Jokowi Harus Sudahi Geger TWK di KPK
loading...
A
A
A
KISRUH hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasuki babak baru. Kemarin Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa seharusnya KPK menjadikan TWK sebagai sarana untuk perbaikan lembaga antikorupsi tersebut ke depan. Artinya hasil TWK tidak menjadi satu-satunya ukuran untuk menentukan pegawai bisa lolos masuk sebagai aparatur sipil negara (ASN) atau tidak.
Sikap Jokowi pun sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji materi UU Nomor 19/2019 tentang KPK yang menyatakan pengalihan status menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK.
Sikap Jokowi ini melegakan. Setidaknya menjadi jalan tengah atas kekisruhan yang telanjur melebar ke mana-mana. Kita tahu, setidaknya dalam dua pekan terakhir, bangsa ini terpolarisasi lagi pada dua kutub, yakni yang setuju langkah KPK dan yang kontra-TWK. Polarisasi itu meruncing lantaran tiap pihak menguatkan argumentasinya dengan berbagai cara agar kian mendapat dukungan publik. Imbasnya seolah-olah polemik ini tak ada ujung pangkalnya.
Pada tahap tertentu, ketegangan wacana seperti ini tentu kita sayangkan. Sebab tantangan bangsa hari-hari ini juga tak ringan seperti bagaimana memitigasi secara komprehensif warga yang baru saja balik dari kampung halaman seusai Lebaran agar terkontrol dengan maksimal. Tujuannya jika mereka membawa virus korona bisa secepatnya terdeteksi dan mudah untuk dikendalikan.
Jika polemik TWK ini tak berkesudahan, jelas akan menguras energi anak bangsa. Di tengah realitas ini, kita semua harus berpikir jernih sekaligus taktis. Kita tentu sepakat kasus tidak lolosnya 75 pegawai KPK menjadi ASN harus diurai segamblang-gamblangnya. Pemetaan itu penting agar mampu menjawab isu liar mengenai dugaan bahwa mereka yang tak lolos merupakan bagian dari golongan tertentu yang memang menjadi target âdibuangâ dari lembaga KPK.
Sementara itu bagi yang mendukung KPK, tentu mereka menilai munculnya narasi bahwa 75 pegawai ini sengaja akan dibuang juga keblabasan. Sebab dari 1.351 pegawai yang mengikuti TWK, ternyata hanya 75 orang atau segerlintir yang dinyatakan tak memenuhi syarat. Jika ada sinyalemen bahwa 75 pegawai ini diduga kuat beraliran radikal, hal ini juga perlu dijawab tuntas, sebab sejumlah pegawai yang tak lolos itu juga diketahui sebelumnya mereka sangat aktif di berbagai organisasi berhaluan moderat. Dengan fakta ini saja asumsi bahwa TWK menjadi jalan pembuang pegawai yang berseberangan dengan Ketua KPK Firli Bahuri misalnya patut dipertanyakan atau diragukan.
Di sisi lain, langkah KPK menggelar TWK ini juga tentu tidak serampangan. TWK adalah amanat undang-undang (UU) seperti UU Nomor 19/2019 tentang KPK, UU Nomor 5/2014 tentang ASN, dan regulasi lainnya antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN. Dalam penyusunan soal, metode, dan alat ukur seleksi misalnya, KPK juga diketahui tidak bekerja sendiri. KPK menggandeng Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan sejumlah lembaga asesmen profesional untuk melakukan penyaringan yang lebih selektif.
Namun meski memiliki dalih-dalih kuat, munculnya narasi bahwa ada beberapa soal dalam TWK yang dinilai tidak tepat juga tak boleh dianggap enteng. Sangat mungkin munculnya hal ini lebih bersifat kasuistis atau tidak dialami seribu lebih pegawai tersebut.
Kita sepakat beberapa poin kekurangan dalam TWK kali ini menjadi sarana penyempurna proses penataan pegawai KPK ke depan. Jika ditemukan pegawai yang masih dianggap belum memenuhi syarat, sebagaimana isi pernyataan Presiden Jokowi, sangat memungkinkan di-upgrade dengan sejumlah langkah perbaikan seperti pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan. Seusai Jokowi bersikap tegas ini, pemerintah tentu tidak bisa lantas diam menganggap persoalan selesai. Pemerintah bisa mengundang ahli atau tokoh baik yang pro atau kontra untuk berdiskusi. Penyelesaian dengan pendekatan diskursif ini diyakini akan menghasilkan solusi yang lebih bisa diterima semua pihak.
Kisruh TWK ini menjadi pelajaran berharga bagaimana sikap kita memosisikan KPK ke depan.
Perbedaan pandangan yang muncul adalah sesuatu yang tak terhindarkan demi meniscayakan terwujudnya KPK yang kokoh dan berwibawa. Kekisruhan jangan sampai menghabiskan energi bangsa yang sejatinya saat ini tengah membutuhkan banyak kolaborasi, sinergi, dan sifat kegotongroyongan lainnya. Jika kita membiarkan kisruh ini berlanjut, sejatinya pula kita memosisikan KPK yang merupakan lembaga andalan untuk memberantas korupsi di negara ini dalam kondisi kian bersengkarut.
Sikap Jokowi pun sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji materi UU Nomor 19/2019 tentang KPK yang menyatakan pengalihan status menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK.
Sikap Jokowi ini melegakan. Setidaknya menjadi jalan tengah atas kekisruhan yang telanjur melebar ke mana-mana. Kita tahu, setidaknya dalam dua pekan terakhir, bangsa ini terpolarisasi lagi pada dua kutub, yakni yang setuju langkah KPK dan yang kontra-TWK. Polarisasi itu meruncing lantaran tiap pihak menguatkan argumentasinya dengan berbagai cara agar kian mendapat dukungan publik. Imbasnya seolah-olah polemik ini tak ada ujung pangkalnya.
Pada tahap tertentu, ketegangan wacana seperti ini tentu kita sayangkan. Sebab tantangan bangsa hari-hari ini juga tak ringan seperti bagaimana memitigasi secara komprehensif warga yang baru saja balik dari kampung halaman seusai Lebaran agar terkontrol dengan maksimal. Tujuannya jika mereka membawa virus korona bisa secepatnya terdeteksi dan mudah untuk dikendalikan.
Jika polemik TWK ini tak berkesudahan, jelas akan menguras energi anak bangsa. Di tengah realitas ini, kita semua harus berpikir jernih sekaligus taktis. Kita tentu sepakat kasus tidak lolosnya 75 pegawai KPK menjadi ASN harus diurai segamblang-gamblangnya. Pemetaan itu penting agar mampu menjawab isu liar mengenai dugaan bahwa mereka yang tak lolos merupakan bagian dari golongan tertentu yang memang menjadi target âdibuangâ dari lembaga KPK.
Sementara itu bagi yang mendukung KPK, tentu mereka menilai munculnya narasi bahwa 75 pegawai ini sengaja akan dibuang juga keblabasan. Sebab dari 1.351 pegawai yang mengikuti TWK, ternyata hanya 75 orang atau segerlintir yang dinyatakan tak memenuhi syarat. Jika ada sinyalemen bahwa 75 pegawai ini diduga kuat beraliran radikal, hal ini juga perlu dijawab tuntas, sebab sejumlah pegawai yang tak lolos itu juga diketahui sebelumnya mereka sangat aktif di berbagai organisasi berhaluan moderat. Dengan fakta ini saja asumsi bahwa TWK menjadi jalan pembuang pegawai yang berseberangan dengan Ketua KPK Firli Bahuri misalnya patut dipertanyakan atau diragukan.
Di sisi lain, langkah KPK menggelar TWK ini juga tentu tidak serampangan. TWK adalah amanat undang-undang (UU) seperti UU Nomor 19/2019 tentang KPK, UU Nomor 5/2014 tentang ASN, dan regulasi lainnya antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN. Dalam penyusunan soal, metode, dan alat ukur seleksi misalnya, KPK juga diketahui tidak bekerja sendiri. KPK menggandeng Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan sejumlah lembaga asesmen profesional untuk melakukan penyaringan yang lebih selektif.
Namun meski memiliki dalih-dalih kuat, munculnya narasi bahwa ada beberapa soal dalam TWK yang dinilai tidak tepat juga tak boleh dianggap enteng. Sangat mungkin munculnya hal ini lebih bersifat kasuistis atau tidak dialami seribu lebih pegawai tersebut.
Kita sepakat beberapa poin kekurangan dalam TWK kali ini menjadi sarana penyempurna proses penataan pegawai KPK ke depan. Jika ditemukan pegawai yang masih dianggap belum memenuhi syarat, sebagaimana isi pernyataan Presiden Jokowi, sangat memungkinkan di-upgrade dengan sejumlah langkah perbaikan seperti pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan. Seusai Jokowi bersikap tegas ini, pemerintah tentu tidak bisa lantas diam menganggap persoalan selesai. Pemerintah bisa mengundang ahli atau tokoh baik yang pro atau kontra untuk berdiskusi. Penyelesaian dengan pendekatan diskursif ini diyakini akan menghasilkan solusi yang lebih bisa diterima semua pihak.
Kisruh TWK ini menjadi pelajaran berharga bagaimana sikap kita memosisikan KPK ke depan.
Perbedaan pandangan yang muncul adalah sesuatu yang tak terhindarkan demi meniscayakan terwujudnya KPK yang kokoh dan berwibawa. Kekisruhan jangan sampai menghabiskan energi bangsa yang sejatinya saat ini tengah membutuhkan banyak kolaborasi, sinergi, dan sifat kegotongroyongan lainnya. Jika kita membiarkan kisruh ini berlanjut, sejatinya pula kita memosisikan KPK yang merupakan lembaga andalan untuk memberantas korupsi di negara ini dalam kondisi kian bersengkarut.
(bmm)