Tak Mudik, Lebaran Tetap Asyik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Siapa tidak ingin mudik untuk melepas kangen bersama keluarga besar di kampung halaman? Apalagi, sudah kali kedua Lebaran ini masyarakat, termasuk yang tinggal di Jabodetabek, tidak mudik akibat pandemi Covid-19 .
Namun, kebijakan pelarangan mudik memang harus diambil untuk mengantisipasi kembali meluasnya wabah Covid-19. Di sisi lain, walaupun tanpa mudik, bukan berarti masyarakat tidak bisa bersilaturahmi atau bergembira merayakan.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan agar Lebaran tetap bisa dirayakan dengan asyik walaupun tanpa mudik. Pandangan ini di antaranya disampaikan Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat dan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Tb Ace Hasan Syadzily.
Komaruddin, misalnya, menegaskan masyarakat tetap dapat memaknai Idul Fitri kali ini meski tanpa mudik dan berkumpul dengan keluarga di kampung. Misalnya, jika ada rezeki berlebih, cukup kirimkan uang ke keluarga di kampung dan mereka pasti ke sangat senang meskipun tidak hadir secara fisik.
Selain itu, masyarakat juga bisa memanfaatkan berbagai teknologi komunikasi untuk bersilaturahmi. "Saat ini berkomunikasi jarak jauh sangat mudah via telepon. Bahkan bisa kirim photo dan video. Kabar selamat disertai foto-foto lebaran di rumah masing-masing lebih membahagiakan ketimbang mudik dengan resiko menularkan atau tertular Covid. Ngobrol dengan Zoom, jarak seakan hilang," bebernya.
Bagi Komaruddin, sesungguhnya tetangga tempat tinggal juga merupakan saudara. Karena itu, ketika lebaran nanti cukuplah merayakan bersama tetangga dengan tetap menjaga dan menerapkan protokol (prokes). Atau, kata dia, lebaran bisa dirayakan dengan teman-teman sedaerah yang tinggal satu kota. Bahkan saat ini merupakan musim reuni teman-teman sekolah.
"Dengan begitu bisa menggantikan heboh mudik. Bahkan sesungguhnya anak-anak kita yang lahir di Jakarta, misalnya, tidak begitu antusias pulang mudik seperti orang tua mereka yang memang lahir di kampung," ujarnya.
Secara pribadi Komaruddin merasakan Ramadan tahun ini lebih spiritual. Suasana keluarga lebih dekat. Berdoa pun lebih khusyuk. Komaruddin bersama keluarga selama ini juga tidak terganggu agenda persiapan mudik. Sebelum masa pandemi Covid-19, biasanya Komaruddin sudah menyiapkan paket oleh-oleh kalau akan menjelang acara mudik.
"Sekarang cukup transfer uang untuk saudara-saudara di kampung. Saya rasa di zaman Nabi dulu, ketika datang Idul Fitri tidak seheboh kita dengan agenda mudik," ungkap Komaruddin
Dia lantas mengingatkan, apa yang terjadi di India dan beberapa negara lain yang terjadi penyebaran dan lonjakan kasus Covid-19 mestinya jadi pelajaran kita semua. Setelah setahun mereka jenuh tinggal di rumah, lalu melakukan kerumunan dan rekreasi di tempat keramaian, ternyata akibatnya fatal. Berbagai upaya vaksinasi yang dilakukan pemerintah untuk menciptakan herd immunity gagal.
"Di India, didorong oleh keyakinan agama untuk mengadakan seremoni massal, ternyata Covid tidak kenal agama. Jadi, masyarakat (Indonesia, red.) bersama pemerintah mesti kompak saling memberikan support untuk menghindarkan kerumunan dan kontak fisik," tegas Komaruddin.
Tb Ace Hasan Syadzily juga menegaskan, di masa pandemi ini sebenarnya masyarakat bisa memaknai Idul Fitri dan merayakan Lebaran 1442 Hijriah/2021 tanpa berkumpul secara langsung dengan keluarga di kampung halaman. Ace mengungkapkan, saat ini teknologi komunikasi sudah sangat canggih. Dengan demikian kerinduan terhadap kampung halaman dan keluarga sudah bisa dijembatani sementara ini misalnya dengan berbagai layanan komunikasi.
"Misalnya dengan video call atau dengan Zoom meeting atau dengan teknologi lain yang membuat kita bisa bertemu dan menyapa sanak kerabat kita di kampung halaman. Itu juga kan bisa dilakukan dengan cara menggunakan media sosial lain, seperti saling menyapa di Facebook, saling mengirimkan foto, dan lain-lain," ujarnya.
Dia mengakui komunikasi dengan menggunakan teknologi seperti itu memang tidak bisa memenuhi dan melepaskan secara utuh kerinduan kita sanak saudara yang ada di kampung. Tapi menurut Ace, paling tidak setiap dari kita bisa mengetahui kabar orang tua dan keluarga serta bagaimana kondisi terbaru kehidupan para warga yang ada di kampung.
Karenanya Ace sepakat dan membenarkan saat disinggung bahwa tanpa lebaran bisa tetap asik tanpa mudik. Sekali lagi kata dia, yang paling penting adalah masyarakat masih bisa berinteraksi dengan sanak saudara melalui teknologi komunikasi.
"Yang harus diprioritaskan oleh kita kan justru adalah kita melindungi saudara kita, kita melindungi keluarga kita. Kalau kita sayang dengan orang tua dan keluarga kita di kampung, maka sebaiknya kita tidak pulang (mudik). Sebab, siapa tahu kita punya (sebagai) orang tanpa gejala yang bisa menyebarkan kepada saudara-saudara kita yang ada di kampung," tegas Ace.
"Justru menurut saya, sangat zalim ketika kita tidak bisa memastikan apakah diri kita ini terpapar Covid-19 atau tidak, kemudian malah menyebarkan Covid-19," sambungnya.
Ketua Umum Ikatan Alumni (IKAL) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini lantas menuturkan, ketika larangan mudik tidak diberlakukan kemudian dibuka selebar-lebarnya, maka akan terjadi migrasi atau perpindahan penduduk yang sangat besar ke kampung-kampung. Akibatnya akan terjadi kerumunan dan tumpah ruahnya orang-orang di kampung-kampung serta juga terjadi kemacetan di desa-desa.
Oleh karena itu, Ace mengingatkan, kalau setiap dari kita sayang dengan saudara dan keluarga di kampung, maka sebaiknya menahan diri untuk tidak mudik lebaran.
"Kita menahan diri dulu lah sampai kemudian herd immunity, kekebalan komunitas, terhadap Covid-19 ini betul-betul bisa terwujud. Mudah-mudahan tahun ini (2021) bisa terwujud apa yang disebut kekebalan komunitas itu. Apalagi saat ini seperti kita ketahui, pemerintah sedang gencar-gencarnya melaksanakan program vaksinasi nasional. Tentu vaksinasi nasional itu akan sukses dengan tetap dibarengi dengan protokol kesehatan yang ketat," ucap Ace.
Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini DPP Partai Golkar ini lantas menyatakan, pemberlakuan kebijakan pemerintah melarang mudik Lebaran 1442 Hijriah/2021 kurun 6-17 Mei serta pemberlakuan masa pengetatan pra larangan mudik mulai 22 April-5 Mei dan pemberlakuan pengetatan pasca larangan mudik sejak 18-24 Mei merupakan kebijakan yang tepat dan realistis.
Menurut dia, pemberlakuan kebijakan tersebut merupakan bentuk pencegahan agar Covid-19 tidak menyebarluas ke pelosok-pelosok dan kampung-kampung. Musababnya, bagaimana pun Covid-19 merupakan penyakit yang cepat menyebar karena proses interaksi manusia. Ditambah lagi, saat ini di Indonesia sudah ada beberapa varian baru Covid-19 yang salah satu proses penyebarannya adalah dengan tanpa gejala.
"Kalau penyebarannya sampai ke kampung-kampung, sampai ke pelosok-pelosok, tentu penyebaran Covid-19 pasti tidak akan bisa terkendali. Saya kira kebijakan ini, pertimbangan pemerintah, sangat realistis," ujar Ace.
Diungkapkan, dalam beberapa kali libur panjang sebelumnya seperti akhir tahun 2020 terjadi lonjakan kasus Covid-19 satu pekan setelah libur panjang tersebut. Bahkan lonjakannya teridentifikasi terjadi sangat tajam. Dengan berpijak pada kejadian seperti sebelumnya itu, kata Ace, maka semua pihak termasuk masyarakat umum harus mewaspadainya saat akan memasuki Lebaran 1442 Hijriah/2021.
"Saya khawatir, kalau misalnya dibiarkan masyarakat tetap mudik, proses interaksi manusia dari kota ke desa atau ke kampung itu tidak terkendali, maka penyebaran Covid-19 akan semakin merajalela di Indonesia," tegasnya.
Jika pergerakan masyarakat saat mudik ke kampung atau desa tidak terkendal, maka dikhawatirkan fasilitas kesehatan (faskes) tidak bisa menampung. Musababnya, faskes di kampung-kampung sangat terbatas. Kondisi ini, menurut dia, jelas berbeda dengan faskes di kota yang di antaranya ada faskes milik pemerintah sudah tersedia.
"Nah, kalau di kampung bagaimana kalau terjadi ada yang terkonfirmasi penyakit tersebut (Covid-19) dan menjangkiti masyarakat di desa? Nah, ini yang harus kita hindari," ungkapnya.
Pemudik Lebih Tinggi dari Tahun Lalu
PT Jasa Marga (Persero) memprediksi jumlah kendaraan yang keluar masuk Jabodetabek pada periode 6-12 Mei 2021 (H-7 sampai H-1 Lebaran) sebanyak 593.185 mobil. Angka tersebut mengalami kenaikan 27,19% dibandingkan periode mudik Lebaran tahun 2020.
Corporate Communication & Community Development Group Head Jasa Marga Dwimawan Heru mengakui jika membandingkan dengan periode mudik tahun lalu ada kenaikan. Mengingat pada tahun lalu merupakan awal-awal pandemi virus Covid-19 masuk ke Indonesia.
Operation and Maintenance Management Group Head Jasa Marga Atika Dara Prahita mengatakan, kendaraan keluar masuk Jabodetabek pada periode Lebaran akan melalui empat gerbang tol (GT). Pertama adalah GT Cikampek Utama untuk kendaraan yang akan menuju timur, lalu GT Kalihurip Utama untuk kendaraan yang akan menuju Bandung. Selanjutnya ada Ciawi untuk kendaraan yang menuju Puncak, dan terakhir GT Cikupa namun bukan ruas tol yang dikelola Jasa Marga.
“Kami juga menghitung atau memprediksi adanya penurunan volume lalu lintas transakasi di empat gerbang utama, yaitu di Cikampek Utama menuju Timur, GT Kalihurip Utama itu ke arah Bandung, GT Ciawi menuju Puncak, dan GT Cikupa yang dikelola oleh non-Jasamarga,” jelasnya.
Menurut Atika, jumlah kendaraan yang akan keluar Jabodetabek pada periode larangan mudik mencapai 593.185 kendaraan. Dari jumlah tersebut, puncak arus mudik diperkirakan akan terjadi pada H-2 Lebaran dengan perkiraan 109.327 kendaraan.
Menurut dia, jika dibandingkan dengan lalu lintas normal, ada sedikit penurunan sebesar 35,9% dari lalu lintas normal 2020. Sedangkan jika dibandingkan dengan Lebaran 2019 juga mengalami penurunan sebesar 49,53%.“Di empat GT ini kami memprediksi adanya penurunan lalin pada periode 6-12 Mei ke keluar Jabodetabek sekitar 35,9%. Kami memprediksi puncaknya 11 Mei atau H-2,” jelasnya.
Indikator Politik Indonesia dalam survei nasional yang bertajuk “Persepsi Ekonomi dan Politik Jelang Lebaran” menemukan masih ada sekitar 20,8% masyarakat yang kemungkinan besar akan melakukan mudik pada Lebaran tahun ini, melakukan kunjungan pada sanak saudara atau pergi ke tempat wisata.
‘’Lainnya 2,9% sangat besar, 17,9% cukup besar, 38,6% kecil, 34,2% sangat kecil dan sisanya tidak menjawab,” ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dalam rilis survei secara daring, kemarin.
Dalam surveinya, Indikator menanyakan opini publik tentang isu sosial-ekonomi yang berkaitan dengan lebaran tahun ini, antara lain tentang ketersediaan beras dan keputusan pemerintah tentang pelarangan mudik pada Lebaran tahun ini, serta intensi mudik warga meski ada pelarangan tersebut.
Dalam surveinya, Indikator juga menemukan , hampir separuh masyarakat mendukung kebijakan pelarangan mudik yakni sebesar 45,8%, 28% tidak setuju, sementara 23% tidak memilih setuju ataupun tidak setuju dengan kebijakan itu. Alasannya, kebanyakan masyarakat ingin mengurangi penyebaran COVID-19 sebesar 36,4%, adar pandemi segera berakhir 15,7%, 13% mematuhi arahan pemerintah, dan lain-lainnya.
Adapun bagi yang tidak setuju dengan larangan mudik, alasannya adalah ingin berkunjung ke rumah keluarga 18,4%, rindu pada keluarga 12,2%, bisa menggunakan protokol kesehatan 9,2%, kebiasaan tahunan 8,5% dan alasan lainnya.“Berkunjung ke rumah keluarga menjadi penyebab utama warga tidak setuju dengan pelarangan mudik,” jelas Burhanuddin.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Letnan Jenderal TNI Doni Monardo menyatakan, kebijakan pemerintah melarang mudik Lebaran 2021 dan pemberlakuannya serta pemberlakuan pengetatan pra larangan mudik, dan pemberlakuan pengetatan pasca larangan mudik merupakan upaya pemerintah untuk menekan penyebaran Covid-19 dan melindungi masyarakat.
Di sisi lain tutur Doni, para petugas di lapangan harus juga mengejawantahkan aturan atau kebijakan tersebut secara persuasif kepada masyarakat. Artinya para petugas di berbagai daerah tetap tegas tapi tidak perlu terlalu arogan.’’ Beri pemahaman mengapa pemerintah melarang mudik. Kita tidak ingin Indonesia seperti India. Data sudah menyebutkan bahwa dalam setahun pandemi, dari lima kali musim liburan, lima kali pula kita mengalami pelonjakan kasus, termasuk korban meninggal," ujar Doni.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ini membeberkan, bagi masyarakat yang berada dalam satuan wilayah aglomerasi pun tidak perlu melakukan mudik atau perjalanan ke luar daerah dan kota terdekat elang Idul Fitri 1442 H/2021. Dia mengungkapkan, pihaknya begitu juga pemerintah tentu masyarakat dapat patuh tidak melakukan mudik lokal.
"Jadi mudik lokal pun kita harapkan tetap dilarang. Jangan dibiarkan terjadi mudik lokal. Kalau terjadi mudik lokal, artinya ada silaturahmi, ada salam-salaman, ada cipika-cipiki. Artinya apa? bisa terjadi proses penularan satu sama lainnya," ungkapnya.
Doni melanjutkan, larang mudik pun berlaku bagi warga yang telah mengantongi hasil negatif Covid-19 setelah melakukan swab tes PCR atau antigen. Musababnya, ujar dia, orang itu bisa saja berpotensi tertular Covid-19 di perjalanan. Ketika hal tersebut terjadi, maka orang itu menyebar ke keluarga, orang tua ataupun saudara yang ada di kampung halaman. Karenanya dia tetap berharap, masyarakat tetap patuh dengan larang mudik sebagai instruksi Presiden Joko Widodo.
"Saya harapkan, tidak ada pihak manapun yang tidak mengikuti instruksi dari Kepala Negara Presiden Jokowi. Negara kita sedang menghadapi ancaman, yaitu Covid-19. Mohon kiranya berkenan kita rapatkan barisan, kita kompak, kita tingkatkan disiplin. Hanya disiplin dan patuh kepada patuh protokol kesehatan yang mampu menyelamatkan bangsa," tegas Doni.
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menegaskan, keputusan pemerintah yang melarang mudik Lebaran 2021 dan pemberlakuan larangan tersebut merupakan wujud nyata negara melindungi seluruh warga negara agar terjaga dan tidak terpapar Covid-19. Dia menegaskan, setiap keputusan yang diambil pemerintah pasti memiliki dasar dan pijakan yang kokoh.
Dia lantas menuturkan, mudik secara hukum adalah sunah. Sementara itu tutur dia, menjaga kesehatan diri, keluarga, dan lingkungan hukumnya wajib. Karenanya, perkara wajib jangan sampai digugurkan oleh perkara sunah.
"Jadi larangan mudik ini lebih ditekankan karena kita semua, pemerintah terutama ini, ingin melindungi diri kita dan seluruh warga negara ini agar terjaga dari penularan Covid-19. Dalil mendahulukan keselamatan itu adalah wajib harus lebih diutamakan dari pada mengejar kesunahan yang lain," ungkap Yaqut.
Namun, kebijakan pelarangan mudik memang harus diambil untuk mengantisipasi kembali meluasnya wabah Covid-19. Di sisi lain, walaupun tanpa mudik, bukan berarti masyarakat tidak bisa bersilaturahmi atau bergembira merayakan.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan agar Lebaran tetap bisa dirayakan dengan asyik walaupun tanpa mudik. Pandangan ini di antaranya disampaikan Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat dan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Tb Ace Hasan Syadzily.
Komaruddin, misalnya, menegaskan masyarakat tetap dapat memaknai Idul Fitri kali ini meski tanpa mudik dan berkumpul dengan keluarga di kampung. Misalnya, jika ada rezeki berlebih, cukup kirimkan uang ke keluarga di kampung dan mereka pasti ke sangat senang meskipun tidak hadir secara fisik.
Selain itu, masyarakat juga bisa memanfaatkan berbagai teknologi komunikasi untuk bersilaturahmi. "Saat ini berkomunikasi jarak jauh sangat mudah via telepon. Bahkan bisa kirim photo dan video. Kabar selamat disertai foto-foto lebaran di rumah masing-masing lebih membahagiakan ketimbang mudik dengan resiko menularkan atau tertular Covid. Ngobrol dengan Zoom, jarak seakan hilang," bebernya.
Bagi Komaruddin, sesungguhnya tetangga tempat tinggal juga merupakan saudara. Karena itu, ketika lebaran nanti cukuplah merayakan bersama tetangga dengan tetap menjaga dan menerapkan protokol (prokes). Atau, kata dia, lebaran bisa dirayakan dengan teman-teman sedaerah yang tinggal satu kota. Bahkan saat ini merupakan musim reuni teman-teman sekolah.
"Dengan begitu bisa menggantikan heboh mudik. Bahkan sesungguhnya anak-anak kita yang lahir di Jakarta, misalnya, tidak begitu antusias pulang mudik seperti orang tua mereka yang memang lahir di kampung," ujarnya.
Secara pribadi Komaruddin merasakan Ramadan tahun ini lebih spiritual. Suasana keluarga lebih dekat. Berdoa pun lebih khusyuk. Komaruddin bersama keluarga selama ini juga tidak terganggu agenda persiapan mudik. Sebelum masa pandemi Covid-19, biasanya Komaruddin sudah menyiapkan paket oleh-oleh kalau akan menjelang acara mudik.
"Sekarang cukup transfer uang untuk saudara-saudara di kampung. Saya rasa di zaman Nabi dulu, ketika datang Idul Fitri tidak seheboh kita dengan agenda mudik," ungkap Komaruddin
Dia lantas mengingatkan, apa yang terjadi di India dan beberapa negara lain yang terjadi penyebaran dan lonjakan kasus Covid-19 mestinya jadi pelajaran kita semua. Setelah setahun mereka jenuh tinggal di rumah, lalu melakukan kerumunan dan rekreasi di tempat keramaian, ternyata akibatnya fatal. Berbagai upaya vaksinasi yang dilakukan pemerintah untuk menciptakan herd immunity gagal.
"Di India, didorong oleh keyakinan agama untuk mengadakan seremoni massal, ternyata Covid tidak kenal agama. Jadi, masyarakat (Indonesia, red.) bersama pemerintah mesti kompak saling memberikan support untuk menghindarkan kerumunan dan kontak fisik," tegas Komaruddin.
Tb Ace Hasan Syadzily juga menegaskan, di masa pandemi ini sebenarnya masyarakat bisa memaknai Idul Fitri dan merayakan Lebaran 1442 Hijriah/2021 tanpa berkumpul secara langsung dengan keluarga di kampung halaman. Ace mengungkapkan, saat ini teknologi komunikasi sudah sangat canggih. Dengan demikian kerinduan terhadap kampung halaman dan keluarga sudah bisa dijembatani sementara ini misalnya dengan berbagai layanan komunikasi.
"Misalnya dengan video call atau dengan Zoom meeting atau dengan teknologi lain yang membuat kita bisa bertemu dan menyapa sanak kerabat kita di kampung halaman. Itu juga kan bisa dilakukan dengan cara menggunakan media sosial lain, seperti saling menyapa di Facebook, saling mengirimkan foto, dan lain-lain," ujarnya.
Dia mengakui komunikasi dengan menggunakan teknologi seperti itu memang tidak bisa memenuhi dan melepaskan secara utuh kerinduan kita sanak saudara yang ada di kampung. Tapi menurut Ace, paling tidak setiap dari kita bisa mengetahui kabar orang tua dan keluarga serta bagaimana kondisi terbaru kehidupan para warga yang ada di kampung.
Karenanya Ace sepakat dan membenarkan saat disinggung bahwa tanpa lebaran bisa tetap asik tanpa mudik. Sekali lagi kata dia, yang paling penting adalah masyarakat masih bisa berinteraksi dengan sanak saudara melalui teknologi komunikasi.
"Yang harus diprioritaskan oleh kita kan justru adalah kita melindungi saudara kita, kita melindungi keluarga kita. Kalau kita sayang dengan orang tua dan keluarga kita di kampung, maka sebaiknya kita tidak pulang (mudik). Sebab, siapa tahu kita punya (sebagai) orang tanpa gejala yang bisa menyebarkan kepada saudara-saudara kita yang ada di kampung," tegas Ace.
"Justru menurut saya, sangat zalim ketika kita tidak bisa memastikan apakah diri kita ini terpapar Covid-19 atau tidak, kemudian malah menyebarkan Covid-19," sambungnya.
Ketua Umum Ikatan Alumni (IKAL) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini lantas menuturkan, ketika larangan mudik tidak diberlakukan kemudian dibuka selebar-lebarnya, maka akan terjadi migrasi atau perpindahan penduduk yang sangat besar ke kampung-kampung. Akibatnya akan terjadi kerumunan dan tumpah ruahnya orang-orang di kampung-kampung serta juga terjadi kemacetan di desa-desa.
Oleh karena itu, Ace mengingatkan, kalau setiap dari kita sayang dengan saudara dan keluarga di kampung, maka sebaiknya menahan diri untuk tidak mudik lebaran.
"Kita menahan diri dulu lah sampai kemudian herd immunity, kekebalan komunitas, terhadap Covid-19 ini betul-betul bisa terwujud. Mudah-mudahan tahun ini (2021) bisa terwujud apa yang disebut kekebalan komunitas itu. Apalagi saat ini seperti kita ketahui, pemerintah sedang gencar-gencarnya melaksanakan program vaksinasi nasional. Tentu vaksinasi nasional itu akan sukses dengan tetap dibarengi dengan protokol kesehatan yang ketat," ucap Ace.
Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini DPP Partai Golkar ini lantas menyatakan, pemberlakuan kebijakan pemerintah melarang mudik Lebaran 1442 Hijriah/2021 kurun 6-17 Mei serta pemberlakuan masa pengetatan pra larangan mudik mulai 22 April-5 Mei dan pemberlakuan pengetatan pasca larangan mudik sejak 18-24 Mei merupakan kebijakan yang tepat dan realistis.
Menurut dia, pemberlakuan kebijakan tersebut merupakan bentuk pencegahan agar Covid-19 tidak menyebarluas ke pelosok-pelosok dan kampung-kampung. Musababnya, bagaimana pun Covid-19 merupakan penyakit yang cepat menyebar karena proses interaksi manusia. Ditambah lagi, saat ini di Indonesia sudah ada beberapa varian baru Covid-19 yang salah satu proses penyebarannya adalah dengan tanpa gejala.
"Kalau penyebarannya sampai ke kampung-kampung, sampai ke pelosok-pelosok, tentu penyebaran Covid-19 pasti tidak akan bisa terkendali. Saya kira kebijakan ini, pertimbangan pemerintah, sangat realistis," ujar Ace.
Diungkapkan, dalam beberapa kali libur panjang sebelumnya seperti akhir tahun 2020 terjadi lonjakan kasus Covid-19 satu pekan setelah libur panjang tersebut. Bahkan lonjakannya teridentifikasi terjadi sangat tajam. Dengan berpijak pada kejadian seperti sebelumnya itu, kata Ace, maka semua pihak termasuk masyarakat umum harus mewaspadainya saat akan memasuki Lebaran 1442 Hijriah/2021.
"Saya khawatir, kalau misalnya dibiarkan masyarakat tetap mudik, proses interaksi manusia dari kota ke desa atau ke kampung itu tidak terkendali, maka penyebaran Covid-19 akan semakin merajalela di Indonesia," tegasnya.
Jika pergerakan masyarakat saat mudik ke kampung atau desa tidak terkendal, maka dikhawatirkan fasilitas kesehatan (faskes) tidak bisa menampung. Musababnya, faskes di kampung-kampung sangat terbatas. Kondisi ini, menurut dia, jelas berbeda dengan faskes di kota yang di antaranya ada faskes milik pemerintah sudah tersedia.
"Nah, kalau di kampung bagaimana kalau terjadi ada yang terkonfirmasi penyakit tersebut (Covid-19) dan menjangkiti masyarakat di desa? Nah, ini yang harus kita hindari," ungkapnya.
Pemudik Lebih Tinggi dari Tahun Lalu
PT Jasa Marga (Persero) memprediksi jumlah kendaraan yang keluar masuk Jabodetabek pada periode 6-12 Mei 2021 (H-7 sampai H-1 Lebaran) sebanyak 593.185 mobil. Angka tersebut mengalami kenaikan 27,19% dibandingkan periode mudik Lebaran tahun 2020.
Corporate Communication & Community Development Group Head Jasa Marga Dwimawan Heru mengakui jika membandingkan dengan periode mudik tahun lalu ada kenaikan. Mengingat pada tahun lalu merupakan awal-awal pandemi virus Covid-19 masuk ke Indonesia.
Operation and Maintenance Management Group Head Jasa Marga Atika Dara Prahita mengatakan, kendaraan keluar masuk Jabodetabek pada periode Lebaran akan melalui empat gerbang tol (GT). Pertama adalah GT Cikampek Utama untuk kendaraan yang akan menuju timur, lalu GT Kalihurip Utama untuk kendaraan yang akan menuju Bandung. Selanjutnya ada Ciawi untuk kendaraan yang menuju Puncak, dan terakhir GT Cikupa namun bukan ruas tol yang dikelola Jasa Marga.
“Kami juga menghitung atau memprediksi adanya penurunan volume lalu lintas transakasi di empat gerbang utama, yaitu di Cikampek Utama menuju Timur, GT Kalihurip Utama itu ke arah Bandung, GT Ciawi menuju Puncak, dan GT Cikupa yang dikelola oleh non-Jasamarga,” jelasnya.
Menurut Atika, jumlah kendaraan yang akan keluar Jabodetabek pada periode larangan mudik mencapai 593.185 kendaraan. Dari jumlah tersebut, puncak arus mudik diperkirakan akan terjadi pada H-2 Lebaran dengan perkiraan 109.327 kendaraan.
Menurut dia, jika dibandingkan dengan lalu lintas normal, ada sedikit penurunan sebesar 35,9% dari lalu lintas normal 2020. Sedangkan jika dibandingkan dengan Lebaran 2019 juga mengalami penurunan sebesar 49,53%.“Di empat GT ini kami memprediksi adanya penurunan lalin pada periode 6-12 Mei ke keluar Jabodetabek sekitar 35,9%. Kami memprediksi puncaknya 11 Mei atau H-2,” jelasnya.
Indikator Politik Indonesia dalam survei nasional yang bertajuk “Persepsi Ekonomi dan Politik Jelang Lebaran” menemukan masih ada sekitar 20,8% masyarakat yang kemungkinan besar akan melakukan mudik pada Lebaran tahun ini, melakukan kunjungan pada sanak saudara atau pergi ke tempat wisata.
‘’Lainnya 2,9% sangat besar, 17,9% cukup besar, 38,6% kecil, 34,2% sangat kecil dan sisanya tidak menjawab,” ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dalam rilis survei secara daring, kemarin.
Dalam surveinya, Indikator menanyakan opini publik tentang isu sosial-ekonomi yang berkaitan dengan lebaran tahun ini, antara lain tentang ketersediaan beras dan keputusan pemerintah tentang pelarangan mudik pada Lebaran tahun ini, serta intensi mudik warga meski ada pelarangan tersebut.
Dalam surveinya, Indikator juga menemukan , hampir separuh masyarakat mendukung kebijakan pelarangan mudik yakni sebesar 45,8%, 28% tidak setuju, sementara 23% tidak memilih setuju ataupun tidak setuju dengan kebijakan itu. Alasannya, kebanyakan masyarakat ingin mengurangi penyebaran COVID-19 sebesar 36,4%, adar pandemi segera berakhir 15,7%, 13% mematuhi arahan pemerintah, dan lain-lainnya.
Adapun bagi yang tidak setuju dengan larangan mudik, alasannya adalah ingin berkunjung ke rumah keluarga 18,4%, rindu pada keluarga 12,2%, bisa menggunakan protokol kesehatan 9,2%, kebiasaan tahunan 8,5% dan alasan lainnya.“Berkunjung ke rumah keluarga menjadi penyebab utama warga tidak setuju dengan pelarangan mudik,” jelas Burhanuddin.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Letnan Jenderal TNI Doni Monardo menyatakan, kebijakan pemerintah melarang mudik Lebaran 2021 dan pemberlakuannya serta pemberlakuan pengetatan pra larangan mudik, dan pemberlakuan pengetatan pasca larangan mudik merupakan upaya pemerintah untuk menekan penyebaran Covid-19 dan melindungi masyarakat.
Di sisi lain tutur Doni, para petugas di lapangan harus juga mengejawantahkan aturan atau kebijakan tersebut secara persuasif kepada masyarakat. Artinya para petugas di berbagai daerah tetap tegas tapi tidak perlu terlalu arogan.’’ Beri pemahaman mengapa pemerintah melarang mudik. Kita tidak ingin Indonesia seperti India. Data sudah menyebutkan bahwa dalam setahun pandemi, dari lima kali musim liburan, lima kali pula kita mengalami pelonjakan kasus, termasuk korban meninggal," ujar Doni.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ini membeberkan, bagi masyarakat yang berada dalam satuan wilayah aglomerasi pun tidak perlu melakukan mudik atau perjalanan ke luar daerah dan kota terdekat elang Idul Fitri 1442 H/2021. Dia mengungkapkan, pihaknya begitu juga pemerintah tentu masyarakat dapat patuh tidak melakukan mudik lokal.
"Jadi mudik lokal pun kita harapkan tetap dilarang. Jangan dibiarkan terjadi mudik lokal. Kalau terjadi mudik lokal, artinya ada silaturahmi, ada salam-salaman, ada cipika-cipiki. Artinya apa? bisa terjadi proses penularan satu sama lainnya," ungkapnya.
Doni melanjutkan, larang mudik pun berlaku bagi warga yang telah mengantongi hasil negatif Covid-19 setelah melakukan swab tes PCR atau antigen. Musababnya, ujar dia, orang itu bisa saja berpotensi tertular Covid-19 di perjalanan. Ketika hal tersebut terjadi, maka orang itu menyebar ke keluarga, orang tua ataupun saudara yang ada di kampung halaman. Karenanya dia tetap berharap, masyarakat tetap patuh dengan larang mudik sebagai instruksi Presiden Joko Widodo.
"Saya harapkan, tidak ada pihak manapun yang tidak mengikuti instruksi dari Kepala Negara Presiden Jokowi. Negara kita sedang menghadapi ancaman, yaitu Covid-19. Mohon kiranya berkenan kita rapatkan barisan, kita kompak, kita tingkatkan disiplin. Hanya disiplin dan patuh kepada patuh protokol kesehatan yang mampu menyelamatkan bangsa," tegas Doni.
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menegaskan, keputusan pemerintah yang melarang mudik Lebaran 2021 dan pemberlakuan larangan tersebut merupakan wujud nyata negara melindungi seluruh warga negara agar terjaga dan tidak terpapar Covid-19. Dia menegaskan, setiap keputusan yang diambil pemerintah pasti memiliki dasar dan pijakan yang kokoh.
Dia lantas menuturkan, mudik secara hukum adalah sunah. Sementara itu tutur dia, menjaga kesehatan diri, keluarga, dan lingkungan hukumnya wajib. Karenanya, perkara wajib jangan sampai digugurkan oleh perkara sunah.
"Jadi larangan mudik ini lebih ditekankan karena kita semua, pemerintah terutama ini, ingin melindungi diri kita dan seluruh warga negara ini agar terjaga dari penularan Covid-19. Dalil mendahulukan keselamatan itu adalah wajib harus lebih diutamakan dari pada mengejar kesunahan yang lain," ungkap Yaqut.
(ynt)