Banyak Pasien Gagal Ginjal Kena Hepatitis C, KPCDI Minta Audiensi dengan DPR
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) telah mengajukan permohonan kepada Ketua Komisi IX DPR, Felly Estelita Runtuwene, untuk dilakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait persoalan penularan hepatitis C pada pasien hemodialisis (cuci darah).
Lanjut Tony, dalam hal pelayanan hemodialisis, semua pihak tidak dapat menutup mata jika penggunaan tabung dialiser yang digunakan secara berulang pada setiap tindakan hemodialisis menjadi biang keladi paparan hepatitis C kepada para pasien.
"Dalam hubungannya dengan penularan virus hepatitis C, maka reuse tabung dialiser dapat menjadi salah satu faktor risiko yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan penggunaannya," ucapnya.
Tony menambahkan, sampai hari ini terdapat kesenjangan tarif antar tipe rumah sakit yang berbeda dalam pelayanan tindakan hemodialisis. Hal ini membuat sebagian besar pasien di tipe rumah sakit yang rendah tidak mendapatkan hak atas obat.
"Contohnya obat anemia erythropoietin. Hanya rumah sakit tipe A yang rutin memberikan, sedangkan tipe dibawahnya sulit untuk diperoleh pasien. Akhirnya pasien memilih transfusi darah dan beresiko terinfeksi virus hepatitis C. Dan ini sangat diskriminatif," tegasnya.
Tony mendesak pemerintah untuk dapat mengevaluasi sistem pembiayaan satu paket menjadi paket terpisah antara komponen tindakan hemodialisis dan obat-obatan sehingga pemberian obat-obatan dapat secara tepat diberikan sesuai indikasi medis kepada pasien yang membutuhkan.
"Jika obat-obatan bisa diperoleh, tentu akan menekan tingkat penularan hepatitis C kepada pasien dan keluarganya serta meningkatkan kualitas hidup mereka," pungkasnya.
Lanjut Tony, dalam hal pelayanan hemodialisis, semua pihak tidak dapat menutup mata jika penggunaan tabung dialiser yang digunakan secara berulang pada setiap tindakan hemodialisis menjadi biang keladi paparan hepatitis C kepada para pasien.
"Dalam hubungannya dengan penularan virus hepatitis C, maka reuse tabung dialiser dapat menjadi salah satu faktor risiko yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan penggunaannya," ucapnya.
Tony menambahkan, sampai hari ini terdapat kesenjangan tarif antar tipe rumah sakit yang berbeda dalam pelayanan tindakan hemodialisis. Hal ini membuat sebagian besar pasien di tipe rumah sakit yang rendah tidak mendapatkan hak atas obat.
"Contohnya obat anemia erythropoietin. Hanya rumah sakit tipe A yang rutin memberikan, sedangkan tipe dibawahnya sulit untuk diperoleh pasien. Akhirnya pasien memilih transfusi darah dan beresiko terinfeksi virus hepatitis C. Dan ini sangat diskriminatif," tegasnya.
Tony mendesak pemerintah untuk dapat mengevaluasi sistem pembiayaan satu paket menjadi paket terpisah antara komponen tindakan hemodialisis dan obat-obatan sehingga pemberian obat-obatan dapat secara tepat diberikan sesuai indikasi medis kepada pasien yang membutuhkan.
"Jika obat-obatan bisa diperoleh, tentu akan menekan tingkat penularan hepatitis C kepada pasien dan keluarganya serta meningkatkan kualitas hidup mereka," pungkasnya.
(maf)