Masinton Nilai Pelaporan Pimpinan Bukti Nyata Kelompok Powerfull di KPK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TW K) guna alih status pegawai Komisi pmberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) masih terus bergulir hingga saat ini. Para pegawai yang tak lolos TWK pun melaporkan para pimpinan kepada beberapa pihak karena dianggap sengaja menyingkirkan.
Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Masinton Pasaribu menilai polemik TWK itu menjadi bukti nyata adanya friksi ataupun kelompok powerfull yang berada di tubuh KPK.
"Menurut saya ini sudah gamblang yang dulu mungkin publik sebagai besar tidak percaya ketika kita sampaikan ada klik di sana, ada friksi di sana, ada pengelompokan di sana, ada yang merasa powerfull di sana dan itu sekarang terjadi nah sekarang muncul," ujar Masinton dalam diskusi secara daring, Rabu (2/6/2021).
Masinton menilai bahwa beberapa pegawai yang tidak lulus TWK diduga menjadi bagian dari suatu kelompok yang dianggap powerfull. Menurut Masinton, kelompok tersebut merasa paling berintegritas dari pegawai KPK lainnya.
"Nah ternyata dengan kejadian ini mereka merasa bahwa sebagai pemegang otoritas yang paling berintegritas di KPK itu ternyata mereka enggak siap dengan UU yang sekarang yang mengharuskan mereka dapat diangkat sebagai ASN sepanjang memenuhi ketentuan perundang-undangan," jelasnya.
Maka dari itu, adanya pelaporan dari pegawai yang tak lolos dan adanya penolakan dari pegawai yang lolos TWK itu merupakan bukti nyata adanya kelompok powerfull. Hal tersebut tersisih dengan sendirinya oleh TWK.
"Jadi menurut saya ini penolakan ini lebih pada yang selama ini merasa paling mapan dan merasa kelompok yang sangat selama ini mengklaim sebagai penyidik atau penyelidik atau pegawai KPK yang memiliki integritas lebih dibanding yang lainnya," katanya.
"Ini juga persoalan buat teman-teman itu bahwa seakan-akan kalau tanpa mereka kerja agenda pemberantasan korupsi kita tidak bisa berjalan padahal agenda pemberantasan korupsi ini adalah agenda besar negara bukan agenda kelompok per kelompok tapi agenda besar dalam konteks kebangsaan kita menata negara," imbuhnya.
Adanya kelompok powerfull, kata Masinton, telah muncul pada tahun 2017 pada saat dirinya menggelar forum angket dan memanggil Direktur Penyidikan kala itu Aris Budiman. Aris, kata Masinton, mengakui adanya friksi di dalam KPK itu sendiri.
"Friksi antar penyidik ada klik di sana ada yang merasa powerfull bahkan bisa mempengaruhi kebijakan. Nah bahkan juga disampaikan selaku Direktur Penyidikan dia kesulitan dalam hal mengangkat penyidik baru segala macam karena adanya klik di sana dan adanya friksi disana yang selama ini mendominasi KPK yang bekerja bertindak bukan lagi sebatas melakukan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi sesuai agenda negara tapi sudah bekerja melampaui batas-batasan," paparnya.
Masinton pun dengan yang lainnya menyimpulkan pada saat itu KPK itu seakan-akan berdiri di atas negara. Maka dari itu perlu adanya revisi UU KPK untuk kewenangan KPK dalam konteks penegak hukum dengan memberikan asas-asas keadilan kemanfaatan dan kepastian hukum tersebut.
"Karena sebelumnya kita tahu ada beberapa perkara yang memang ditetapkan status hukumnya sebagai tersangka tapi tidak segera dibawa ke pengadilan, tidak kepastian dan keadilan hukum di sana. Maka beberapa poin revisi jelas selain mengatur tentang kewenangan juga status tentang kepegawaian dan juga di UU yang baru dibuatlah Dewas," pungkasnya.
Lihat Juga: Cegah Yasonna ke Luar Negeri, KPK: Keberadaannya di Indonesia Dibutuhkan untuk Penyidikan
Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Masinton Pasaribu menilai polemik TWK itu menjadi bukti nyata adanya friksi ataupun kelompok powerfull yang berada di tubuh KPK.
"Menurut saya ini sudah gamblang yang dulu mungkin publik sebagai besar tidak percaya ketika kita sampaikan ada klik di sana, ada friksi di sana, ada pengelompokan di sana, ada yang merasa powerfull di sana dan itu sekarang terjadi nah sekarang muncul," ujar Masinton dalam diskusi secara daring, Rabu (2/6/2021).
Masinton menilai bahwa beberapa pegawai yang tidak lulus TWK diduga menjadi bagian dari suatu kelompok yang dianggap powerfull. Menurut Masinton, kelompok tersebut merasa paling berintegritas dari pegawai KPK lainnya.
"Nah ternyata dengan kejadian ini mereka merasa bahwa sebagai pemegang otoritas yang paling berintegritas di KPK itu ternyata mereka enggak siap dengan UU yang sekarang yang mengharuskan mereka dapat diangkat sebagai ASN sepanjang memenuhi ketentuan perundang-undangan," jelasnya.
Maka dari itu, adanya pelaporan dari pegawai yang tak lolos dan adanya penolakan dari pegawai yang lolos TWK itu merupakan bukti nyata adanya kelompok powerfull. Hal tersebut tersisih dengan sendirinya oleh TWK.
"Jadi menurut saya ini penolakan ini lebih pada yang selama ini merasa paling mapan dan merasa kelompok yang sangat selama ini mengklaim sebagai penyidik atau penyelidik atau pegawai KPK yang memiliki integritas lebih dibanding yang lainnya," katanya.
"Ini juga persoalan buat teman-teman itu bahwa seakan-akan kalau tanpa mereka kerja agenda pemberantasan korupsi kita tidak bisa berjalan padahal agenda pemberantasan korupsi ini adalah agenda besar negara bukan agenda kelompok per kelompok tapi agenda besar dalam konteks kebangsaan kita menata negara," imbuhnya.
Adanya kelompok powerfull, kata Masinton, telah muncul pada tahun 2017 pada saat dirinya menggelar forum angket dan memanggil Direktur Penyidikan kala itu Aris Budiman. Aris, kata Masinton, mengakui adanya friksi di dalam KPK itu sendiri.
"Friksi antar penyidik ada klik di sana ada yang merasa powerfull bahkan bisa mempengaruhi kebijakan. Nah bahkan juga disampaikan selaku Direktur Penyidikan dia kesulitan dalam hal mengangkat penyidik baru segala macam karena adanya klik di sana dan adanya friksi disana yang selama ini mendominasi KPK yang bekerja bertindak bukan lagi sebatas melakukan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi sesuai agenda negara tapi sudah bekerja melampaui batas-batasan," paparnya.
Masinton pun dengan yang lainnya menyimpulkan pada saat itu KPK itu seakan-akan berdiri di atas negara. Maka dari itu perlu adanya revisi UU KPK untuk kewenangan KPK dalam konteks penegak hukum dengan memberikan asas-asas keadilan kemanfaatan dan kepastian hukum tersebut.
"Karena sebelumnya kita tahu ada beberapa perkara yang memang ditetapkan status hukumnya sebagai tersangka tapi tidak segera dibawa ke pengadilan, tidak kepastian dan keadilan hukum di sana. Maka beberapa poin revisi jelas selain mengatur tentang kewenangan juga status tentang kepegawaian dan juga di UU yang baru dibuatlah Dewas," pungkasnya.
Lihat Juga: Cegah Yasonna ke Luar Negeri, KPK: Keberadaannya di Indonesia Dibutuhkan untuk Penyidikan
(kri)