Transaksi Narkoba Sangat Tinggi, Junkie di Indonesia 5 Juta Orang

Selasa, 06 April 2021 - 14:40 WIB
loading...
Transaksi Narkoba Sangat...
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa jumlah pemakai narkoba (junkie) di Indonesia cukup banyak, sudah hampir 5 juta orang. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK ) mengungkapkan bahwa jumlah pemakai narkoba (junkie) di Indonesia cukup banyak, sudah hampir 5 juta orang. Banyaknya penggemar barang haram ini segaris lurus dengan transaksi narkoba yang mencapai Rp23 triliun.

"Bayangkan berdasarkan data BNN penggemar narkoba di Indonesia berjumlah 5 juta orang, ini seperti apa, jika dibandingkan penduduk Indonesia 265 juta mungkin itu sedikit, tetapi bandingkanlah dengan populasi Singapura yang hanya 5 juta. Betapa luar biasanya di Indonesia itu 5 juta orang, hanya menjadi penggemar narkoba itu," kata Kepala PPATK Dian Ediana Rae saat menjadi keynote speaker Webinar Diskusi Kontemporer dengan tema megupas urgensi pembahasan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, Selasa (6/4/2021).

Menurutnya, dari hasil penelusuran dan penelitian PPATK termutakhir, total transaksi dari jaringan narkoba mencapai Rp23 triliun. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya legal infrastructure dalam mengawasi sistem keuangan.

Baca juga: PPATK Sebut Berhasil Ungkap Transaksi Rp23 Triliun dari Jaringan Narkoba

Dian menjelaskan, persoalan tindak pidana di bidang keuangan ini sangat signifikan, sehingga ada beberapa hal-hal tertentu dalam pengawasannya yang memang perlu disempurnakan. Untuk itu RUU Pembatasan Uang Kartal dan RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana diperlukan bagi PPATK dalam konteks memerangi kejahatan ekonomi secara efektif.

"Tentu saja penyempurnaan itu dari A sampai Z, dari mulai pengaturan, pengawasan, assesment itu harus dilakukan secara menyeluruh, tapi hari ini kita berbicara dalam konteks dua tema utama kita yaitu dua RUU tersebut," katanya.

Menurutnya, dua RUU ini sangat penting sebagai legal infrastructure yang akan memungkinkan Indonesia menyambut masa depan untuk lebih baik ke depannya.

Baca juga: Selidiki Kasus Narkoba di Jakarta, Begini Penampilan Jenderal Hoegeng Menyamar Jadi Hippies

"Saya tidak bisa membayangkan sebetulnya, sebagai mantan orang BI saya banyak sekali merenungkan apa sih yang sedang terjadi dengan negara kita ini. Katakanlah kita saat sebelum COVID-19 pun growth economy kita itu more less hanya 5%. Bisa dikatakan ini long standing dispointing economic grow," katanya.

Menurutnya, ekonomi Indonesia bisa dipacu sedemikian rupa agar tumbuh lebih besar dari saat ini seandainya tindak kejahatan ekonomi berhasil diatasi.

"Indonesia secara luas yang disebut sebagai shadow economy 20-40 persen dari GDP, itu artinya kalau kita bisa memerangi ini, economic growth kita kesejahteraan rakyat kita itu akan bisa terjamin lebih baik," ungkapnya.

Menurutnya, banyak sekali penggunaan uang-uang tunai untuk tujuan-tujuan kejahatan pencucian uang. Misalnya dalam pengungkapan narkoba biasanya diikuti dengan penyitaan uang puluhan hingga ratusan miliar rupiah.



Sejak berdiri 18 tahun lalu, PPATK telah melakukan kerja sama yang intens dengan lembaga dan kementerian terkait untuk kemudian memperbaiki pengawasan sistem keuangan.

"Maka dari itu, selama itu masuk di dalam sistem, sebetulnya sangat mudah bagi kita untuk mengontrol segala sesuatu, misalnya soal pendanaan terorisme. Jadi memang jika kita sukses untuk melakukan perbaikan dalam pengawasan terhadap sistem keuangan kita, maka para penjahat ini akan mencari alternatif lain," katanya.

Adapun alternatif itu adalah yang paling mudah di Indonesia melakukan transaksi tunai. Dan di Indonesia transaksaksi tunai masih menunjukan angka yang signifikan.

"Indonesia itu masih cukup luar biasa besar masih di atas 50% transaksi uang cash-nya. And where did you like it or not, persepsi korupsi itu juga terkait dengan masalah penggunaan uang cash. Karena biasanya negara yang penggunaan uang cash yang sangat tinggi seperti Indonesia dan India cenderung persepsi korupsinya itu rendah," ujarnya.

Berbeda dengan negara-negara skandinavia yang sudah maju, rata-rata transaksi tunainya hanya 20%. Selama ini BI dan OJK sudah melakukan upaya-upaya imbauan untuk menggunakan less cash dalam sistem keuangan di Indonesia.

"Tetapi memang yang sedang kita hadapi tampaknya, kalau dari perspektif PPATK, kita tidak bisa relay kepada imbauan, oleh karena itu ketika UU ini dibahas, tentu saja harus mendapat persetujuan pihak terkait, BI sudah menyetujui dan sudah mengirim surat ke Kemenkumham untuk mendukung keluarnya UU ini," katanya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1128 seconds (0.1#10.140)