Menyiasati Ancaman bagi Jakarta pada 2050

Rabu, 19 Mei 2021 - 05:30 WIB
loading...
Menyiasati Ancaman bagi...
Marselinus Nirwan Luru (Foto: Istimewa)
A A A
Marselinus Nirwan Luru
Staf Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Jakarta, dan Ketua Ikatan Alumni Teknik Planologi Universitas Trisakti, Jakarta.

LEMBAGA riset Verisk Maplecroft dalam laporan bertajuk “Environmental Risk Outlook 2021” yang dirilis pada 13 Mei 2021 menempatkan Jakarta sebagai kota paling terancam risiko lingkungan. Paling santer adalah Jakarta dinyatakan akan tenggelam pada 2050. Publikasi ilmiah tersebut tidak mengagetkan, malah mengafirmasi beberapa hasil penelitian terdahulu dari lembaga riset ternama lain.

Lebih dari satu hasil penelitian ilmiah yang tak saling menegasikan ibarat alarm yang terus berbunyi kencang seyogianya membangunkan pengelola dan penghuni Ibu Kota. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat patut bergerak cepat soal masa depan DKI Jakarta, berpacu dengan waktu yang terus bergulir mendekati 2050.

Mesti memang diakui bahwa Jakarta saat ini sedang mengidap ketelanjuran pembangunan atas sejarah dan citranya sebagai kota multifungsi sejak beberapa dekade terakhir. Sesungguhnya ketelanjuran yang sedang diratapi telah diantisipasi sejak awal melalui produk penataan ruang demi tertibnya pemanfaatan ruang kota.

Rencana Induk 1965-1985 adalah dokumen penataan ruang pertama yang mengatur pengembangan kota ke segala arah dalam radius 15 kilometer dari Monas. Menyadari pembangunan semakin pesat, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 1985-2005 mengatur kembali pengembangan kota ke barat dan timur Jakarta untuk mengurangi pembangunan di utara yang terancam bencana kenaikan permukaan air laut. Sementara pembangunan di wilayah selatan dibatasi karena merupakan daerah resapan air.

Seiring perkembangan Jakarta yang semakin pesat, kebijakan perencanaan seakan tak kuat menahan arus pembangunan. Rencana tata ruang DKI Jakarta 2010 kembali direvisi. Kali ini keran pembangunan diarahkan ke utara yang sebelumnya terbatas karena alasan rentan risiko bencana, mulai dibuka perlahan. Dokumen tersebut masih berlanjut dan menjadi acuan untuk RTRW 2030 dengan penekanan tetap membatasi pertumbuhan di selatan Jakarta serta pembangunan diarahkan secara vertikal.

Perubahan-perubahan tersebut sedikit-banyak menyumbang perkiraan soal kondisi Jakarta pada 2050 di atas. Walaupun secara perlahan saat ini bencana ekologis sudah acapkali menghampiri Jakarta seperti banjir. Dari enam wilayah administratif Ibu Kota, Jakarta Utara adalah wilayah yang paling terdampak. Apabila sebagian besar wilayah Jakarta mengalami banjir tahunan, sebaliknya sebagian wilayah utara Jakarta dihampiri banjir rob bulanan akibat kenaikan permukaan air laut (Jakarta Open Data 2020).

Satu faktor paling dominan adalah laju penurunan muka tanah yang diprediksi berakibat pada kenaikan permukaan air laut sekitar 125,4-154 cm dalam kurun waktu 2020-2025 (Afifah, dkk, 2017). Lebih lanjut, apabila faktor penurunan muka tanah dihilangkan dari karakteristik bahaya, maka rentang kenaikan tinggi muka air laut yang dihasilkan mengalami penurunan, berkisar antara 59,5 – 159,3 cm dalam kurun waktu yang sama.

Langkah jangka pendek untuk hasil jangka panjang yang disuarakan pemerhati lingkungan adalah menghentikan eksploitasi air tanah. Saran ini ditanggapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan mengatur pemungutan pajak dan membatasi jumlah maksimum pengambilan air tanah melalui Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2017.

Meski demikian, pajak dan pembatasan rasanya tidak efektif jika belum disertai penyediaan air bersih perpipaan. PAM Jaya mencatat, air bersih di Ibu Kota defisit sebanyak 4.500 liter per detik dari jumlah kebutuhan masyarakat Jakarta yang saat ini mencapai 22.500 liter per detik. Sedangkan air bersih yang dikelola oleh Pam Jaya hanya sebanyak 18.000 liter per detik. Adapun kajian Indonesia Water Institute(IWI) pada 2021 menunjukkan bahwa lebih dari 50% wilayah Jakarta mengalami kesulitan air bersih dan diproyeksikan akan mengalami defisit air bersih hingga 2030.

Masalah penyediaan air bersih perpipaan ini semakin runyam karena kian kritis dan langkanya kuantitas maupun kualitas air baku permukaan, cekungan tanah, dan hujan. Maraknya alih fungsi lahan nonterbangun seperti ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru menjadi lahan terbangun adalah sederet penyebab yang berujung pada mengeruk air tanah sedalam-dalamnya.

Momentum Pemindahan Ibu Kota

Meningkatkan ruang terbuka hijau merupakan pekerjaan rumah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sementara pemindahan ibu kota bisa menjadi kesempatan emas untuk memastikan regenerasi lingkungan kota. Penetapan fungsi baru pada kawasan yang akan ditinggalkan pemerintah pusat dimainkan melalui instrumen penataan ruang sehingga memudahkan langkah redistribusi dan substitusi ruang yang tentu saja mengarusutamakan penyelesaian masalah substantif Kota Jakarta.

Ruang terbuka hijau (RTH) antara lain satu dari sekian masalah mendasar yang mesti mendapat prioritas alokasi ruang. DKI Jakarta saat ini hanya mencapai 9,98% dari target ideal 30% RTH sebuah kota. Itu pun dengan peningkatan yang sangat lamban, hanya 0,98% sejak 18 tahun lalu.

Langkah awal bisa berupa pemetaan titik kegiatan pemerintah pusat yang berpotensi ditinggalkan, serta mengaudit kesesuaian rencana peruntukan dan pemanfaatan ruang kawasan sekitarnya. Jakarta Pusat yang kini mendominasi kawasan pemerintah pusat bisa dipastikan akan mengalami perubahan struktur dan pola ruang.

Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga sebaiknya melakukan upaya perencanaan sejak dini dengan melakukan pendekatan kepada pemerintah pusat soal pola pengelolaan lahan dan arah pemanfaatan lahan atau bangunan bekas aktivitas pemerintahan. Bukan mustahil alternatif tersebut akan tercapai demi mengentaskan masalah lingkungan Ibu Kota ini.

Desa Berketahanan
Ada hal menarik dalam hubungan desa-kota di tengah situasi pendemi Covid-19 yakni ruralisasi. Kaum urban yang tak lagi bekerja di kota akibat pandemi Covid-19 kembali ke desa. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tenaga kerja di sektor pertanian naik drastis dari 27,53% dari total angkatan kerja atau 36,71 juta orang pada Agustus 2019 menjadi 41,13 juta orang atau 29,76% dari total angkatan kerja pada Agustus 2020.

Peluang tersebut dimanfaatkan pemerintah melalui Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dengan menggelontorkan paket program Ketahanan Pangan Desa, Digitalisasi Ekonomi Desa, Pembaharuan dan Penguatan BUMDes, serta Padat Karya Tunai Desa (PKTD).

Untuk mengimbangi pembangunan sektor ekonominya, akan lebih baik beriringan dengan pembangunan infrastruktur sosial desa. Membangun masyarakat yang inklusif melalui sentuhan infrastruktur fisik. Perbaikan dan penyediaan infrastruktur dasar kesehatan, pendidikan, prasarana dan sarana transportasi, jaringan listrik, air bersih, dan telekomunikasi agar ketahanan ekonomi ditopang oleh ketahanan sosial desa.

Apabila berjalan efektif, selain memperkuat ekonomi desa, program-program tersebut juga akan menjadi pemantik ruralisasi lebih besar lagi di masa mendatang. Bukan mustahil pada saat bersamaan beban Kota Jakarta (juga kota besar lainnya) yang kini overdosis akan berkurang, sembari menormalisasi dirinya menyiasati ancaman risiko lingkungan 2050.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2021 seconds (0.1#10.140)