Menyiasati Ancaman bagi Jakarta pada 2050
loading...
A
A
A
Masalah penyediaan air bersih perpipaan ini semakin runyam karena kian kritis dan langkanya kuantitas maupun kualitas air baku permukaan, cekungan tanah, dan hujan. Maraknya alih fungsi lahan nonterbangun seperti ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru menjadi lahan terbangun adalah sederet penyebab yang berujung pada mengeruk air tanah sedalam-dalamnya.
Momentum Pemindahan Ibu Kota
Meningkatkan ruang terbuka hijau merupakan pekerjaan rumah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sementara pemindahan ibu kota bisa menjadi kesempatan emas untuk memastikan regenerasi lingkungan kota. Penetapan fungsi baru pada kawasan yang akan ditinggalkan pemerintah pusat dimainkan melalui instrumen penataan ruang sehingga memudahkan langkah redistribusi dan substitusi ruang yang tentu saja mengarusutamakan penyelesaian masalah substantif Kota Jakarta.
Ruang terbuka hijau (RTH) antara lain satu dari sekian masalah mendasar yang mesti mendapat prioritas alokasi ruang. DKI Jakarta saat ini hanya mencapai 9,98% dari target ideal 30% RTH sebuah kota. Itu pun dengan peningkatan yang sangat lamban, hanya 0,98% sejak 18 tahun lalu.
Langkah awal bisa berupa pemetaan titik kegiatan pemerintah pusat yang berpotensi ditinggalkan, serta mengaudit kesesuaian rencana peruntukan dan pemanfaatan ruang kawasan sekitarnya. Jakarta Pusat yang kini mendominasi kawasan pemerintah pusat bisa dipastikan akan mengalami perubahan struktur dan pola ruang.
Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga sebaiknya melakukan upaya perencanaan sejak dini dengan melakukan pendekatan kepada pemerintah pusat soal pola pengelolaan lahan dan arah pemanfaatan lahan atau bangunan bekas aktivitas pemerintahan. Bukan mustahil alternatif tersebut akan tercapai demi mengentaskan masalah lingkungan Ibu Kota ini.
Desa Berketahanan
Ada hal menarik dalam hubungan desa-kota di tengah situasi pendemi Covid-19 yakni ruralisasi. Kaum urban yang tak lagi bekerja di kota akibat pandemi Covid-19 kembali ke desa. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tenaga kerja di sektor pertanian naik drastis dari 27,53% dari total angkatan kerja atau 36,71 juta orang pada Agustus 2019 menjadi 41,13 juta orang atau 29,76% dari total angkatan kerja pada Agustus 2020.
Peluang tersebut dimanfaatkan pemerintah melalui Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dengan menggelontorkan paket program Ketahanan Pangan Desa, Digitalisasi Ekonomi Desa, Pembaharuan dan Penguatan BUMDes, serta Padat Karya Tunai Desa (PKTD).
Untuk mengimbangi pembangunan sektor ekonominya, akan lebih baik beriringan dengan pembangunan infrastruktur sosial desa. Membangun masyarakat yang inklusif melalui sentuhan infrastruktur fisik. Perbaikan dan penyediaan infrastruktur dasar kesehatan, pendidikan, prasarana dan sarana transportasi, jaringan listrik, air bersih, dan telekomunikasi agar ketahanan ekonomi ditopang oleh ketahanan sosial desa.
Apabila berjalan efektif, selain memperkuat ekonomi desa, program-program tersebut juga akan menjadi pemantik ruralisasi lebih besar lagi di masa mendatang. Bukan mustahil pada saat bersamaan beban Kota Jakarta (juga kota besar lainnya) yang kini overdosis akan berkurang, sembari menormalisasi dirinya menyiasati ancaman risiko lingkungan 2050.
Momentum Pemindahan Ibu Kota
Meningkatkan ruang terbuka hijau merupakan pekerjaan rumah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sementara pemindahan ibu kota bisa menjadi kesempatan emas untuk memastikan regenerasi lingkungan kota. Penetapan fungsi baru pada kawasan yang akan ditinggalkan pemerintah pusat dimainkan melalui instrumen penataan ruang sehingga memudahkan langkah redistribusi dan substitusi ruang yang tentu saja mengarusutamakan penyelesaian masalah substantif Kota Jakarta.
Ruang terbuka hijau (RTH) antara lain satu dari sekian masalah mendasar yang mesti mendapat prioritas alokasi ruang. DKI Jakarta saat ini hanya mencapai 9,98% dari target ideal 30% RTH sebuah kota. Itu pun dengan peningkatan yang sangat lamban, hanya 0,98% sejak 18 tahun lalu.
Langkah awal bisa berupa pemetaan titik kegiatan pemerintah pusat yang berpotensi ditinggalkan, serta mengaudit kesesuaian rencana peruntukan dan pemanfaatan ruang kawasan sekitarnya. Jakarta Pusat yang kini mendominasi kawasan pemerintah pusat bisa dipastikan akan mengalami perubahan struktur dan pola ruang.
Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga sebaiknya melakukan upaya perencanaan sejak dini dengan melakukan pendekatan kepada pemerintah pusat soal pola pengelolaan lahan dan arah pemanfaatan lahan atau bangunan bekas aktivitas pemerintahan. Bukan mustahil alternatif tersebut akan tercapai demi mengentaskan masalah lingkungan Ibu Kota ini.
Desa Berketahanan
Ada hal menarik dalam hubungan desa-kota di tengah situasi pendemi Covid-19 yakni ruralisasi. Kaum urban yang tak lagi bekerja di kota akibat pandemi Covid-19 kembali ke desa. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tenaga kerja di sektor pertanian naik drastis dari 27,53% dari total angkatan kerja atau 36,71 juta orang pada Agustus 2019 menjadi 41,13 juta orang atau 29,76% dari total angkatan kerja pada Agustus 2020.
Peluang tersebut dimanfaatkan pemerintah melalui Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dengan menggelontorkan paket program Ketahanan Pangan Desa, Digitalisasi Ekonomi Desa, Pembaharuan dan Penguatan BUMDes, serta Padat Karya Tunai Desa (PKTD).
Untuk mengimbangi pembangunan sektor ekonominya, akan lebih baik beriringan dengan pembangunan infrastruktur sosial desa. Membangun masyarakat yang inklusif melalui sentuhan infrastruktur fisik. Perbaikan dan penyediaan infrastruktur dasar kesehatan, pendidikan, prasarana dan sarana transportasi, jaringan listrik, air bersih, dan telekomunikasi agar ketahanan ekonomi ditopang oleh ketahanan sosial desa.
Apabila berjalan efektif, selain memperkuat ekonomi desa, program-program tersebut juga akan menjadi pemantik ruralisasi lebih besar lagi di masa mendatang. Bukan mustahil pada saat bersamaan beban Kota Jakarta (juga kota besar lainnya) yang kini overdosis akan berkurang, sembari menormalisasi dirinya menyiasati ancaman risiko lingkungan 2050.