana dengan tujuan pembelian alutsista itu.
Dari awal, penggalang dana seharusnya memastikan kegiatan filantropi yang dilakukan bisa diimplementasikan. Pemerintah dan TNI pun pernah menyatakan menolak bantuan ini. Menurut Hamid, bantuan yang sudah terkumpul bisa dialihkan untuk kepentingan lain, tapi dengan persetujuan donatur.
“Prinsipnya, setiap penggalangan dana bahwa kegiatan yang disumbang benar-benar riil, realistis, dan bisa dilakukan,” ucapnya.
Dalam pandangan Hamid, harus diakui bahwa di era digital ada tren penggalangan dana yang diusung komunitas dan influencer lebih menonjol. Keunggulan mereka adalah lantaran memiliki banyak pengikut. Filantropi Indonesia perlu mendorong individu atau kelompok masyarakat ini bersinergi dengan lembaga-lembaga sosial yang sudah berpengalaman dalam pengumpulan dana dan penyaluran bantuan.
Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mengatakan pihaknya juga mengawasi pengumpulan dana untuk Palestina. Kewenangan pengawasan ini tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 9/1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB). PUB untuk Palestina memerlukan koordinasi di tingkat kementerian dan lembaga karena aturan penyaluran bantuannya cukup kompleks.
Mantan Wali Kota Surabaya itu mengakui masyarakat Indonesia memiliki panggilan secara spontan untuk membantu warga Palestina.
“Tapi ada aspek kehati-hatian. Kita harus pastikan bantuan itu betul-betul sampai dan akuntabel. Bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Penggalangan dana publik sebisa mungkin menggunakan rekening lembaga sosial yang sudah terdaftar resmi. Ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 29/ 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Dana, Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos) No 56/1996 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan oleh Masyarakat, dan Kepmensos No 1/1995 tentang Pengumpulan Sumbangan untuk Korban Bencana.
Soal pengaturan oleh pemerintah terkait dana sambungan ini, menurut Hamid, adalah sebuah keharusan. Tujuan pengaturan ini agar masyarakat mudah meminta pertanggungjawabannya. Kemudian juga diharapkan kegiatannya bisa berkelanjutan. “Kalau organisasi itu akan terus-menerus. Kalau individu, mungkin besok dia mempunyai kepentingan lain yang membuat kegiatan ditinggal. Akan tetapi, kalau dia bergandengan tangan dengan organisasi, organisasinya bisa terus-menerus (berjalan),” tuturnya.
Dalam UU No 16/2001 tentang Yayasan misalnya disebutkan pengumpulan dana yang mencapai atau lebih dari Rp500 juta harus diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan di media massa. Hamid menjelaskan setiap penggalang dana itu pun harus memberikan laporan kepada masyarakat, baik diminta atau tidak. Dengan demikian, maka tidak boleh ada ketersinggungan kalau ada yang menanyakan dana yang terkumpul dan penyalurannya.
“Tapi yang menanyakan tidak boleh dilandasi dengan kecurigaan tertentu. Mereka harus paham kegiatan pengumpulan dana publik masuk ranah informasi publik. Jadi data harus dibuka ke masyarakat. Mereka harus bersedia ditanya dan dimintai klarifikasi,” tegasnya.
Masalah yang kerap muncul dalam penggalangan dana secara individu adalah adanya dugaan penyelewengan. Dalam kacamata Hamid, hal itu terjadi karena penggalang dana menyampaikan informasi secara sepenggal-sepenggal dan tidak terstruktur. Akhirnya, masyarakat tidak bisa membaca secara utuh.
Uniknya meski tergolong semakin marak, hingga kini, belum ada hitungan pasti berapa potensi dana dari filantropi di Indonesia. Direktur Utama Baznas Arifin Purwakananta mengungkapkan potensi filantropi dari dari zakat, infaq, dan sedekah mencapai Rp300 triliun. Tahun lalu, dana yang terkumpul melalui lembaga amil zakat (LAZ) sebanyak Rp12,7 triliun.
Dia mengatakan di luar itu, masyarakat masih menyalurkan zakat, infaq, dan sedekah secara nonformal atau langsung kepada orang yang membutuhkan. Ini yang tak bisa dihitung jumlah dananya. Arifin menyebut kenaikan donasi masyarakat melalui lembaga resmi sudah cukup baik karena kenaikan sekitar 24% dari tahun 2019.
LAZ, seperti Baznas, Lazismu, dan Lazismu, biasanya memprioritaskan penyaluran dana umat itu untuk delapan asnaf, yakni fakir, miskin, amil, mualaf, hamba sahaya, orang yang memiliki utang, fisabilillah, dan ibnu sabil. Dua porsi terbesar itu untuk orang fakir dan miskin. Hal ini sebagai tuntunan bagi para amil agar mengedepankan problem umat yang paling besar, yakni kemiskinan.
“Masih banyak orang yang tidak bisa makan, sehat, dan sekolah. (Lalu) Apa fokus zakat keseluruhan, kalau saya boleh pakai terminologi SDGs, problematika masyarakat dunia itu enggak ada makanan, kurang air bersih, enggak ada tempat tinggal. Itu seluruhnya dibantu dari dana zakat,” tuturnya.
Terkait dengan munculnya penggalangan dana yang marak oleh individu, komunitas, atau yayasan tertentu, Baznas pun terbuka untuk menjalin bekerja sama. Arifin menjelaskan, pihaknya mendorong yayasan yang sudah mengelola zakat untuk menjadi amil zakat dan mendaftarkan secara resmi dengan memenuhi persyaratan yang berlaku.
Selama ini Baznas pun aktif membantu, mendorong, dan mengajari lembaga-lembaga kecil dalam pengelolaan zakat. Bahkan Baznas mempunyai Program ZakatHub, salah satunya, bekerja sama dengan KitaBisa,com. Pihaknya juga terbuka bagi orang atau lembaga yang baru mulai menggalang dana. “ZakatHUb itu dimaksudkan mengajak masyarakat agar bisa menggalang dana secara baik. (Kemudian) transparan dengan (menggunakan) rekening yayasan. Laporannya disampaikan kepada publik,” tuturnya.
Beda dengan penggalangan umum yang berkiblat pada UU No 9 Tahun 1961, LAZ-LAZ ini payung hukumnya UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Namun bagi Hamid Abidin, ada beberapa poin yang harus ditambahkan pada aturan hukum dalam pengumpulan dana. Dia menilai UU No 9/1961 ini sudah usang.
“Misalnya, soal perizinan itu agak susah diterapkan untuk penggalangan dana bencana. Untuk mengurus izinnya itu perlu waktu sampai berminggu-minggu. Apa iya (lama) untuk menolong korban bencana? Kan enggak mungkin,” jelasnya.
Selain itu, UU tersebut menyatakan izin penggalangan dana harus diperbaharui setiap tiga bulan. Hamid ingin izin itu diperbaharui setahun sekali. Yang paling sulit adalah ruang lingkup penggalangan dana masih terbatas pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional. Di era digital, donasi itu bisa berasal lintas daerah dan negara.
Dia juga mengkritik adanya aturan tidak boleh mengutip uang untuk operasional dalam penggalangan dana bencana. Ini tertuang dalam Kepmensos No 1/1995.
“Bagaimana bisa menyalurkan tanpa ada dana operasional? Misalnya, untuk mengirim beras itu butuh ongkos. Banyak hal yang sudah tidak bisa diterapkan. Sayangnya, belum menjadi prioritas untuk diubah,” katanya.
Di sisi lain, dalam pengelolaan zakat, infak, dan sedekah pun diatur tentang hak amil sebesar 12,5%. Itu tertuang dalam Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No 1/2016 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan Badan Amil Zakat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(ynt)