PSHK Temukan 5 Cacat Hukum dalam Alih Status Pegawai KPK

Rabu, 19 Mei 2021 - 04:55 WIB
loading...
PSHK Temukan 5 Cacat...
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menemukan lima cacat hukum dalam alih status pegawai KPK. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait tidak lolosnya 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak serta merta membuat masalah terang benderang.

"Adanya pernyataan Presiden Joko Widodo untuk merancang tindak lanjut bagi 75 pegawai KPK tidak serta membuat permasalahan terang-benderang, karena masih terbuka peluang penonaktifan pegawai KPK dengan alasan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK)," tulis PSHK dalam rilisnya yang diunggah di laman resmi pshk.or.id, Senin (17/5/2021).

Menurut PSHK, pernyataan Jokowi itu menunjukkan seolah yang bermasalah adalah 75 pegawai KPK tersebut, sehingga perlu mendapatkan pendidikan lanjutan mengenai wawasan kebangsaaan. Padahal pada hakikatnya yang bermasalah adalah TWK itu sendiri, dengan semua pertanyaan yang tidak sesuai dengan konteks kepegawaian KPK. Selain itu, PSHK menyoroti adanya permasalahan mendasar dengan penggunaan TWK secara tertib perundang-undangan untuk alih fungsi pegawai KPK menjadi ASN. Berdasarkan hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menemukan 5 cacat hukum dalam proses alih status pegawai KPK.

Pertama, syarat lolos tidaknya pegawai KPK menjadi ASN seharusnya bukan berlandaskan pada TWK. Dasar hukum persyaratan alih status kepegawaian KPK adalah berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua UU KPK (UU 19/2019) khususnya Pasal 69C dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun 2020 Tentang Alih Status Pegawai KPK Pasal 3 dan Pasal 4. PP 41/2020 haruslah diposisikan sebagai lex specialis dalam penyusunan regulasi kepegawaian KPK sehingga, munculnya pelaksanaan TWK dalam Pasal 5 ayat (4) Perkom KPK No. 1 Tahun 2020 menjadi tidak berdasar karena tidak pernah dipersyaratkan dalam PP tersebut.

"Selain proses bermasalah, konteks substansi TWK juga cacat karena basis penilaiannya dari pertanyaan yang irasional, misoginis, diskriminatif, dan tidak berhubungan dengan tugas, pokok, dan fungsi pegawai dalam menjalankan mandatnya di KPK," terangnya.

Kedua, status nonaktif bagi 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK melanggar Putusan MK No. 70/PUU-XVIII/2019. Putusan ini menyebut pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan kondisi faktual pegawai KPK. Maka, dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan dalam UU KPK.

Adapun rencana tindak lanjut sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi berupa pembinaan dalam bentuk pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan, merupakan bentuk normalisasi dari penggunaan TWK untuk menyaring SDM KPK. Padahal, jelas konteks TWK yang digunakan untuk alih fungsi SDM KPK tidak memenuhi kaidah peraturan perundang-undangan.

Ketiga, Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 yang menyebut bahwa pegawai-pegawai dengan status Tidak Memenuhi Syarat (TMS) diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan (nonjob) sama sekali tidak dikenal dalam UU KPK, bahkan juga tidak diatur dalam PP No. 41 Tahun 2020, Perkom 1 Tahun 2021, dan Perkom 7 Tahun 2020 Tentang Ortaka KPK yang dirujuk dalam Keputusan tersebut.

Keempat, status nonaktif bagi 75 Pegawai KPK dengan dalih gagal lolos TWK adalah tindakan yang melanggar aturan mengenai manajemen Sumber Daya Manusia KPK (SDM KPK) seperti Pasal 19 PP 14 Tahun 2017 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK serta Standar Prosedur baku (SOP) Nomor: SOP-39/50-54/2014 yang merupakan turunan dari Perkom SDM KPK. Sebab dalam aturan tersebut pemberhentian atau pembebastugasan Pegawai KPK bersifat limitatif, yaitu: memasuki usia pensiun, melanggar dispilin dan kode etik, meninggal dunia, atas permintaan sendiri atau tuntutan organisasi. "Artinya, status nonaktif karena tidak memenuhi syarat tertentu seharusnya didasarkan pada sidang kode etik oleh Dewan Pengawas KPK sesuai ketentuan dalam UU KPK," papar PSHK.

Kelima, tindakan Pimpinan KPK bila menonaktifkan 75 pegawai tersebut merupakan perbuatan yang masuk dalam kualifikasi Pasal 70 ayat (1) huruf a UU Administrasi Pemerintahan. Artinya, Pimpinan KPK sebagai pejabat telah mengeluarkan Keputusan dan/atau tindakan yang melampaui batas kewenangan dan melanggar peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan argumentasi tersebut, PSHK menegaskan, pertama, status nonaktif dan segala bentuk turunannya seperti penundaan pemberian tugas hingga pemindahtugasan 75 Pegawai KPK berdasarkan TWK tidak memiliki argumentasi dan pertanggungjawaban hukum yang mengikuti logika penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik.

Kedua, Pimpinan KPK tidak bisa menggunakan alasan tidak lolos TWK sebagai justifikasi memecat, memindahtugaskan, memberhentikan, tidak membayar gaji atau bahkan mengubah status pegawai, baik secara langsung maupun bertahap karena dasar hukumnya sudah bermasalah. Ketiga, posisi TWK sebagai alat asessment alih fungsi pegawai KPK menjadi ASN tidak bisa dilihat sebagai sebuah hal yang normal dan wajar. Perlu ada transparansi dari KPK mengenai konteks penggunaan TWK karena diduga tidak sesuai dengan mandat pegawai KPK dalam menjalankan tugasnya.

Terakhir, PSHK mengawal dan mendukung segala upaya hukum untuk melawan keputusan Pimpinan KPK yang menormalisasi pengunaan TWK bagi 75 pegawai KPK ini karena semangatnya yang bertentangan dengan pemberantasan korupsi.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Berita Terkait
Pakar Hukum Nilai Kasus...
Pakar Hukum Nilai Kasus Hukum La Nyalla Terkesan Dipaksakan
Tahanan KPK Termasuk...
Tahanan KPK Termasuk Hasto Rayakan Paskah di Rutan Merah Putih
Cegah Persepsi Negatif,...
Cegah Persepsi Negatif, KPK Diminta Transparan Terkait Penggeledahan Rumah La Nyalla
Respons Mahfud MD soal...
Respons Mahfud MD soal Isu Ijazah Palsu Jokowi, Jadi Presidennya Tetap Sah
KPK Sebut 1 Pimpinan...
KPK Sebut 1 Pimpinan DPR Belum Lapor Harta Kekayaan
KPK Sebut 16.867 Penyelenggara...
KPK Sebut 16.867 Penyelenggara Negara Belum Lapor Harta Kekayaan
KPK Periksa 2 Mantan...
KPK Periksa 2 Mantan Direktur LPEI Terkait Korupsi Pemberian Kredit Hari Ini
Kusnadi Staf Hasto Cabut...
Kusnadi Staf Hasto Cabut Gugatan Praperadilan Lawan KPK, Kenapa?
KPK Periksa Djoko Tjandra...
KPK Periksa Djoko Tjandra Terkait Kasus Harun Masiku
Rekomendasi
Gibran Sebut Film Jumbo...
Gibran Sebut Film Jumbo Jadi Era Baru Industri Animasi Indonesia
Daftar Kode Redeem FF...
Daftar Kode Redeem FF Free Fire Max Sabtu 10 April 2025, Klaim Sekarang!
Misa Malam Paskah Gereja...
Misa Malam Paskah Gereja Katedral Jakarta: Kepedulian Terharap Masyarakat Miskin
Berita Terkini
Kadin Gelar Halalbihalal...
Kadin Gelar Halalbihalal dengan KKP, Bahas Tantangan Sektor Kelautan dan Perikanan
18 menit yang lalu
Perubahan KUHAP Penting,...
Perubahan KUHAP Penting, Namun Harus Perhatikan Juga Faktor Ini
1 jam yang lalu
Pembukaan Syafest 2025,...
Pembukaan Syafest 2025, Muzani Berharap Lahir Bibit-bibit Calon Pemimpin
5 jam yang lalu
Gelar Halalbihalal,...
Gelar Halalbihalal, Muhammadiyah Tegaskan Komitmennya terhadap Keharmonisan
5 jam yang lalu
Partai Perindo Anggap...
Partai Perindo Anggap Jawa Barat Sangat Penting untuk Segera Digarap Demi Menang Pemilu 2029
6 jam yang lalu
Hasil Lobi ke Arab Saudi,...
Hasil Lobi ke Arab Saudi, Menag: Jemaah Indonesia Usia di Atas 90 Tahun Diizinkan Berhaji
7 jam yang lalu
Infografis
Tegaskan Status Negara...
Tegaskan Status Negara Berdaulat, Taiwan Lawan China di PBB
Copyright ©2025 SINDOnews.com All Rights Reserved