KKB Ditetapkan sebagai Teroris, Akan Efektifkah Penanganan Kekerasan di Papua?

Minggu, 02 Mei 2021 - 11:49 WIB
loading...
KKB Ditetapkan sebagai Teroris, Akan Efektifkah Penanganan Kekerasan di Papua?
Pemerintah telah menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua beserta semua yang tergabung di dalamnya sebagai daftar terduga teroris dan organisasi teroris (DTTOT). Foto/Ilustrasi/Satgas Nemangkawi
A A A
JAKARTA - Pemerintah telah menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua beserta semua yang tergabung di dalamnya sebagai daftar terduga teroris dan organisasi teroris (DTTOT).

Keputusan pemerintah itu disampaikan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD dalam jumpa pers, Kamis 29 April 2021. “Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan massif dikategorikan sebagai teroris," ujar Mahfud.

Pelabelan itu dilakukan pemerintah karena tindakan kekerasan di Papua dalam beberapa hari terakhir ini semakin meresahkan. "Banyak tokoh adat Papua datang ke Menko Polhukam dan pimpinan daerah di sana menyatakan dukungan pemerintah melakukan tindakan diperlukan guna menangani tindak kekerasan yang muncul di Papua," ujar Mahfud.

Untuk itu, pemerintah meminta Badan Intelijen Negara (BIN), TNI dan Polri untuk segera melakukan tindakan secara cepat, tegas dan terukur terhadap KKB Papua. Lalu, akankah penetapan KKB sebagai teroris itu efektif dalam penanganan kekerasan di Papua?

“Kebijakan pelabelan pemerintah terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai teroris menggambarkan ketidakcakapan pemerintah dalam mengelola dan meniti resolusi konflik di Papua dan ekspresi sikap putus asa pemerintah yang tidak kunjung tuntas menangani kelompok perlawanan Papua,” ujar Ketua SETARA Institute, Hendardi, Sabtu 1 Mei 2021.

Hendardi menambahkan, bukannya membangun dialog Jakarta-Papua dan mengurangi pendekatan keamanan, pemerintah justru mempertegas pilihan kekerasan bagi penanganan Papua. “Selain kontraproduktif, mempercepat dan memperpanjang spiral kekerasan, langkah pemerintah juga rentan menimbulkan pelanggaran HAM yang serius,” kata Hendardi. ( )

Dia melanjutkan, sama seperti penamaan KKB yang merupakan produk Negara, penamaan sebagai teroris juga dilakukan oleh Negara untuk melegitimasi tindakan-tindakan represif dan pembenaran operasi secara massif di Papua. “Pelabelan kelompok perlawanan di Papua tidak akan memutus siklus kekerasan yang telah berlangsung lama dan Panjang,” katanya.

Menurut dia, kegagalan aparat keamanan dalam melumpuhkan kelompok bersenjata selama ini lebih dikarenakan kurangnya dukungan dan kepercayaan dari rakyat setempat. “Selain kondisi geografis dan pengenalan area di pegunungan sebagai kendala utama. Pelabelan teroris dan tindakan operasi lanjutannya adalah kebijakan terburuk Jokowi atas Papua,” ujar Hendardi.

Selain itu, dia menilai pelabelan teroris pada KKB akan menimbulkan sejumlah implikasi. “Pertama, pelabelan ini menutup ruang dialog Jakarta-Papua yang direkomendasikan oleh banyak pihak sabagai jalan membangun perdamaian,” ungkapnya.

Kedua, lanjut dia, meningkatnya eskalasi kekerasan yang berdampak langsung pada rakyat Papua seperti terpaksa mengungsi untuk mencari selamat, kehilangan penghasilan ekonomi, anak-anak tidak bersekolah, kesehatan dan sanitasi lingkungan terganggu serta hal lain-lain. Ketiga, kata dia, pelabelan terorisme membuka terjadinya pelembagaan rasisme dan diskriminasi berkelanjutan atas warga Papua secara umum, mengingat tidak jelasnya definisi siapa yang dinyatakan teroris.

“Pilihan Jokowi melabeli KKB Papua sebagai teroris dan dampak lanjutan yang akan terjadi, akan menutup kesempatan Jokowi dan pemerintah untuk membangun Papua secara humanis, sebagaimana yang dijanjikannya dalam berbagai kesempatan,” tuturnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, pilihan realistis bagi Papua adalah penyelesaian secara damai dimulai dengan kesepakatan penghentian permusuhan, membangun dialog dan susun skema-skema pembangunan yang disepakati. “Revisi UU Otonomi Khusus Papua bisa menjadi momentum mendialogkan isu-isu krusial Papua, termasuk soal penanganan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat,”kataHendardi.

Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. “Ini langkah yang keliru. Selama ini orang Papua sudah marah distigma sebagai separatis, sekarang mereka dilabeli sebagai teroris. Kalau UU Terorisme betul diterapkan di sana, makin banyak orang Papua yang ditangkap tanpa didasarkan bukti-bukti. Akan ada lebih banyak ketakutan, kemarahan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan juga negara,” kata Usman Hamid.

Amnesty menilai dengan label teroris, aparat keamanan pemerintah dapat menangkap dan menahan siapa saja di bawah UU Terorisme tanpa mematuhi kaidah hukum acara yang benar (due process of law). Amnesty berpendapat bahwa proses hukum dengan tuduhan ini dapat menjadi lebih keras dibanding pasal-pasal makar yang kerap kali dituduhkan kepada orang Papua.

Amnesty di tahun 2021 mencatat adanya 31 tahanan hati nurani yang dikenakan pasal-pasal makar hanya karena mengekspresikan pandangan politiknya. Di antaranya adalah 13 aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sudah bebas dan berstatus wajib lapor, lalu enam orang di Sorong, dan tiga orang aktivis KNPB di Sorong.

“Ini terlihat sebagai upaya yang lebih legal untuk mencap separatis sebagai teroris. Kebijakan yang dikoordinasikan Menko Polhukam saat ini bisa mengulangi kesalahan kebijakan Menko Polhukam di era pemerintahan Megawati yang mencap tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka dengan tuduhan teroris dan pada akhirnya hanya menggagalkan peluang penyelesaian konflik secara damai,” kata Usman..

Amnesty juga menilai pemberian label teroris terhadap kelompok seperti OPM tidak akan menghentikan pembunuhan di luar hukum dan kekerasan lainnya di Papua. Sebaliknya, Amnesty berpendapat, masuknya OPM dalam DTTOT sama saja dengan memperluas lingkup pendekatan keamanan, termasuk dengan melibatkan senjata berat dan pasukan khusus.

Selain itu, penentuan status OPM sebagai organisasi teroris juga tidak konsisten dengan UU Tindak Pidana Terorisme, khususnya Pasal 5 yang menyatakan “Tindak pidana teroris yang diatur dalam UU ini harus dianggap bukan tindak pidana politik,” Katanya.

Sementara, kegiatan yang dilakukan OPM dinilai sangat lekat dengan aspek politik karena berhubungan dengan ekspresi politik mereka, yang diakui oleh hukum internasional. Kemudian, penetapan status itu juga dianggap berpotensi untuk semakin membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul orang Papua melalui UU Terorisme.

Lebih dari empat dekade, orang Papua mengalami pembatasan hak untuk berkumpul dan berekspresi. Maka itu, Amnesty International mendesak pemerintah untuk mencabut OPM dari DTTOT dan untuk segera mengevaluasi pendekatan keamanan yang berlangsung di Papua.

“Pendekatan keamanan hanya akan memperkuat memori kekerasan dan penderitaan secara turun temurun di antara orang asli Papua akibat banyaknya ketidakadilan dan pelanggaran kemanusiaan dan hak asasi orang Papua,”kata Usman.

Kata dia, Negara harus memastikan keadilan bagi orang Papua dengan membawa semua pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM baik dari aktor negara maupun aktor non-negara berdasarkan bukti yang cukup ke pengadilan pidana yang terbuka, efektif dan independen, dengan memenuhi prinsip peradilan yang jujur, adil, dan tidak memihak.

“Dengan cara itu kekerasan perlahan bisa berakhir. Lagipula, mengapa pemerintah tidak mendorong proses dialog damai untuk menghentikan konflik yang selama ini terjadi? Padahal Presiden Jokowi pernah berjanji akan duduk bersama dengan berbagai kelompok di Papua, termasuk kelompok pro-kemerdekaan. Bahkan Presiden pernah memberikan grasi kepada kelompok pro-kemerdekaan yang terlibat kekerasan. Label teroris hanya semakin menjauhkan pemerintah dari solusi,” kata Usman.

Sementara itu, Putri Presiden keempat Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Zannuba Ariffah Chafsoh atau akrab dipanggil Yenny Wahid meminta polemik kebijakan pemerintah terhadap KKB itu jangan sampai menggeser fokus upaya mewujudkan masa depan Papua yang sejahtera dan mampu mensejahterahkan masyarakatnya. Sebagai pribadi, Yenny Wahid mengaku mengenal baik Menkopolhukam Mahfud MD.

“Beliau sangat dekat dengan Gus Dur yang selalu mengambil kebijakan dengan pendekatan humanistik. Karena itu, saya yakin penetapan pemerintah soal istilah kelompok teroris terhadap KKB Papua, bukan dimaksudkan untuk menihilkan pendekatan humanis dalam menyelesaikan persoalan secara holistik di Papua,” kata Yenny Wahid dalam keterangan tertulisnya, Jumat 30 April 2021.

Karena itu, Yenny Wahid mengajak semua pihak tentu dalam porsinya masing-masing, untuk tetap bersama-sama mengawal dan mengupayakan agar siklus kekerasan tidak berlanjut di bumi Papua. “Tekad kita satu, Papua sejahtera. Luka di Papua adalah luka seluruh Bangsa Indonesia. Senyum di Papua adalah senyum kita semua pula,” ujar Yenny.

Dia melihat yang kontra terhadap keputusan pemerintah itu berharap istilah Kelompok Teroris bisa ditinjau ulang, bisa dipahami. Dan selanjutnya mendorong pendekatan kemanusiaan lewat dialog menjadi arus utama. “Ini sejatinya sejalan dengan langkah dan upaya Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam menyelesaikan beragam soal di Papua lewat pendekatan yang humanistik,” kata Yenny.

Mewakili kaum perempuan, Yenny memahami dan meyakini betul pendekatan kekerasan dalam hal apapun tidak akan menyelesaikan persoalan, termasuk di Papua. Malah justru berpotensi memunculkan lingkaran kekerasan baru yang menimbulkan trauma, terutama bagi generasi masa depan, anak-anak kita termasuk anak-anak di Papua.

“Meski demikian, bukan berarti kita tidak bisa bersikap tegas. Di sini saya perlu garis bawahi bahwa ketegasan berbeda dengan kekerasan. Ketegasan tetap wajib ditunjukkan terhadap hal-hal berkaitan dengan pelanggaran hukum dan konstitusi. Lebih-lebih terhadap tindakan yang dengan sengaja berusaha menginjak-injak nilai kemanusiaan itu sendiri,” tuturnya.

Sedangkan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia yang juga sebagai Rektor Universitas Jenderal A. Yani, Hikmahanto Juwana menilai keputusan pemerintah itu sudah tepat. “Penggunaan kekerasan oleh pihak-pihak tertentu yang melawan pemerintah yang sah di Papua telah sampai pada penggunaan kekerasan yang mengarah pada terorisme,” kata Hikmahanto.

Menurut Hikmahanto, penggunaan kekerasan di Papua paling tidak ada tiga kategori. Pertama, kategori penggunaan kekerasan dalam bentuk Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). “Pihak-pihak seperti ini menggunakan kekerasan namun tidak ada niatan dari pelaku untuk memisahkan diri dari NKRI atau mengusung ideologi separatism,” katanya.

Kedua adalah katagori penggunaan kekerasan untuk tujuan memisahkan diri dari NKRI. “Ini dalam UU TNI disebutkan sebagai separatisme bersenjata. Pihak-pihak yang menghunakan kekerasan dengan jelas memiliki ideologi untuk memisahkan diri,” imbuhnya.

Dia melanjutkan, yang menjadi target penyerangan dengan menggunakan senjata adalah instalasi militer atau pemerintahan, sama sekali bukan penduduk sipil. Terakhir adalah penggunaan kekerasan yang bertujuan untuk menimbulkan suasana teror.

Dia memaparkan, dalam Pasal 6 UU Terorisme jelas disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut. “Inti dari Pasal 6 UU Terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan suasana teror. Dalam konteks target serangan bisa ke siapa saja tidak hanya instansi militer atau pemerintah tetapi juga masyarakat sipil yang tidak berdosa,” ujarnya.

Menurut dia, bagi mereka yang melancarkan serangan teror yang penting adalah menimbulkan suasana terror, sehingga apa yang menjadi tuntutan pelaku akan mudah dikabulkan oleh pihak yang dituntut, yakni pemerintah. “Berdasarkan UU Terorisme maka tidak hanya Polri yang dapat menghadapi pelaku teror, tetapi juga TNI,” tuturnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, penggunaan kekerasan oleh pihak-pihak tertentu yang terjadi di Papua tidak mungkin dihadapi oleh pemerintah dengan kesejahteraan, tetapi harus digunakan juga penggunaan kekerasan.

Dia menjelaskan, dunia dan masyarakat internasional sangat bisa memahmi bila pemerintah akan memberlakukan UU Terorisme atas penggunaan kekerasan oleh pihak-pihak tertentu. “Masyarakat internasional akan memahami penggunaan kekerasan oleh pemerintah bukanlah justifikasi untuk bertindak secara represif di tanah Papua,” tuturnya.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4479 seconds (0.1#10.140)