Poros Islam untuk 2024 Hanya Akan Melebarkan Pembelahan di Masyarakat

Jum'at, 07 Mei 2021 - 22:00 WIB
loading...
Poros Islam untuk 2024...
Ketua Umum Partai Gelora, Anis Matta menyampaikan pembentukan poros Islam dianggap hanya akan memperlebar pembelahan politik identitas di masyarakat pasca Pilpres 2019. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pembentukan poros Islam dianggap hanya akan memperlebar pembelahan politik identitas di masyarakat pasca Pilpres 2019. Hal itu disampaikan Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Anis Matta dalam diskusi Moya Institute bertajuk Prospek Islam dalam Kontestasi 2024 secara daring, Jumat (7/5/2021).

Anis Matta menolak ide koalisi poros Islam. Ia menilai, ada persoalan yang jauh lebih signifikan daripada sekadar ide poros Islam. "Ide ini menurut saya hanya akan memperdalam pembelahan yang sedang terjadi di masyarakat," ujarnya.

Dia melihat saat ini sedang dalam krisis sistemik yang terjadi secara global dan nasional. Krisis ini mengakibatkan keterbelahan di masyarakat. Elite politik dari kelompok Islam (kanan), tengah maupun kiri sedang bingung menghadapi krisis ini.

"Di Indonesia sedang mengalami pembelahan ini dan menurut saya pembelahan ini satu fenomena yang menunjukan elite kita sedang mengalami kebingungan akibat krisis sistemik ini. Kita alami krisis sistemik dan krisis leadership saya kira kebingungan ini ada di kelompok Islam, kelompok tengah dan kelompok kiri," tutur Anis.

Pembentukan poros Islam bukan sebuah solusi masalah ini. Anis menilai poros Islam bukan menyatukan tetapi justru akan membuat kelompok-kelompok kecil di masyarakat. "Justru cara kita merespon dengan pembentukan poros Islam membuat kita masuk konfrontasi yang merusak rumah besar bangunan Indonesia," kata Anis.

Seharusnya yang dilakukan elite adalah mencari satu hal yang menyatukan semua masyarakat. Seperti ketika masyarakat Indonesia bersatu menjelang hari kemerdekaan dulu.

"Jadi dari pengalaman masa lalu dan melihat konstelasi geopolitik yang dibutuhkan satu model blending politik baru yang berbasis pada pendalaman arah baru bagi negara kita. Saya ingin sebut arah sejarah baru. Situasinya mirip dengan situasi kita menjelang kemerdekaan kita perlu satu kata yang menyatukan kita," pungkas Anis.

Sementara Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Prof Komaruddin Hidayat mengaku terkesan dengan visi yang disampaikan Ketum Gelora Indonesia Anis Matta yang menyebutkan konsolidasi politik zaman Kemerdekaan yang mengutamakan nasionalisme.

"Pertama saya sepakat, bagaimana mengembalikan saat semangat awal menuju Indonesia merdeka. Kemudian kenapa ada parpol Islam dan bukan parpol Islam, ada panggilan sejarah, sebagai satu kekuatan kritik, sebab ketika kritik itu bersama, maka akan lebih didengarkan. Saudara Anis Matta sudah bagus sekali, jadi harus ada narasi besar, kalau dulu ada merdeka, pembangunan, sekarang harus ada narasi baru dalam membawa arah baru Indonesia," ujar Prof Komarudin.

Perspektif berbeda disampaikan Cendekiawan Muslim, Prof Azyumardi Azra. Menurut dia, kalau faktor Islam menjadi masalah dalam kehidupan bernegara, ia kira sangat berlebihan.

"Karena sekarang yang mengusung partai Islam hanya dua yaitu PKS dan PPP. Saya melihat dua partai Islam ini bagus. Saya tidak tahu Gelora ini berdasarkan Islam atau Pancasila. Tapi saya juga tidak melihat PKS dan PPP sebagai ancaman bagi bangsa," urainya.

Prof Azyumardi menambahkan koalisi berbasis Islam atau Pancasila peluangnya untuk bisa menang di Pemilu itu tergantung kemampuan menangkap atau mengkapitalsiasi masalah2 di masyarakat.

"Banyak sekali masalah ekonomi, sosial, disrupsi tingkat lokal, nasional dan global. Jadi tdak bisa hanya bicara pada ideologi saja. Apakah Islam atau Pancasila," tambahnya.

Masih kata Prof Azyumardi, orang sering mencibir kalau bicara Pancasila, mana keadilan sosialnya? "Kalau Partai Gelora bisa menangkap kesedihan, kepiluan di masyarakat dan bisa mengkapitalisasinya, saya kira Gelora akan bisa berbicara banyak di Pemilu," imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbasmengatakan gambaran opini publik saat ini memang masih belum percaya deengan argumen yang diusung partai-partai berbasis massa Islam.

Hal itu, kata Sirojudin tidak serta merta memunculkan alternatif fundamental bagi struktur kepartaian di Indonesia. Tahun 1999, ada 4 partai berbasis massa Islam: PKB, PAN, PK, PPP.

"Partai-partai berbasis massa Islam memiliki problem cukup besar di dengan konflik internal. Karena itu, kecenderungan suara Partai Islam dari 1999-2014 menurun. Prospeknya seperti apa kalau melihat tantangan seperti ini? Hegemoninya terlihat di sini," paparnya.

Ia menilai mayoritas pemilih Muslim Indonesia masih sejalan dengan tesis Cak Nur, Islam Yes, Partai Islam No. "Ini indikasi masih kuatnya karakter Islam Moderat Indonesia yang secara sadar menghindarkan diri dari tarikan politik berbasis agama."

Disampaikan Sirojudin, survei SMRC terhadap Partai Islam dan estimasi kekuatannya: Ada 25-35% yang mengatakan YES pada Partai Islam, dan sebanyak 65-75% NO. "Saya setuju dengan risiko jika politik identitas dijadikan sebagai dasar solidaritas politik masyarakat Islam. Risiko kegagalannya juga besar karena ketidakpercayaan kepada partai-partai Islam," jelasnya.

Sementara itu, Pengamat Politik Global Prof Imron Cotan menyampaikan gagasan Ketum Partai Gelora Anis Matta menjadi alternatif baru bagi pemikiran politik di Indonesia. Hal itu kata dia melihat tesis: apakah pembentukan poros Partai Islam memang untuk menyongsong Kontestasi 2024, atau untuk menghimpun aspirasi kelompok Islam dalam kehidupan berbangsa ke depan?

"Kalau untuk sekadar menyongsong kontestasi 2024, saya kira akan kembali menemui kegagalan jika melihat dinamika yang ada saat ini," cetusnya.

Ia menganggap kalau partai politik beraspirasi Islam dan Kebangsaan tidak memanfaatkan krisis yang sedang berlangsung saat ini yaitu krisis kesehatan dan ekonomi baik regional dan global, serta tidak mampu mengusung pemimpin yang bisa memajukan umat Islam Indonesia maka cita-cita pembentukan poros Islam akan gagal.

"Kemudian, yang menguatkan tesis saya bahwa krisis itu akan melahirkan pemimpin alternatif, sudah ada bukti di Brazil. Sebenarnya Donald Trump muncul karena akibat ada krisis. Di Australia juga muncul pemimpin alternatif karena ada krisis," paparnya.

Sekarang, Prof Imron mengaku belum melihat ada pemimpin alternatif yang bisa diusung berdasarkan aspirasi dari pandangan Keislaman. "Kita juga harus berhati-hati, apakah di Indonesia akan muncul pemimpin dari faksi kanan ekstrem. Semoga saja tidak. Seperti yang disampaikan Ketum Anis Matta, jika poros Islam dibentuk ada potensi pemecah belahan bangsa yang semakin mendalam," tukasnya.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1063 seconds (0.1#10.140)