Aturan Mudik Jangan Jadi Macan Kertas (Lagi)

Selasa, 20 April 2021 - 06:10 WIB
loading...
Aturan Mudik Jangan Jadi Macan Kertas (Lagi)
Regulasi soal larangan mudik pada Lebaran tahun ini diharapkan konsisten dilaksanakan. (Ilustrasi: Wawan Bastian/SINDOnews)
A A A
DILIHAT dari persiapannya, strategi pemerintah dalam pengelolaan mudik Lebaran kali ini lebih matang ketimbang pada 2020. Regulasi, koordinasi atau rencana aksi tampak lebih rapi dan presisi. Lewat Surat Edaran (SE) Nomor 13/2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idulfitri Tahun 1442 Hijriah, pemerintah berharap masyarakat patuh. Harapan besarnya, lewat surat edaran ini, penyebaran virus Covid-19 bisa lebih dikendalikan.

Hukuman bagi pelanggarnya pun tak ringan. Mereka yang nekat menerobos pintu penyekatan akan dijerat dengan UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Ancaman maksimal hukumannya merujuk Pasal 93 adalah kurungan satu tahun atau denda maksimal Rp100 juta.

Ini tak berlebihan. Sebab, pemerintah pasti telah belajar banyak dari pengalaman tahun lalu, kala aturan larangan mudik nyatanya tak banyak berfaedah. Meski penyekatan telah dilakukan, faktanya ada puluhan ribu pemudik tetap bisa lolos. Bahkan, saat arus balik tampak di sebuah ruas tol petugas mengatur arus sedemikian rupa agar perjalanan tak memicu kemacetan.

Adakah sanksi bagi para pemudik ini? Tidak. Kok bisa? Itulah realitasnya. Saat itu regulasi pelarangan mudik sudah ada, penyekatan juga dilakukan di sana sini. Tapi ternyata tak mudah membendung gelombang mudik yang cukup besar.

Toh, meski terbilang masih besar, pada 2020 itu orang Jakarta dan sekitarnya, khususnya yang mudik, sebenarnya menurun sangat drastis dibanding kondisi normal. Namun, deklinasi ini bukan lantaran semata-mata patuh akan regulasi larangan mudik. Mereka tidak mudik karena memang enggan keluar rumah. Rasa takut akan terpapar virus korona masih sangat tinggi. Mereka rela berdiam diri di rumah berhari-hari demi menyelamatkan keluarga inti.

Kini tantangan yang dihadapi jelas sangat berbeda. Ketakutan publik akan korona tak sekuat tahun lalu. Seiring waktu mereka makin memiliki pemahaman dan kesadaran tinggi akan Covid-19. Apalagi banyak warga juga telah mendapatkan vaksinasi. Tidak dapat dimungkiri, sebagian masyarakat menganggap vaksinasi adalah modal kuat bagi tiap individu untuk memiliki kekuatan yang ampuh melawan datangnya virus korona. Mereka juga yakin, semakin banyak orang mendapatkan suntikan vaksin, kekebalan bersama (herd immunity) akan terbentuk. Dengan asumsi ini, ketakutan terhadap paparan Covid-19 tak perlu dilebih-lebihkan lagi.

Perubahan-perubahan cara pandang publik terhadap Covid-19 ini mampukah diantisipasi lewat regulasi? Jawaban ini tentu butuh pembuktian. Namun, melihat tantangan yang kian kompleks di lapangan, pencegahan mudik tahun ini hakikatnya semakin tak ringan.

Ada beberapa poin yang patut menjadi perhatian pemerintah melalui stakeholder-nya agar regulasi mudik tak seolah jadi macan kertas lagi. Selain masyarakat tak terlalu takut lagi dengan virus korona, pada persoalan teknis, regulasi ini banyak memiliki sisi kelemahan. Aglomerasi sebagai jalan tengah menghadapi susahnya mengendalikan pergerakan masyarakat di suatu wilayah pun tidak sesederhana yang terpotret di dalam peta.

Justru, jika tak hati-hati, kebijakan aglomerasi ini akan menjadi pintu utama jebolnya kasus baru Covid-19. Hal ini tak berlebihan karena ketika aglomerasi ditetapkan maka sejatinya pada saat yang sama pelonggaran diberlakukan. Di sisi lain, di antara kawasan yang masuk aglomerasi ini justru masih memiliki angka kasus baru yang relatif tinggi. Jabodetabek, Semarang Raya, Yogyakarta Raya, dan Surabaya Raya misalnya. Siapa yang bisa menjamin, pelonggaran ini tak akan memicu kasus baru? Apalagi di daerah, mafhum kita temui umumnya masyarakat tak terlalu peduli dengan virus ini lagi. Kerumuna di jalan, di pasar, atau di tempat ibadah bisa menjadi banyak bukti.

Di sisi lain, publik pun seolah kenyang pengalaman dengan kebijakan pemerintah. Mereka bukan lagi takut, tapi bagaimana menyiasati regulasi yang ada itu. Aturan larangan mudik mulai 6-17 Mei, misalnya, bukanlah harga mati bagi calon pemudik. Mereka semakin rileks karena toh bisa pulang ke kampung halaman sebelum aturan itu benar diterapkan. Peluang ini makin terbuka manakala sistem kerja di rumah (work from home) masih banyak diterapkan di sejumlah instansi atau perusahaan.

Sangat mungkin regulasi baru ini akan efektif menyasar para aparatur sipil negara (ASN), pegawai BUMN, atau sebagian buruh pabrik. Tapi melihat persentasenya, jumlah mereka masih kalah banyak dengan pekerja informal yang ada.

Masalah lain yang membuat regulasi ini semakin mendapat banyak tantangan adalah kemampuan pemerintah menyediakan petugas yang bisa berjaga 24 jam dan di semua titik jalur, termasuk jalur tikus. Lagi-lagi berpijak pada pengalaman tahun lalu, tak mungkin mereka menjaga semua pintu keluar daerah itu. Apalagi tanpa sokongan anggaran yang memadai, mereka umumnya bekerja hanya sepotong dari waktu itu. Sangat mungkin tujuan mereka yang penting bisa untuk dilaporkan ke atasan.

Regulasi larangan mudik bukanlah harga mati. Untuk bisa berjalan efektif, butuh keseriusan pemerintah mengendalikan semua lini.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3315 seconds (0.1#10.140)