Penyiaran Program Ramadan
loading...
A
A
A
Gun Gun Heryanto
Dosen UIN Jakarta, dan Wakil Ketua Komisi Infokom MUI
BULAN suci Ramadan 1442 H segera tiba. Momentum tahunan yang senantiasa ditunggu kehadirannya oleh umat muslim di seluruh dunia. Selain menjalankan ibadah puasa selama sebulan lamanya, banyak ritual lain dan suasana psikologis umat Islam yang berubah dan menjadi karakter khas selama bulan Ramadan. Tentu, perlu suasana kondusif yang menunjang kekhusyukan ibadah umat Islam. Oleh karenanya, semua pihak harus menghormati dan turut mendukung kondisi nyaman, termasuk kalangan media penyiaran. Media massa memiliki peran dan fungsi strategis di tengah masyarakat, terlebih saat proses konsumsi publik terhadap tayangan program siaran Ramadan meningkat signifikan.
Peran Media
Media penyiaran memiliki kekuatan, terutama saat mereka memproduksi, mereproduksi, dan mendistribusikan isi siarannya ke khalayak luas. Daya jangkaunya yang luas dan daya tarik audio visualnya membuat banyak masyarakat meluangkan waktu di tengah aktivitasnya sehari-hari, termasuk saat menjalankan ibadah puasa terlebih di musim pandemi Covid-19.
Data dari lembaga riset Nielsen yang dirilis Selasa (13/5/2020) menyebutkan bahwa sejak implementasi work from home (WFH) dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), jumlah pemirsa TV meningkat dengan rata-rata 12% lebih tinggi dari periode normal. Jumlah penonton di segmen kelas atas telah meningkat sebesar 14% dengan durasi menonton TV juga meningkat menjadi 5 jam 46 menit. Di bulan Ramadan tahun 1441 H/2020 M, penonton TV menunjukkan tren meningkat lebih tinggi. Jumlah pemirsa mencapai empat kali lebih banyak atau tumbuh 372%, terutama dari waktu sahur hingga pagi hari, yakni antara pukul 02.00 hingga 05.59 WIB.
Dari data tahun lalu tersebut tampak jelas bahwa era pandemi Covid-19 yang membuat orang banyak bekerja dari rumah sekaligus momentum puasa Ramadan membuat televisi menjadi media yang diakses secara intens oleh masyarakat di luar media sosial. Berbagai tayangan informasi seperti berita hingga program hiburan seperti sinetron, reality show, dan lain-lain menjadi menu yang selalu dihidangkan. Tak jarang dalam praktiknya media penyiaran kerap mengalami dilema peran, antara menghadirkan program siaran berkualitas dan sesuai ketentuan atau terjebak pada sekadar logika ekonomi kumulasi keuntungan.
Media penyiaran televisi sebagai industri padat modal tentu harus piawai mengayuh di tengah derasnya tiga kepentingan. Pertama, menyangkut kebutuhan pelanggan (customer requirements). Formula lama di pasar komersial adalah permintaan dan pasokan (demand-supply). Semakin tinggi permintaan, semakin mahal barang. Media kerap menyandarkan argumennya pada selera pasar bahwa membuat program apa pun menjadi sah, selama pasarnya ada dan menerima. Logika instrumentalistik inilah yang kerap membuat media terjerembab pada kubangan kepentingan pragmatis pasar. Dalam hal ini, penulis setuju dengan catatan kritis Pamella J Shoemaker dan Stephen D Reese dalam bukunya Mediating the Message: Theories of Influence on Mass Media Content, (1991), bahwa organisasi media merupakan entitas ekonomi. Sebagai capitalist venture, media penyiaran beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis.
Kedua, lingkungan kompetitif (competitive environment). Struktur pasar industri media penyiaran di Indonesia saat ini kalau merujuk ke tulisannya Robert G Pickard, Media Economics: Concepts and Issues (1989), masuk ke tipologi oligopoli di mana para penjualnya hanya sedikit. Bukan berarti jumlah medianya sedikit, tetapi media-media bersangkutan mengalami konsentrasi kepemilikan pada beberapa grup besar. Hal ini menyebabkan media dituntut untuk kompetitif di tengah persaingan grup-grup media yang ada terutama dalam memanfaatkan momentum, termasuk tayangan selama Ramadan.
Ketiga, harapan masyarakat (social expectation). Bagaimanapun, media tidak tumbuh di ruang hampa. Meskipun kerap kali penonton itu menjadi mayoritas diam, sesungguhnya mereka memiliki harapan tentang seperti apa seharusnya isi siaran diselenggarakan. Reaksi publik bisa tenang menerima, tetapi juga bisa tiba-tiba memunculkan ledakan jika media dianggap mencederai harapan mereka. Di tengah ketiga faktor itulah media berada. Fungsi media sebagai penyebar informasi dan pendidikan, kontrol sosial, serta hiburan harus dioptimalkan secara tepat guna dan berdaya guna.
Dimmick dan Rothenbuhler dalam bukunya The Theory of the Niche: Quantifying Among Media Industries (1984) dalam hal ini mengatakan, ada tiga sumber kehidupan bagi media, yakni content, capital, dan audiences. Dengan konten menarik, audiensi akan tetap memilih stasiun TV tertentu sebagai pilihannya. Kian banyak audiensi yang menonton suatu program maka kian tinggi pula rating program tersebut. Akibat lebih lanjut, tentu saja para pengiklan akan semakin berminat memasang iklan pada program yang bersangkutan. Tapi, benarkah hanya itu? Tentu saja tidak. Media juga harus berpegang teguh pada peran tanggung jawab sosialnya untuk turut mewariskan nilai-nilai baik lintas generasi, menjadi media yang berkontribusi pada penguatan peradaban serta menjaga suasana kondusif di tengah gempuran informasi tak mendidik yang membeludak di berbagai kanal perbincangan warga seperti di media sosial.
Tausiah Perbaikan
Program siaran Ramadan tahun ini harus lebih baik secara kualitas dari tahun-tahun sebelumnya. Masyarakat Indonesia saat ini memiliki begitu banyak masalah seperti kesehatan, ekonomi, sosial, dan lain-lain akibat pandemi Covid-19 yang melanda sejak setahun lalu. Berbagai tayangan siaran Ramadan, seyogianya diarahkan pada upaya menumbuhkan optimisme warga untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemi. Sentuhan ajaran agama Islam yang akan dominan dalam beragam tayangan Ramadan harus menjadi katalisator perbaikan mental bangsa yang dilandasi pengetahuan agama. Tayangan harus taat dan patuh pada ketentuan UU No.32 Tahun 2002, Pedoman Perilaku Penyiaran Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia.
Seruan moral pun telah digaungkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Tausiah MUI tentang Penyiaran Program Ramadan yang dikeluarkan pada 9 Maret 2021. Ada beberapa poin penting dan menarik yang patut digarisbawahi agar siaran Ramadan tahun ini menjadi lebih baik lagi.
Pertama, isi siaran Ramadan tidak boleh mengandung muatan fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau berbohong. Kedua, tidak menonjolkan unsur kekerasan fisik maupun verbal, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Ketiga, tidak mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan serta tidak memprovokasi timbulnya ujaran kebencian (hate speech). Keempat, menjauhkan diri dari memperolok, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama serta martabat warga Indonesia di tengah hubungan Indonesia dengan negara-negara lain dalam skala regional maupun internasional. Kelima, tidak boleh menayangkan adegan yang menggambarkan aktivitas pornografi dan pornoaksi yang dapat mengganggu kekhusyukan orang yang beribadah puasa. Keenam, tidak mengandung muatan yang dapat membangun atau memperkokoh stereotip negatif mengenai kelompok-kelompok tertentu seperti kelompok disabilitas, pengidap penyakit tertentu, atau karena pekerjaan maupun sifat kekurangan lainnya menjadi bahan olok-olok dan tertawaan dalam siaran.
Ketujuh, harus melakukan kontrol internal tentang isi siaran yang berpotensi mengganggu orang berpuasa seperti mengekspos konsumsi makanan, minuman, dan hedonisme secara berlebihan. Kedelapan, mendorong seluruh pengisi acara siaran untuk taat pada protokol kesehatan sehingga tayangan akan memberi teladan bagi masyarakat untuk bersama-sama mengatasi pandemi Covid-19. Kedelapan, seluruh busana pengisi acara siaran harus menghormati bulan Ramadan dengan menetapkan standar kepatutan yang bisa diterima. Kesembilan, menghormati waktu-waktu penting saat berpuasa di bulan Ramadan seperti waktu berbuka dan azan magrib serta waktu sahur, imsak, dan azan subuh. Kesepuluh, memiliki tanggung jawab untuk menyeleksi narasumber tokoh agama yang kompeten dari sisi keilmuan Islam dan berwawasan Islam Wasathiyah dengan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Stasiun televisi sesungguhnya menggunakan frekuensi milik publik, oleh karenanya harus mempertimbangkan hak-hak publik. Salah satunya mendapatkan isi siaran Ramadan yang berkualitas dan menguatkan peradaban, bukan semata-mata hiburan, terlebih jika konstruksi realitas yang dibangunnya keluar dari takaran.
Dosen UIN Jakarta, dan Wakil Ketua Komisi Infokom MUI
BULAN suci Ramadan 1442 H segera tiba. Momentum tahunan yang senantiasa ditunggu kehadirannya oleh umat muslim di seluruh dunia. Selain menjalankan ibadah puasa selama sebulan lamanya, banyak ritual lain dan suasana psikologis umat Islam yang berubah dan menjadi karakter khas selama bulan Ramadan. Tentu, perlu suasana kondusif yang menunjang kekhusyukan ibadah umat Islam. Oleh karenanya, semua pihak harus menghormati dan turut mendukung kondisi nyaman, termasuk kalangan media penyiaran. Media massa memiliki peran dan fungsi strategis di tengah masyarakat, terlebih saat proses konsumsi publik terhadap tayangan program siaran Ramadan meningkat signifikan.
Peran Media
Media penyiaran memiliki kekuatan, terutama saat mereka memproduksi, mereproduksi, dan mendistribusikan isi siarannya ke khalayak luas. Daya jangkaunya yang luas dan daya tarik audio visualnya membuat banyak masyarakat meluangkan waktu di tengah aktivitasnya sehari-hari, termasuk saat menjalankan ibadah puasa terlebih di musim pandemi Covid-19.
Data dari lembaga riset Nielsen yang dirilis Selasa (13/5/2020) menyebutkan bahwa sejak implementasi work from home (WFH) dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), jumlah pemirsa TV meningkat dengan rata-rata 12% lebih tinggi dari periode normal. Jumlah penonton di segmen kelas atas telah meningkat sebesar 14% dengan durasi menonton TV juga meningkat menjadi 5 jam 46 menit. Di bulan Ramadan tahun 1441 H/2020 M, penonton TV menunjukkan tren meningkat lebih tinggi. Jumlah pemirsa mencapai empat kali lebih banyak atau tumbuh 372%, terutama dari waktu sahur hingga pagi hari, yakni antara pukul 02.00 hingga 05.59 WIB.
Dari data tahun lalu tersebut tampak jelas bahwa era pandemi Covid-19 yang membuat orang banyak bekerja dari rumah sekaligus momentum puasa Ramadan membuat televisi menjadi media yang diakses secara intens oleh masyarakat di luar media sosial. Berbagai tayangan informasi seperti berita hingga program hiburan seperti sinetron, reality show, dan lain-lain menjadi menu yang selalu dihidangkan. Tak jarang dalam praktiknya media penyiaran kerap mengalami dilema peran, antara menghadirkan program siaran berkualitas dan sesuai ketentuan atau terjebak pada sekadar logika ekonomi kumulasi keuntungan.
Media penyiaran televisi sebagai industri padat modal tentu harus piawai mengayuh di tengah derasnya tiga kepentingan. Pertama, menyangkut kebutuhan pelanggan (customer requirements). Formula lama di pasar komersial adalah permintaan dan pasokan (demand-supply). Semakin tinggi permintaan, semakin mahal barang. Media kerap menyandarkan argumennya pada selera pasar bahwa membuat program apa pun menjadi sah, selama pasarnya ada dan menerima. Logika instrumentalistik inilah yang kerap membuat media terjerembab pada kubangan kepentingan pragmatis pasar. Dalam hal ini, penulis setuju dengan catatan kritis Pamella J Shoemaker dan Stephen D Reese dalam bukunya Mediating the Message: Theories of Influence on Mass Media Content, (1991), bahwa organisasi media merupakan entitas ekonomi. Sebagai capitalist venture, media penyiaran beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis.
Kedua, lingkungan kompetitif (competitive environment). Struktur pasar industri media penyiaran di Indonesia saat ini kalau merujuk ke tulisannya Robert G Pickard, Media Economics: Concepts and Issues (1989), masuk ke tipologi oligopoli di mana para penjualnya hanya sedikit. Bukan berarti jumlah medianya sedikit, tetapi media-media bersangkutan mengalami konsentrasi kepemilikan pada beberapa grup besar. Hal ini menyebabkan media dituntut untuk kompetitif di tengah persaingan grup-grup media yang ada terutama dalam memanfaatkan momentum, termasuk tayangan selama Ramadan.
Ketiga, harapan masyarakat (social expectation). Bagaimanapun, media tidak tumbuh di ruang hampa. Meskipun kerap kali penonton itu menjadi mayoritas diam, sesungguhnya mereka memiliki harapan tentang seperti apa seharusnya isi siaran diselenggarakan. Reaksi publik bisa tenang menerima, tetapi juga bisa tiba-tiba memunculkan ledakan jika media dianggap mencederai harapan mereka. Di tengah ketiga faktor itulah media berada. Fungsi media sebagai penyebar informasi dan pendidikan, kontrol sosial, serta hiburan harus dioptimalkan secara tepat guna dan berdaya guna.
Dimmick dan Rothenbuhler dalam bukunya The Theory of the Niche: Quantifying Among Media Industries (1984) dalam hal ini mengatakan, ada tiga sumber kehidupan bagi media, yakni content, capital, dan audiences. Dengan konten menarik, audiensi akan tetap memilih stasiun TV tertentu sebagai pilihannya. Kian banyak audiensi yang menonton suatu program maka kian tinggi pula rating program tersebut. Akibat lebih lanjut, tentu saja para pengiklan akan semakin berminat memasang iklan pada program yang bersangkutan. Tapi, benarkah hanya itu? Tentu saja tidak. Media juga harus berpegang teguh pada peran tanggung jawab sosialnya untuk turut mewariskan nilai-nilai baik lintas generasi, menjadi media yang berkontribusi pada penguatan peradaban serta menjaga suasana kondusif di tengah gempuran informasi tak mendidik yang membeludak di berbagai kanal perbincangan warga seperti di media sosial.
Tausiah Perbaikan
Program siaran Ramadan tahun ini harus lebih baik secara kualitas dari tahun-tahun sebelumnya. Masyarakat Indonesia saat ini memiliki begitu banyak masalah seperti kesehatan, ekonomi, sosial, dan lain-lain akibat pandemi Covid-19 yang melanda sejak setahun lalu. Berbagai tayangan siaran Ramadan, seyogianya diarahkan pada upaya menumbuhkan optimisme warga untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemi. Sentuhan ajaran agama Islam yang akan dominan dalam beragam tayangan Ramadan harus menjadi katalisator perbaikan mental bangsa yang dilandasi pengetahuan agama. Tayangan harus taat dan patuh pada ketentuan UU No.32 Tahun 2002, Pedoman Perilaku Penyiaran Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia.
Seruan moral pun telah digaungkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Tausiah MUI tentang Penyiaran Program Ramadan yang dikeluarkan pada 9 Maret 2021. Ada beberapa poin penting dan menarik yang patut digarisbawahi agar siaran Ramadan tahun ini menjadi lebih baik lagi.
Pertama, isi siaran Ramadan tidak boleh mengandung muatan fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau berbohong. Kedua, tidak menonjolkan unsur kekerasan fisik maupun verbal, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Ketiga, tidak mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan serta tidak memprovokasi timbulnya ujaran kebencian (hate speech). Keempat, menjauhkan diri dari memperolok, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama serta martabat warga Indonesia di tengah hubungan Indonesia dengan negara-negara lain dalam skala regional maupun internasional. Kelima, tidak boleh menayangkan adegan yang menggambarkan aktivitas pornografi dan pornoaksi yang dapat mengganggu kekhusyukan orang yang beribadah puasa. Keenam, tidak mengandung muatan yang dapat membangun atau memperkokoh stereotip negatif mengenai kelompok-kelompok tertentu seperti kelompok disabilitas, pengidap penyakit tertentu, atau karena pekerjaan maupun sifat kekurangan lainnya menjadi bahan olok-olok dan tertawaan dalam siaran.
Ketujuh, harus melakukan kontrol internal tentang isi siaran yang berpotensi mengganggu orang berpuasa seperti mengekspos konsumsi makanan, minuman, dan hedonisme secara berlebihan. Kedelapan, mendorong seluruh pengisi acara siaran untuk taat pada protokol kesehatan sehingga tayangan akan memberi teladan bagi masyarakat untuk bersama-sama mengatasi pandemi Covid-19. Kedelapan, seluruh busana pengisi acara siaran harus menghormati bulan Ramadan dengan menetapkan standar kepatutan yang bisa diterima. Kesembilan, menghormati waktu-waktu penting saat berpuasa di bulan Ramadan seperti waktu berbuka dan azan magrib serta waktu sahur, imsak, dan azan subuh. Kesepuluh, memiliki tanggung jawab untuk menyeleksi narasumber tokoh agama yang kompeten dari sisi keilmuan Islam dan berwawasan Islam Wasathiyah dengan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Stasiun televisi sesungguhnya menggunakan frekuensi milik publik, oleh karenanya harus mempertimbangkan hak-hak publik. Salah satunya mendapatkan isi siaran Ramadan yang berkualitas dan menguatkan peradaban, bukan semata-mata hiburan, terlebih jika konstruksi realitas yang dibangunnya keluar dari takaran.
(bmm)