PSHK Temukan 5 Cacat Hukum dalam Alih Status Pegawai KPK
loading...

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menemukan lima cacat hukum dalam alih status pegawai KPK. Foto/SINDOnews
A
A
A
JAKARTA - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait tidak lolosnya 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak serta merta membuat masalah terang benderang.
"Adanya pernyataan Presiden Joko Widodo untuk merancang tindak lanjut bagi 75 pegawai KPK tidak serta membuat permasalahan terang-benderang, karena masih terbuka peluang penonaktifan pegawai KPK dengan alasan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK)," tulis PSHK dalam rilisnya yang diunggah di laman resmi pshk.or.id, Senin (17/5/2021). Baca juga: Menohok, Fadli Zon Usul Pembuat Soal Tes Pegawai KPK Ikut Pendidikan P4
Menurut PSHK, pernyataan Jokowi itu menunjukkan seolah yang bermasalah adalah 75 pegawai KPK tersebut, sehingga perlu mendapatkan pendidikan lanjutan mengenai wawasan kebangsaaan. Padahal pada hakikatnya yang bermasalah adalah TWK itu sendiri, dengan semua pertanyaan yang tidak sesuai dengan konteks kepegawaian KPK. Selain itu, PSHK menyoroti adanya permasalahan mendasar dengan penggunaan TWK secara tertib perundang-undangan untuk alih fungsi pegawai KPK menjadi ASN. Berdasarkan hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menemukan 5 cacat hukum dalam proses alih status pegawai KPK. Baca juga: Febri Diansyah Sebut Ada Kemiripan Penyingkiran 75 Pegawai dan Pelemahan KPK
Pertama, syarat lolos tidaknya pegawai KPK menjadi ASN seharusnya bukan berlandaskan pada TWK. Dasar hukum persyaratan alih status kepegawaian KPK adalah berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua UU KPK (UU 19/2019) khususnya Pasal 69C dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun 2020 Tentang Alih Status Pegawai KPK Pasal 3 dan Pasal 4. PP 41/2020 haruslah diposisikan sebagai lex specialis dalam penyusunan regulasi kepegawaian KPK sehingga, munculnya pelaksanaan TWK dalam Pasal 5 ayat (4) Perkom KPK No. 1 Tahun 2020 menjadi tidak berdasar karena tidak pernah dipersyaratkan dalam PP tersebut.
"Selain proses bermasalah, konteks substansi TWK juga cacat karena basis penilaiannya dari pertanyaan yang irasional, misoginis, diskriminatif, dan tidak berhubungan dengan tugas, pokok, dan fungsi pegawai dalam menjalankan mandatnya di KPK," terangnya.
"Adanya pernyataan Presiden Joko Widodo untuk merancang tindak lanjut bagi 75 pegawai KPK tidak serta membuat permasalahan terang-benderang, karena masih terbuka peluang penonaktifan pegawai KPK dengan alasan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK)," tulis PSHK dalam rilisnya yang diunggah di laman resmi pshk.or.id, Senin (17/5/2021). Baca juga: Menohok, Fadli Zon Usul Pembuat Soal Tes Pegawai KPK Ikut Pendidikan P4
Menurut PSHK, pernyataan Jokowi itu menunjukkan seolah yang bermasalah adalah 75 pegawai KPK tersebut, sehingga perlu mendapatkan pendidikan lanjutan mengenai wawasan kebangsaaan. Padahal pada hakikatnya yang bermasalah adalah TWK itu sendiri, dengan semua pertanyaan yang tidak sesuai dengan konteks kepegawaian KPK. Selain itu, PSHK menyoroti adanya permasalahan mendasar dengan penggunaan TWK secara tertib perundang-undangan untuk alih fungsi pegawai KPK menjadi ASN. Berdasarkan hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menemukan 5 cacat hukum dalam proses alih status pegawai KPK. Baca juga: Febri Diansyah Sebut Ada Kemiripan Penyingkiran 75 Pegawai dan Pelemahan KPK
Pertama, syarat lolos tidaknya pegawai KPK menjadi ASN seharusnya bukan berlandaskan pada TWK. Dasar hukum persyaratan alih status kepegawaian KPK adalah berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua UU KPK (UU 19/2019) khususnya Pasal 69C dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun 2020 Tentang Alih Status Pegawai KPK Pasal 3 dan Pasal 4. PP 41/2020 haruslah diposisikan sebagai lex specialis dalam penyusunan regulasi kepegawaian KPK sehingga, munculnya pelaksanaan TWK dalam Pasal 5 ayat (4) Perkom KPK No. 1 Tahun 2020 menjadi tidak berdasar karena tidak pernah dipersyaratkan dalam PP tersebut.
"Selain proses bermasalah, konteks substansi TWK juga cacat karena basis penilaiannya dari pertanyaan yang irasional, misoginis, diskriminatif, dan tidak berhubungan dengan tugas, pokok, dan fungsi pegawai dalam menjalankan mandatnya di KPK," terangnya.
Lihat Juga :