Jokowi dan Papua Berkayuh Melawan Gelombang

Senin, 29 Maret 2021 - 06:08 WIB
loading...
Jokowi dan Papua Berkayuh Melawan Gelombang
Jokowi dan Papua Berkayuh Melawan Gelombang
A A A
Oleh: Freddy Numberi

Laksamana Madya TNI (purn)

Presiden Jokowi tahu persis tentang apa yang terjadi di Papua selama kurun waktu 57 tahun sejak 1 Mei 1969 hingga 1 Mei 2020, setelah Papua (koloni keresidenan Nieuw Guinea) kembali ke Indonesia. Presiden Jokowi juga sangat paham bagaimana ingatan kolektif masa lalu yang melukai banyak rakyat Papua sebagai suatu memoria passionis (ingatan penderitaan), setelah Jokowi berkunjung lebih dari lima belas kali ke Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat).

“Memang pemberontakan dapat ditumpas dan luka-luka akibat perang yang serbakeliru itu dapat sembuh, namun bekas luka-luka tidak (akan) pernah hilang, diceritakan dari orang tua ke anak, dari anak ke cucu, dari cucu ke cicit, turun temurun.” (Daoed Joesoef, Studi Strategi-Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional, Penerbit Kompas, 2014: 135).

Analog pernyataan Daoed Joesoef di atas, menurut hemat penulis, juga terjadi di Papua dan hal ini membuat resah masyarakat Papua disertai hilangnya kepercayaan kepada pemerintah.

Barrack Obama dalam pidato kemenangannya di Iowa, Amerika Serikat, 3 Januari 2008, mengatakan: “Melalui kata, kita memberikan suara kepada yang bisu. Melalui tindakan kita memberikan keberanian kepada yang lemah” (Zulfa Simatur, Kata-Kata yang Mengubah Dunia, Trans Media Pustaka, 2013: 83).

Pendekatan keamanan harus diubah menjadi pendekatan kesejahteraan dan mengedepankan Polri sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Adapun TNI dalam masa damai dewasa ini sebagai backup dan membantu Polri sewaktu-waktu bila dibutuhkan.

Hal ini tentu sejalan dengan paradigma baru Presiden Jokowi (2020-2024) sesuai Inpres Nomor 9/2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Di samping itu, ada Keppres Nomor 20/2020 tentang Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Pendekatan yang dipilih Presiden Jokowi adalah pendekatan antropologis, pendekatan kesejahteraan, pendekatan evaluatif (secara ketat mengawasi jalannya pembangunan di Papua).

Rakyat Indonesia, khususnya rakyat Papua sangat optimis dengan paradigma baru Presiden Jokowi tersebut. Pada periode sebelumnya (2014-2019) Presiden Jokowi telah membuktikan hasilnya di Tanah Papua sebagai suatu legacy yang akan diingat masyarakat Papua maupun bangsa Indonesia bahwa telah banyak perubahan di Tanah Papua.

Dari aspek hukum Presiden Jokowi telah menegaskan bahwa peristiwa Wamena berdarah (6 Oktober 2000) korban 47 orang, Wasior berdarah (13 Juni 2001) korban 117 orang dan Paniai berdarah (8 Desember 2014) korban 18 orang agar diproses lebih lanjut karena masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.

Di sisi lain, masalah dana otonomi khusus yang dikucurkan untuk Provinsi Papua sejak 2006 dan Provinsi Papua Barat sejak 2009 cukup besar, namun belum dapat dinikmati oleh orang asli Papua (OAP), terutama masyarakat akar rumput. Tentunya timbul pertanyaan ke mana dana otsus yang besar itu?

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memaparkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait realisasi penggunaan dana otsus oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat (Kompas.com, 26/2/2020). Dalam penjelasan lebih lanjut Wamenkeu Suahasil di DPD RI disebutkan, terdapat indikasi penyalahgunaan dana otsus oleh pemerintah daerah, di antaranya pengeluaran Rp556 miliar yang tidak didukung data yang valid serta pengeluaran Rp29 miliar untuk pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai aturan. Selain itu, ada juga dana otsus yang didepositokan sebesar Rp1,85 triliun. Akumulasi dana otsus untuk Provinsi Papua sejak 2006-2020 sebesar Rp93,05 triliun dan Provinsi Papua Barat sejak 2009-2020 sebesar Rp33,94 triliun.

Bagi masyarakat awam, pertanyaannya adalah mengapa hasil temuan BPK tersebut tidak ditindaklanjuti dan ada apa sebenarnya? Jangan hanya pemberitaan melalui media dan terkesan hanya wacana, tetapi harapan masyarakat harus adanya tindakan tegas dan nyata oleh pemerintah. Apalagi BPK memiliki data-data tersebut. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin melalui Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menindak dengan tegas oknum-oknum yang menyalahgunakan kewenangan tersebut.

Sejalan dengan Nawacita yang dicanangkan Presiden Jokowi selama periode 2015-2019, di mana butir kedua menyatakan bahwa: “Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintah yang bersih, efektif, demokratis dan tepercaya.” Presiden BJ Habibie dalam bukunya The Power of IDEAS (Penerbit Republika, 2018: 76) mengatakan, “Di mana pun di dunia ini tidak selalu ide dan filosofi itu yang penting, tetapi orang yang ada di belakang ide itu yang menentukan.”
(war)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1139 seconds (0.1#10.140)