LPPP, Ikhtiar agar Pemegang Polis Tak Menangis

Rabu, 19 Mei 2021 - 06:02 WIB
loading...
LPPP, Ikhtiar agar Pemegang Polis Tak Menangis
Sumarjono (Foto: Istimewa)
A A A
Sumarjono
Pengawas Eksekutif Senior, Departemen Pengawasan Khusus IKNB Otoritas Jasa Keuangan

BAGAI tak bisa dicegah, industri asuransi mengalami kontraksi, pascaterkuaknya kasus-kasus jumbo yang menerpa sejumlah perusahaan asuransi. Serbamencengangkan. Dan, para pemegang polis, jika melihat pengalaman yang sudah-sudah, harus bersiap menjadi korban yang tak punya daya.

Memang, fenomena gagal bayar perusahaan asuransi seperti memberi pesan hati-hati kepada para pemegang polis. Apalagi, guncangan dunia asuransi, mulai menyentuh nama-nama besar, yang bahkan sudah berusia sangat panjang dengan klaim sebagai perusahaan asuransi ternama.

Gelombang ketidakpercayaan, kini, mulai merayapi industri asuransi sehingga butuh langkah-langkah strategis agar tak terjadi antipati. Kondisi ini saya bayangkan mirip-mirip yang menimpa industri perbankan pada 1998, saat kita semua ikut terimbas hantaman krisis moneter.

Saat itu, saat dunia perbankan mengalami guncangan berat sehingga pemerintah turun tangan dengan menerbitkan apa yang kemudian dikenal sebagai blanket guarantee. Pada perkembangannya, enam tahun kemudian lahirlah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 22 September 2004.

Lantas bagaimana dengan industri asuransi yang hari-hari ini seperti tak berkutik menghadapi kontraksi? Jawabannya jelas, tidak perlu menunggu enam tahun seperti lahirnya LPS pascakrisis moneter 1998.

Kebutuhan Lembaga Penjamin Pemegang Polis atau LPPP sudah sangat mendesak. Sebab, sudah seharusnya para pemegang polis asuransi dilindungi. Kasihan mereka yang seolah tak berdaya setiap kali perusahaan asuransinya bermasalah. Keberadaan LPPP juga dapat bermanfaat bagi sistem perasuransian secara keseluruhan seperti halnya kehadiran LPS yang bermanfaat bagi sistem perbankan.

Isu memiliki LPPP pada dasarnya sudah menjadi wacana bersama. Setidaknya 10 tahun yang lalu atau bahkan lebih, kajian yang komprehensif telah pula dilakukan dengan bantuan tenaga ahli yang mendalami persoalan-persoalan LPPP. Tidak main-main, para ahli itu memiliki reputasi internasional sehingga rekomendasinya dipastikan juga tidak “kaleng-kaleng”.

Lalu, apa beda fungsi LPS dan LPPP? Mungkinkah LPS bisa menjalankan tugas LPPP? Dua pertanyaan itu sudah pasti menarik dicermati.

Secara umum LPS bertugas antara lain merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan, melaksanakan penjaminan simpanan, ikut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, dan merumuskan, menerapkan, serta melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal yang tidak sistemik.

Sementara itu, untuk menjalankan tugas tersebut, LPS memiliki kewenangan antara lain menetapkan dan memungut premi penjaminan, melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS, mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, melakukan rekonsiliasi data, menetapkan syarat dan tata cara pembayaran klaim.

Jenis simpanan yang dijamin LPS meliputi giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan. Sedangkan untuk produk bank syariah yaitu giro berdasarkan wadiah dan mudharabah tabungan. Juga, deposito berdasarkan prinsip mudharabah muthaqah, serta simpanan berdasarkan prinsip syariah lainnya. Semua produk tersebut, saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling besar Rp2 miliar.

Apabila dibandingkan dengan LPS, sekaitan tugas dan kewenangannya, tentu LPPP akan berurusan dengan produk asuransi. Untuk tugas dan fungsi yang lain masih relevan dipersamakan dalam konteks bidang yang ditangani adalah perusahaan asuransi.

Belajar dari LPPP yang telah berjalan di negara lain, ada beberapa tugas yang cukup berbeda dari penjaminan simpanan. Perbedaannya bervariasi, namun biasanya menjamin ihwal sebagai berikut: pembayaran klaim (valid claim) atas klaim sebelum perusahaan asuransi dinyatakan gagal atau setelah dinyatakan gagal dalam periode tertentu, meneruskan perlindungan asuransinya atas polis yang masih berjalan sampai periode tertentu hingga pemegang polis mendapat cover asuransi lain.

Berikutnya, yang juga berbeda adalah pengembalian premi untuk sisa masa asuransi yang belum terjalani saat perusahaan asuransi dinyatakan gagal, serta membayarkan sejumlah uang untuk memindahkan pertanggungan ke perusahaan asuransi lain (biasanya untuk asuransi dengan masa pertanggungan panjang).

Dengan begitu, besaran manfaat klaim yang dibayarkan sangat bergantung kasus per individu pemegang polis. Ini yang membuat penjaminan pemegang polis lebih rumit dibandingkan dengan penjaminan simpanan. Kerumitan itu yang membuat LPPP perlu dilengkapi dengan sumber daya manusia yang dapat memprediksi secara keilmuan kebutuhan pendanaan. Misalnya saja dengan mempekerjakan aktuaris.

Mana yang lebih membutuhkan LPPP antara asuransi jiwa dan asuransi umum? Jawaban singkatnya, kedua-duanya membutuhkan LPPP.

Apabila (lagi-lagi) melihat contoh negara lain dan berbagai fakta yang ada di Indonesia, saya berpendapat pemegang polis yang paling urgen untuk dilindungi adalah pemegang polis asuransi jiwa. Mengapa? Ini jawabannya:

Sebagian besar pemegang polis asuransi jiwa adalah pemegang polis individu yang sejatinya pengetahuan tentang asuransi tidak memadai. Belum lagi ketidaktahuan bagaimana pemegang polis menyalurkan keluhannya untuk mendapatkan haknya.

Sementara itu, pemegang polis terbesar untuk asuransi umum adalah korporasi. Untuk asuransi kredit kendaraan bermotor atau kepemilikan rumah misalnya, biasanya pemberi kredit telah menyediakan beberapa pilihan perusahaan asuransi rekanan. Sehingga, institusi pemberi kredit memiliki pengetahuan dan akses tentang kondisi perusahaan asuransi rekanannya.

Pemegang polis asuransi jiwa membeli produk asuransi jiwa dalam jangka waktu yang lama dengan membayar premi hingga bertahun-tahun dengan harapan setelah periode tertentu dapat diuangkan atau diklaim. Tentu akan membuat kecewa dan tak percaya lagi kepada skema asuransi apabila perusahaan asuransi gagal bayar.

Sedangkan polis asuransi umum biasanya memiliki masa pertanggungan satu tahun atau kurang dan dapat diperpanjang pada tahun berikutnya. Bila tidak terjadi risiko, maka uang premi tidak dikembalikan kepada pemegang polis.

Di awal pelaksanaan skema penjaminan pemegang polis, sangat bagus jika dimulai dengan jenis produk asuransi yang terbatas dan besaran klaimnya. Jaminan kiranya dirancang tidak berlebihan. Dari pengalaman setelah berjalannya waktu, peningkatan cakupan produk atau peningkatan batasan klaim yang dijamin dapat dilakukan.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2131 seconds (0.1#10.140)