#Indonesiaterserah dan Ekosistem Penanganan Covid-19
loading...
A
A
A
Yang konsisten dari inkonsistensi ini adalah produksi pernyataan yang membingungkan. Ini akhirnya jadi wacana di masyarakat. Di antaranya, mudik vs pulang kampung, boleh vs tak jadi boleh mudik, melawan vs damai dengan Covid-19, pelonggaran vs tetap patuh pada PSBB, ijin beroperasi moda transportasi vs ijin perjalanan tertentu, dan yang terbaru batas usia kurang dari 45 tahun untuk kembali bekerja, namun dibantah Menteri Koordinator Perekonomian sebagai bukan kebijakan yang diambil pemerintah.
Unsur kedua dari jejaring adalah media. Media tak kecil kotribusinya pada keadaan tak ideal penanganan Covid-19. Media yang dibicarakan di sini, selain media konvensional yang dimoderasi editor, juga media yang ada di tangan masyarakat. Jenis kedua ini berupa media sosial, yang tanpa didasari moderasi editor ala media profesional.
Jose Luis Orihuela, 2017 dalam The 10 New Paradigm of Communication in The Digital Age, mengemukakan karakteristik baru media di antaranya, non moderator edited. Lewat jenis-jenis media inilah pengetahuan masyarakat terkait Covid-19 terbentuk. Tuntutan awal tentang perlunya lockdown vs tak perlu lockdown, penanganan herd immunity vs vaksin, pemilihan prioritas penyelamatan kesehatan vs penyelamatan ekonomi, hingga perpanjangan vs relaksasi PSBB, adalah silang pendapat masyarakat, yang sering memojokkan pemerintah.
Ini terjadi berdasar pengetahuan yang utamanya dibentuk media. Persoalannya, media yang dimoderasi editor, belum sepenuhnya bisa membuktikan lepas dari kepentingan ekonomi. Mereka mengutamakan perolehan iklan, penyajian informasinya bernuansa click bait dan kental dengan tendensi traffic. Sedangkan media sosial hingga hari ini tak sepenuhnya bisa lepas dari persaingan Pilpres 2019. Kebenaran maupun tak kebenaran seringkali diproduksi berdasar pemihakan pada calon presidan tertentu. Ini semua tentu saja bukan informasi yang memberi kepastian, bagi penanganan Covid-19.
Unsur ketiganya, masyarakat itu sendiri. Mereka adalah subyek dan obyek penanganan Covid-19. Spektrum tanggapan terhadap ancaman penularan sangat bervariasi. Ada yang patuh dan saat ini masih menjalankan himbauan pencegahan penularan. Namun lebih banyak, yang larut pada ketakpedulian.
Kelompok ini bahkan menyangkal eksistensi virus, lewat teori konspirasi. Variasi kepatuhan dan ketakpedulian inilah, sumber masalah besar. Sebagian yang telah patuh, mulai jenuh jalankan himbauan. Bagi mereka, H1 penangan Covid-19 dengan cara yang benar, belum pernah dimulai.
Kelompok inilah yang diduga menggaungkan #Indonesiaterserah. Ketanggapan di masa krisis, melahirkan masa bodoh. Rasa tak berdaya menghadang penularan virus, makin parah oleh ancaman ekonomi yang suram. Maka, daripada lelah mengkarantina diri, tak ada salahnya berbaur di perpisahan McD Sarinah, ikut antrian mudik di Bandara Sukarno Hatta, atau antri belanja jelang Idul Fitri.
Nampak ekosistem abai Covid-19, bukan gejala yang disebabkan satu pihak. Manfaat berkegiatan di rumah yang tak kunjung diperoleh, melahirkan gunung es #Indonesiaterserah. Mengakhiri ekosistem permasalahan, bukan oleh penemuan vaksin saja, namun juga gerakan bersama digerakkan oleh komunikasi yang jelas
Unsur kedua dari jejaring adalah media. Media tak kecil kotribusinya pada keadaan tak ideal penanganan Covid-19. Media yang dibicarakan di sini, selain media konvensional yang dimoderasi editor, juga media yang ada di tangan masyarakat. Jenis kedua ini berupa media sosial, yang tanpa didasari moderasi editor ala media profesional.
Jose Luis Orihuela, 2017 dalam The 10 New Paradigm of Communication in The Digital Age, mengemukakan karakteristik baru media di antaranya, non moderator edited. Lewat jenis-jenis media inilah pengetahuan masyarakat terkait Covid-19 terbentuk. Tuntutan awal tentang perlunya lockdown vs tak perlu lockdown, penanganan herd immunity vs vaksin, pemilihan prioritas penyelamatan kesehatan vs penyelamatan ekonomi, hingga perpanjangan vs relaksasi PSBB, adalah silang pendapat masyarakat, yang sering memojokkan pemerintah.
Ini terjadi berdasar pengetahuan yang utamanya dibentuk media. Persoalannya, media yang dimoderasi editor, belum sepenuhnya bisa membuktikan lepas dari kepentingan ekonomi. Mereka mengutamakan perolehan iklan, penyajian informasinya bernuansa click bait dan kental dengan tendensi traffic. Sedangkan media sosial hingga hari ini tak sepenuhnya bisa lepas dari persaingan Pilpres 2019. Kebenaran maupun tak kebenaran seringkali diproduksi berdasar pemihakan pada calon presidan tertentu. Ini semua tentu saja bukan informasi yang memberi kepastian, bagi penanganan Covid-19.
Unsur ketiganya, masyarakat itu sendiri. Mereka adalah subyek dan obyek penanganan Covid-19. Spektrum tanggapan terhadap ancaman penularan sangat bervariasi. Ada yang patuh dan saat ini masih menjalankan himbauan pencegahan penularan. Namun lebih banyak, yang larut pada ketakpedulian.
Kelompok ini bahkan menyangkal eksistensi virus, lewat teori konspirasi. Variasi kepatuhan dan ketakpedulian inilah, sumber masalah besar. Sebagian yang telah patuh, mulai jenuh jalankan himbauan. Bagi mereka, H1 penangan Covid-19 dengan cara yang benar, belum pernah dimulai.
Kelompok inilah yang diduga menggaungkan #Indonesiaterserah. Ketanggapan di masa krisis, melahirkan masa bodoh. Rasa tak berdaya menghadang penularan virus, makin parah oleh ancaman ekonomi yang suram. Maka, daripada lelah mengkarantina diri, tak ada salahnya berbaur di perpisahan McD Sarinah, ikut antrian mudik di Bandara Sukarno Hatta, atau antri belanja jelang Idul Fitri.
Nampak ekosistem abai Covid-19, bukan gejala yang disebabkan satu pihak. Manfaat berkegiatan di rumah yang tak kunjung diperoleh, melahirkan gunung es #Indonesiaterserah. Mengakhiri ekosistem permasalahan, bukan oleh penemuan vaksin saja, namun juga gerakan bersama digerakkan oleh komunikasi yang jelas
(eko)