Halauan Negara, Pertahanan Nasional dan Urgensi Percepatan Infrastruktur Teknologi Informasi
loading...
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum Partai Golkar/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
KASUS pencurian data pribadi berisi informasi lengkap tentang 279 juta warga negara Indonesia (WNI) hendaknya semakin membangun kesadaran bersama tentang urgensi penyediaan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang mumpuni. Karena Indonesia sudah dalam era digital, MPR RI memastikan halauan negara sebagai arah dasar pembangunan nasional yang berkelanjutan akan merekomendasikan percepatan pembangunan infrastruktur TIK sebagai prioritas guna mewujudkan dan mendukung ketahanan siber.
Kapasitas dan kapabilitas Infrastruktur TIK Indonesia memang belum mumpuni, karena target pembangunannya masih jauh dari rampung. Oleh pemerintah, pembangunan infrastruktur TIK ditargetkan rampung pada 2032. Kalau rentang waktu penyelesaiannya masih butuh waktu demikian lama, orang awam sekali pun bisa membayangkan gambaran tentang kapasitas dan kapabilitas infrastruktur TIK nasional saat ini.
Oleh karena kapasitas dan kapabilitasnya yang masih jauh dari memadai, infrastruktur TIK di dalam negeri belum efektif mencegah pembobolan dan pencurian data. Bahkan juga belum mumpuni untuk merespons potensi ancaman atau insiden malicious software yang dikenal dengan sebutan malware.
Dan, oleh karena faktor terbatasnya kapasitas dan kapabilitas itu pula, masih terjadi kesenjangan digital. Hingga tahun ini, sekitar 12.548 desa atau kelurahan belum mendapatkan akses broadband 4G.
Pencurian dan pembobolan data pribadi bukan cerita atau kasus baru. Pencurian dan jual beli data publik sudah lama berlangsung. Terkesan ada pembiaran sehingga pencurian data itu leluasa dilakukan. Sudah lama pula masyarakat mengeluhkan masalah ini, tetapi respon dari pihak berwenang amat minim, bahkan nyaris tidak ada sama sekali.
Contoh kasus yang masih berlangsung hingga hari ini adalah pembocoran atau penyebarluasan nomor telepon seluler pribadi oleh oknum di sejumlah istitusi layanan publik. Masyarakat mengeluh karena nomor teleponnya begitu sering dijejali dengan iklan, promosi dan ragam penawaran jasa atau produk lainnya, termasuk maraknya tawaran kredit tanpa agunan (KTA) yang tidak jelas benar latar belakangnya. Tidak pernah ada respons dari pihak berwenang terhadap fakta seperti ini.
Kasus pencurian data pribadi bermuatan informasi lengkap 279 juta WNI itu memang bukanlah yang pertama. Namun, kasus ini menjadi heboh dan viral karena skalanya yang masif dan detail datanya lengkap. Kasus ini menambah panjang daftar pencurian dan penyalahgunaan data publik. Masyarakat tentu masih dengan beberapa kasus sebelumnya.
Misalnya, dalam rentang waktu setahun terakhir saja, ada lima kasus pembocoran atau pencurian data pribadi yang terekspos ke publik. Sebut saja bocornya data pribadi 230 ribu pasien Covid-19 di Indonesia, bocornya 2,3 juta data pribadi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pembocoran 1,2 juta data pribadi konsumen perusahaan e-commerce Bhinneka, 13 juta data pribadi pemilik akun e-commerce Bukalapak, dan bocornya 91 juta data pribadi pemilik akun e-commerce Tokopedia.
Kebocoran data pribadi informasi lengkap 279 juta WNI yang diperjualbelikan secara online di forum hacker Raid Forums tak hanya menyentak publik, tapi juga menampar pemangku kepentingan. Kominfo turun tangan, BPJS Kesehatan ikut mendalami, karena data yang bocor itu identik dengan data milik BPJS Kesehatan.
Bahkan, Bareskrim Mabes Polri pun ikut pula melakukan pengusutan. Persoalannya memang tidak boleh lagi disederhanakan. Sebab, data yang dperjualbelikan itu meliputi Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, alamat, nomor telepon bahkan besaran atau nilai gaji.
Terlepas dari institusi mana sumber kebocorannya, kasus ini mengonfirmasi dan juga menyadarkan semua pihak tentang urgensi percepatan pembangunan infrastruktur TIK. Tanpa infrastruktur TIK yang mumpuni, Indonesia lemah di sektor ini. Karena kapasitas dan kapabilitasnya masih jauh dari memadai, tidak mengherankan jika pembocoran atau pencurian data pribadi akan menjadi peristiwa atau kasus yang berulang.
Kendati pembocoran dan pencurian itu hanya terfokus pada data pribadi milik masyarakat, kasus ini dengan sangat jelas menggambarkan lemahnya ketahanan siber Indonesia. Kasus ini pun mengusik pemikiran banyak orang tentang aspek ketahanan nasional pada era digital sekarang ini. Apa jadinya jika yang bocor dan dicuri itu data-data tentang rahasia negara yang sifatnya sangat sensiti dan bisa membahayakan pertahanan nasional?
Infrastruktur TIK tak sekadar komponen fisik, tetapi juga berbagai komponen perangkat lunak dan jaringan. Urgensinya nyata dan tak terhindarkan ketika semua orang tak lagi bisa mengingkari perubahan zaman, dari yang sebelumnya konvensional atau serba manual harus segera beralih ke serba digital.
Semua orang, tanpa kecuali, harus mengikuti percepatan perubahan ini. Konsekuensinya jelas, yakni tertinggal, jika menolak atau terlambat mengikuti perubahan sekarang ini.
Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, adalah 5,32, atau sudah meningkat dibandingkan dengan 2018 yang 5,07 (dari skala 0−10). Namun, jika dibandingkan negara lain di tahun 2018, IP-TIK Indonesia masih tertinggal di tingkat Asia Tenggara (ASEAN) sekali pun. Indonesia mendapatkan nilai 4,33 dan menduduki peringkat 111 dari 176 negara.
Peringkat Indonesia itu sangat jauh berada di bawah Singapura yang menempati peringkat 18 dunia dengan nilai IP-TIK sebesar 8,05. Brunei Darussalam dan Malaysia masing-masing berada di posisi 53 dengan nilai IP-TIK 6,75 dan posisi 63 dengan IP-TIK 6,38. Tiga negara yang berada di bawah Indonesia adalah Timor Leste, Myanmar dan Kamboja.
Maka, berpijak pada data terkini, perkembangan global dan derajat kebutuhannya, tidak ada pilihan lain bagi Indonesia kecuali mempercepat pembangunan dan penyediaan infrastruktur TIK yang mumpuni. Manfaat TIK telah menjadi budaya yang tak bisa dipisahkan dari keseharian hidup masyarakat. Karena itu, dari waktu ke waktu, pembangunan infrastruktur TIK harus terus mencatat progres.
MPR RI memastikan bahwa Indonesia tidak akan gagap dalam menanggapi perubahan zaman. Karena itu, dalam Pokok-pokok Halauan Negara yang saat ini sedang dalam tahap perumusan, akan dimunculkan rekomendasi agar pembangunan infrastruktur TIK harus berkelanjutan.
Presiden boleh berganti, tetapi pembangunan infrastruktur TIK boleh terhenti. Karena pemanfaatan dan peruntukannya demikian strategis, infrastruktur TIK Indonesia haruslah mumpuni untuk mendukung ketahanan siber nasional.
Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum Partai Golkar/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
KASUS pencurian data pribadi berisi informasi lengkap tentang 279 juta warga negara Indonesia (WNI) hendaknya semakin membangun kesadaran bersama tentang urgensi penyediaan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang mumpuni. Karena Indonesia sudah dalam era digital, MPR RI memastikan halauan negara sebagai arah dasar pembangunan nasional yang berkelanjutan akan merekomendasikan percepatan pembangunan infrastruktur TIK sebagai prioritas guna mewujudkan dan mendukung ketahanan siber.
Kapasitas dan kapabilitas Infrastruktur TIK Indonesia memang belum mumpuni, karena target pembangunannya masih jauh dari rampung. Oleh pemerintah, pembangunan infrastruktur TIK ditargetkan rampung pada 2032. Kalau rentang waktu penyelesaiannya masih butuh waktu demikian lama, orang awam sekali pun bisa membayangkan gambaran tentang kapasitas dan kapabilitas infrastruktur TIK nasional saat ini.
Oleh karena kapasitas dan kapabilitasnya yang masih jauh dari memadai, infrastruktur TIK di dalam negeri belum efektif mencegah pembobolan dan pencurian data. Bahkan juga belum mumpuni untuk merespons potensi ancaman atau insiden malicious software yang dikenal dengan sebutan malware.
Dan, oleh karena faktor terbatasnya kapasitas dan kapabilitas itu pula, masih terjadi kesenjangan digital. Hingga tahun ini, sekitar 12.548 desa atau kelurahan belum mendapatkan akses broadband 4G.
Pencurian dan pembobolan data pribadi bukan cerita atau kasus baru. Pencurian dan jual beli data publik sudah lama berlangsung. Terkesan ada pembiaran sehingga pencurian data itu leluasa dilakukan. Sudah lama pula masyarakat mengeluhkan masalah ini, tetapi respon dari pihak berwenang amat minim, bahkan nyaris tidak ada sama sekali.
Contoh kasus yang masih berlangsung hingga hari ini adalah pembocoran atau penyebarluasan nomor telepon seluler pribadi oleh oknum di sejumlah istitusi layanan publik. Masyarakat mengeluh karena nomor teleponnya begitu sering dijejali dengan iklan, promosi dan ragam penawaran jasa atau produk lainnya, termasuk maraknya tawaran kredit tanpa agunan (KTA) yang tidak jelas benar latar belakangnya. Tidak pernah ada respons dari pihak berwenang terhadap fakta seperti ini.
Kasus pencurian data pribadi bermuatan informasi lengkap 279 juta WNI itu memang bukanlah yang pertama. Namun, kasus ini menjadi heboh dan viral karena skalanya yang masif dan detail datanya lengkap. Kasus ini menambah panjang daftar pencurian dan penyalahgunaan data publik. Masyarakat tentu masih dengan beberapa kasus sebelumnya.
Misalnya, dalam rentang waktu setahun terakhir saja, ada lima kasus pembocoran atau pencurian data pribadi yang terekspos ke publik. Sebut saja bocornya data pribadi 230 ribu pasien Covid-19 di Indonesia, bocornya 2,3 juta data pribadi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pembocoran 1,2 juta data pribadi konsumen perusahaan e-commerce Bhinneka, 13 juta data pribadi pemilik akun e-commerce Bukalapak, dan bocornya 91 juta data pribadi pemilik akun e-commerce Tokopedia.
Kebocoran data pribadi informasi lengkap 279 juta WNI yang diperjualbelikan secara online di forum hacker Raid Forums tak hanya menyentak publik, tapi juga menampar pemangku kepentingan. Kominfo turun tangan, BPJS Kesehatan ikut mendalami, karena data yang bocor itu identik dengan data milik BPJS Kesehatan.
Bahkan, Bareskrim Mabes Polri pun ikut pula melakukan pengusutan. Persoalannya memang tidak boleh lagi disederhanakan. Sebab, data yang dperjualbelikan itu meliputi Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, alamat, nomor telepon bahkan besaran atau nilai gaji.
Terlepas dari institusi mana sumber kebocorannya, kasus ini mengonfirmasi dan juga menyadarkan semua pihak tentang urgensi percepatan pembangunan infrastruktur TIK. Tanpa infrastruktur TIK yang mumpuni, Indonesia lemah di sektor ini. Karena kapasitas dan kapabilitasnya masih jauh dari memadai, tidak mengherankan jika pembocoran atau pencurian data pribadi akan menjadi peristiwa atau kasus yang berulang.
Kendati pembocoran dan pencurian itu hanya terfokus pada data pribadi milik masyarakat, kasus ini dengan sangat jelas menggambarkan lemahnya ketahanan siber Indonesia. Kasus ini pun mengusik pemikiran banyak orang tentang aspek ketahanan nasional pada era digital sekarang ini. Apa jadinya jika yang bocor dan dicuri itu data-data tentang rahasia negara yang sifatnya sangat sensiti dan bisa membahayakan pertahanan nasional?
Infrastruktur TIK tak sekadar komponen fisik, tetapi juga berbagai komponen perangkat lunak dan jaringan. Urgensinya nyata dan tak terhindarkan ketika semua orang tak lagi bisa mengingkari perubahan zaman, dari yang sebelumnya konvensional atau serba manual harus segera beralih ke serba digital.
Semua orang, tanpa kecuali, harus mengikuti percepatan perubahan ini. Konsekuensinya jelas, yakni tertinggal, jika menolak atau terlambat mengikuti perubahan sekarang ini.
Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, adalah 5,32, atau sudah meningkat dibandingkan dengan 2018 yang 5,07 (dari skala 0−10). Namun, jika dibandingkan negara lain di tahun 2018, IP-TIK Indonesia masih tertinggal di tingkat Asia Tenggara (ASEAN) sekali pun. Indonesia mendapatkan nilai 4,33 dan menduduki peringkat 111 dari 176 negara.
Peringkat Indonesia itu sangat jauh berada di bawah Singapura yang menempati peringkat 18 dunia dengan nilai IP-TIK sebesar 8,05. Brunei Darussalam dan Malaysia masing-masing berada di posisi 53 dengan nilai IP-TIK 6,75 dan posisi 63 dengan IP-TIK 6,38. Tiga negara yang berada di bawah Indonesia adalah Timor Leste, Myanmar dan Kamboja.
Maka, berpijak pada data terkini, perkembangan global dan derajat kebutuhannya, tidak ada pilihan lain bagi Indonesia kecuali mempercepat pembangunan dan penyediaan infrastruktur TIK yang mumpuni. Manfaat TIK telah menjadi budaya yang tak bisa dipisahkan dari keseharian hidup masyarakat. Karena itu, dari waktu ke waktu, pembangunan infrastruktur TIK harus terus mencatat progres.
MPR RI memastikan bahwa Indonesia tidak akan gagap dalam menanggapi perubahan zaman. Karena itu, dalam Pokok-pokok Halauan Negara yang saat ini sedang dalam tahap perumusan, akan dimunculkan rekomendasi agar pembangunan infrastruktur TIK harus berkelanjutan.
Presiden boleh berganti, tetapi pembangunan infrastruktur TIK boleh terhenti. Karena pemanfaatan dan peruntukannya demikian strategis, infrastruktur TIK Indonesia haruslah mumpuni untuk mendukung ketahanan siber nasional.
(poe)