Optimisme Bangkit dari Resesi
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Kementerian Keuangan RI
Gejolak ekonomi di tengah pandemi masih terjadi. Ekonomi Indonesia belum sepenuhnya pulih. Meski terus mengarah pada perbaikan ekonomi, namun resesi masih menyelimuti. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal I – 2021 masih terkontraksi 0,74% (yoy) dibandingkan periode sama tahun lalu, sedangkan secara kuartal per kuartal (q to q) minus 0,96%. Praktis, hal tersebut menunjukkan bahwa saat ini Indonesia belum berhasil keluar dari resesi ekonomi. Meski masih mengalami kontraksi, namun tanda pemulihan mulai terlihat semakin nyata. Pasalnya bila dibandingkan dengan tahun lalu, pertumbuhan ekonomi terus konsisten mengalami perbaikan. Pada masa awal pandemi, kuartal II–2020, ekonomi Indonesia sempat mengalami tekanan hebat hingga minus 5,32% (yoy). Lalu pertumbuhan ekonomi Indonesia perlahan mulai membaik pada kuartal III-2020 yang minus 3,49% (yoy), dan kuartal IV-2020 kontraksi kembali tumbuh menjadi minus 2,19% (yoy).
Konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi domestik masih menunjukkan tumbuh lemah. Struktur pertumbuhan ekonomi berdasarkan pengeluaran tak ada perubahan, di mana mayoritas atau 88,91% disumbang oleh konsumsi rumah tangga dan investasi. Pada kuartal I-2021, konsumsi rumah tangga masih minus 2,23% dan investasi atau pembentukan modal tetap bruto minus 0,23%. Demikian pula dengan konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga atau LNPRT juga masih minus 4,53%. Sementara itu, konsumsi pemerintah tumbuh positif 2,96%, begitu juga dengan ekspor dan impor yang masing-masing tumbuh 6,74% dan 5,27%. Berdasarkan data tersebut, maka konsumsi rumah tangga masih menjadi tantangan terbesar yang harus di dorong naik. Di sisi lain, meskipun investasi masih terkontraksi, namun angka tersebut telah mendekati titik nol.
Walaupun begitu, optimisme perlu terus dikembangkan melihat beberapa indikator lain seperti PMI dan IKK (Indeks Keyakinan Konsumen) yang menunjukkan angka-angka yang menggembirakan. Capaian PMI manufaktur Indonesia pada Maret 2021, mencapai level 53,2 meningkat dibanding sebulan sebelumnya di level 51,3. Bahkan pada bulan April 2021 level PMI mencapai 54,6. Suatu capaian tertinggi angka PMI selama beberapa tahun terakhir. Hal ini menunjukkan aktivitas manufaktur Indonesia menunjukkan geliat positif dan terus melakukan ekspansi. Ini penting mengingat sektor manufaktur memiliki peran 21% pada PDB.
Hasil Survei Konsumen (SK) yang dilakukan oleh Bank Indonesia mencatat bahwa pada Maret 2021 Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) mengalami peningkatan hingga 93,4. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan pada bulan Februari dan Januari 2021 yang masing-masing sebesar 85,8 dan 84,9. Hal tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi perbaikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi. Pulihnya kepercayaan konsumen tersebut tak lain akibat hadirnya vaksin Covid-19 yang mampu menjadi angin segar di tengah ketidakpastian terhadap berakhirnya pandemi ini serta adanya berbagai insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah untuk mendorong kegiatan produksi di masyarakat.
Pemerintah adalah Kunci
Tahun 2020 hingga tahun ini memang bukanlah tahun yang mudah untuk dilewati. Dana Moneter Internasional (IMF) mengkhawatirkan akan terjadi krisis buruk akibat pandemi jika krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi ini tak mampu tertangani dengan baik. Belajar dari sejarah terjadinya Great Depression di Amerika pada dekade 1929-an, sejarah kelam yang berlangsung selama 10 tahun tersebut, mengajarkan betapa pentingnya peran pemerintah dalam memerangi krisis yang terjadi. Pada saat itu pemerintah menggulirkan kebijakan, di antaranya dengan mempekerjakan sekitar 3 juta orang selama 10 tahun untuk menggarap lahan publik, menukar emas dengan mata uang dolar, mendanai pekerjaan di bidang pertanian, konstruksi, pendidikan, maupun kesenian, dan juga memberikan pinjaman pada para petani untuk menyelamatkan ladang ternak dari penyitaan. Pemerintah menjadi harapan terbesar rakyat untuk mampu melewati krisis dan mengembalikan kehidupan masyarakat kembali normal. Peran pemerintah sebagai agen dalam public sector service menjadi semakin nyata dalam mendorong perekonomian, baik dari sisi konsumsi maupun dari sisi produksi melalui berbagai kebijakan.
Sejatinya, dalam ekonomi klasik, hukum Say, menyatakan bahwa produksi agregat selalu menciptakan jumlah permintaan agregat yang sama (supply creates own demand). Substansi hukum Say adalah memperkuat keyakinan bahwa pasar mampu menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien lewat proses pertukaran (exchange economics). Pada masa pandemi ini, pihak yang memiliki kemampuan untuk menciptakan permintaan serta mendorong produksi adalah pemerintah melalui belanja pemerintah maupun relaksasi pajak. Selama pandemi pemerintah secara konsisten juga terus berupaya mendorong ekonomi Indonesia untuk keluar dari jurang resesi melalui berbagai program pemulihan ekonomi nasional yang tak hanya mendorong sisi permintaan (demand) namun juga mendorong sisi penawaran (supply).
Pemerintah di Garda Terdepan
Beberapa paket kebijakan yang di kemas dalam kebijakan PEN diharapkan mampu mendorong kinerja perekonomian lebih baik dan mendorong transformasi ekonomi Indonesia. Dari sisi permintaan, kinerja konsumsi pemerintah dan RT menjadi satu-satunya komponen yang secara konsisten tumbuh positif selama pandemi. Kebijakan fiskal, yang dilakukan pemerintah selama 2020, telah berhasil mempertahankan daya beli masyarakat menengah ke bawah, untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Berbagai jenis stimulus fiskal, seperti insentif pajak, dan bantuan langsung tunai, mampu mengerem laju kontraksi ekonomi ke jurang yang lebih dalam. Selain itu, intervensi pemerintah telah berhasil menunjukkan bukti nyata bahwa realisasi Program Perlindungan Sosial (Perlinsos) pada 2020 telah berhasil menahan peningkatan angka kemiskinan. Bank Dunia sebelumnya memproyeksikan kemiskinan 2020 dapat mencapai 11,8% jika pemerintah tidak menyalurkan program Perlinsos. BPS mencatat bahwa pada September 2020 kemiskinan di Indonesia masih berada di bawah proyeksi Bank Dunia meski mengalami peningkatan menjadi 10,19% dari tahun sbeelumnya. Kenaikan tersebut tak lepas dari dampak Covid-19 dirasakan oleh seluruh lapisan kelompok pendapatan terutama menengah ke bawah.
Kini pemerintah tak boleh lengah, termasuk kita juga. Covid 19 masih menjadi tantangan Bersama, apalagi beberapa negara tetangga masih bersusah payah menangani pandemi ini. Keberadaan pemerintah di garda terdepan sebagai pendorong geliat ekonomi nasional masih menjadi tumpuan banyak pihak. Oleh sebab itu, kebijakan fiskal yang bersifat countercyclical, forward looking dan prudent masih perlu terus dijalankan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional ke depan. Semoga.
Staf Khusus Kementerian Keuangan RI
Gejolak ekonomi di tengah pandemi masih terjadi. Ekonomi Indonesia belum sepenuhnya pulih. Meski terus mengarah pada perbaikan ekonomi, namun resesi masih menyelimuti. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal I – 2021 masih terkontraksi 0,74% (yoy) dibandingkan periode sama tahun lalu, sedangkan secara kuartal per kuartal (q to q) minus 0,96%. Praktis, hal tersebut menunjukkan bahwa saat ini Indonesia belum berhasil keluar dari resesi ekonomi. Meski masih mengalami kontraksi, namun tanda pemulihan mulai terlihat semakin nyata. Pasalnya bila dibandingkan dengan tahun lalu, pertumbuhan ekonomi terus konsisten mengalami perbaikan. Pada masa awal pandemi, kuartal II–2020, ekonomi Indonesia sempat mengalami tekanan hebat hingga minus 5,32% (yoy). Lalu pertumbuhan ekonomi Indonesia perlahan mulai membaik pada kuartal III-2020 yang minus 3,49% (yoy), dan kuartal IV-2020 kontraksi kembali tumbuh menjadi minus 2,19% (yoy).
Konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi domestik masih menunjukkan tumbuh lemah. Struktur pertumbuhan ekonomi berdasarkan pengeluaran tak ada perubahan, di mana mayoritas atau 88,91% disumbang oleh konsumsi rumah tangga dan investasi. Pada kuartal I-2021, konsumsi rumah tangga masih minus 2,23% dan investasi atau pembentukan modal tetap bruto minus 0,23%. Demikian pula dengan konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga atau LNPRT juga masih minus 4,53%. Sementara itu, konsumsi pemerintah tumbuh positif 2,96%, begitu juga dengan ekspor dan impor yang masing-masing tumbuh 6,74% dan 5,27%. Berdasarkan data tersebut, maka konsumsi rumah tangga masih menjadi tantangan terbesar yang harus di dorong naik. Di sisi lain, meskipun investasi masih terkontraksi, namun angka tersebut telah mendekati titik nol.
Walaupun begitu, optimisme perlu terus dikembangkan melihat beberapa indikator lain seperti PMI dan IKK (Indeks Keyakinan Konsumen) yang menunjukkan angka-angka yang menggembirakan. Capaian PMI manufaktur Indonesia pada Maret 2021, mencapai level 53,2 meningkat dibanding sebulan sebelumnya di level 51,3. Bahkan pada bulan April 2021 level PMI mencapai 54,6. Suatu capaian tertinggi angka PMI selama beberapa tahun terakhir. Hal ini menunjukkan aktivitas manufaktur Indonesia menunjukkan geliat positif dan terus melakukan ekspansi. Ini penting mengingat sektor manufaktur memiliki peran 21% pada PDB.
Hasil Survei Konsumen (SK) yang dilakukan oleh Bank Indonesia mencatat bahwa pada Maret 2021 Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) mengalami peningkatan hingga 93,4. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan pada bulan Februari dan Januari 2021 yang masing-masing sebesar 85,8 dan 84,9. Hal tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi perbaikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi. Pulihnya kepercayaan konsumen tersebut tak lain akibat hadirnya vaksin Covid-19 yang mampu menjadi angin segar di tengah ketidakpastian terhadap berakhirnya pandemi ini serta adanya berbagai insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah untuk mendorong kegiatan produksi di masyarakat.
Pemerintah adalah Kunci
Tahun 2020 hingga tahun ini memang bukanlah tahun yang mudah untuk dilewati. Dana Moneter Internasional (IMF) mengkhawatirkan akan terjadi krisis buruk akibat pandemi jika krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi ini tak mampu tertangani dengan baik. Belajar dari sejarah terjadinya Great Depression di Amerika pada dekade 1929-an, sejarah kelam yang berlangsung selama 10 tahun tersebut, mengajarkan betapa pentingnya peran pemerintah dalam memerangi krisis yang terjadi. Pada saat itu pemerintah menggulirkan kebijakan, di antaranya dengan mempekerjakan sekitar 3 juta orang selama 10 tahun untuk menggarap lahan publik, menukar emas dengan mata uang dolar, mendanai pekerjaan di bidang pertanian, konstruksi, pendidikan, maupun kesenian, dan juga memberikan pinjaman pada para petani untuk menyelamatkan ladang ternak dari penyitaan. Pemerintah menjadi harapan terbesar rakyat untuk mampu melewati krisis dan mengembalikan kehidupan masyarakat kembali normal. Peran pemerintah sebagai agen dalam public sector service menjadi semakin nyata dalam mendorong perekonomian, baik dari sisi konsumsi maupun dari sisi produksi melalui berbagai kebijakan.
Sejatinya, dalam ekonomi klasik, hukum Say, menyatakan bahwa produksi agregat selalu menciptakan jumlah permintaan agregat yang sama (supply creates own demand). Substansi hukum Say adalah memperkuat keyakinan bahwa pasar mampu menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien lewat proses pertukaran (exchange economics). Pada masa pandemi ini, pihak yang memiliki kemampuan untuk menciptakan permintaan serta mendorong produksi adalah pemerintah melalui belanja pemerintah maupun relaksasi pajak. Selama pandemi pemerintah secara konsisten juga terus berupaya mendorong ekonomi Indonesia untuk keluar dari jurang resesi melalui berbagai program pemulihan ekonomi nasional yang tak hanya mendorong sisi permintaan (demand) namun juga mendorong sisi penawaran (supply).
Pemerintah di Garda Terdepan
Beberapa paket kebijakan yang di kemas dalam kebijakan PEN diharapkan mampu mendorong kinerja perekonomian lebih baik dan mendorong transformasi ekonomi Indonesia. Dari sisi permintaan, kinerja konsumsi pemerintah dan RT menjadi satu-satunya komponen yang secara konsisten tumbuh positif selama pandemi. Kebijakan fiskal, yang dilakukan pemerintah selama 2020, telah berhasil mempertahankan daya beli masyarakat menengah ke bawah, untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Berbagai jenis stimulus fiskal, seperti insentif pajak, dan bantuan langsung tunai, mampu mengerem laju kontraksi ekonomi ke jurang yang lebih dalam. Selain itu, intervensi pemerintah telah berhasil menunjukkan bukti nyata bahwa realisasi Program Perlindungan Sosial (Perlinsos) pada 2020 telah berhasil menahan peningkatan angka kemiskinan. Bank Dunia sebelumnya memproyeksikan kemiskinan 2020 dapat mencapai 11,8% jika pemerintah tidak menyalurkan program Perlinsos. BPS mencatat bahwa pada September 2020 kemiskinan di Indonesia masih berada di bawah proyeksi Bank Dunia meski mengalami peningkatan menjadi 10,19% dari tahun sbeelumnya. Kenaikan tersebut tak lepas dari dampak Covid-19 dirasakan oleh seluruh lapisan kelompok pendapatan terutama menengah ke bawah.
Kini pemerintah tak boleh lengah, termasuk kita juga. Covid 19 masih menjadi tantangan Bersama, apalagi beberapa negara tetangga masih bersusah payah menangani pandemi ini. Keberadaan pemerintah di garda terdepan sebagai pendorong geliat ekonomi nasional masih menjadi tumpuan banyak pihak. Oleh sebab itu, kebijakan fiskal yang bersifat countercyclical, forward looking dan prudent masih perlu terus dijalankan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional ke depan. Semoga.
(war)