Legislator PKS Minta Pemerintah Konsisten Dorong Listrik EBT
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta konsisten meningkatkan bauran listrik sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) melalui berbagai kebijakan inovatif dan sistem insentif. Sebab jika tidak, maka harga listrik dari sumber energi ini dinilai tidak akan pernah kompetitif terhadap harga listrik dari sumber batubara. Pasalnya selama ini listrik dari sumber energi batu bara (PLTU) menikmati berbagai kebijakan dan insentif dari Pemerintah, sehingga biaya pokok pembangkitan (BPP) listriknya dapat ditekan.
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mengatakan, melalui UU Nomor 3/2020 tentang Minerba, PKP2B (kontrak karya generasi pertama) secara otomatis dimungkinkan mendapat ijin usaha pertambangan khusus (IUPK) batu bara, sehingga pengusaha pemasok batubara kepada PLTU ini dimudahkan dalam proses keberlanjutan usahanya. Hal ini membuat ketersediaan sumber energi untuk PLTU menjadi terjaga.
Pemerintah juga mewajibkan perusahaan tambang batubara mengalokasikan 25% hasil produksinya untuk bahan bakar PLTU melalui mekanisme domestic market obligation (DMO). Untuk menjamin harga yang stabil dan meringankan PLTU, pemerintah mematok harga batubara sebesar USD 70/ton (capping harga). Bila harga batubara acuan (HBA) lebih dari USD 70/ton, maka PLTU cukup membayar seharga USD 70/ton. Baca juga: Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan Dinilai Harus Disegerakan
Sementara bila HBA merosot di bawah harga USD 70/ton, maka pihak PLTU membayar harga batubara cukup sebesar HBA. Terakhir baru-baru ini, untuk menekan biaya handling dan transportasi limbah abu batu bara dari PLTU serta pemanfaatannya untuk berbagai keperluan, pemerintah mengeluarkan abu batubara (fly ash dan bottom ash) dari kategori sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). "Sudah barang tentu, berbagai kebijakan dan insentif tersebut di atas, secara langsung maupun tidak langsung, akan mengurangi BPP listrik dari PLTU. Memang tidak ada yang salah dengan kebijakan tersebut di atas, dalam upaya menjaga agar harga listrik tetap stabil," kata Mulyanto yang juga sebagai Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Namun demikian, kata Mulyanto, ketika kita ingin mendorong peningkatan kontribusi listrik dari sumber EBT dalam bauran energi nasional, maka langkah-langkah itu dapat dipandang sebagai kebijakan yang kontra produktif. "Dengan berbagai langkah tersebut, alih-alih kita dapat melakukan phasing out (pengurangan bertahap) terhadap PLTU, yang terjadi justru adalah meningkatnya ketergantungan listrik nasional pada PLTU," ujar Mulyanto.
Di sisi lain, lanjut Mulyanto, pemerintah tidak konsisten terkait dengan pembangunan pembangkit listrik baru. Ketika pada tahun 2014 negara-negara lain di dunia sedang ramai mengurangi PLTU mereka dan beralih ke pembangkit EBT, sebagai implementasi dari Paris Agreement untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, Indonedia malah menggenjot pembangunan PLTU. "Penambahan pembangkit listrik sebesar 35.000 MW justru didominasi oleh PLTU bukan pembangkit EBT. Dengan berbagai kebijakan pro PLTU di atas, maka sebenarnya kita bukannya sedang mengerem energi fosil tapi justru sedang ngegas. Ini kan tidak konsisten," pungkas Mulyanto. Rico Afrido Simanjuntak
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mengatakan, melalui UU Nomor 3/2020 tentang Minerba, PKP2B (kontrak karya generasi pertama) secara otomatis dimungkinkan mendapat ijin usaha pertambangan khusus (IUPK) batu bara, sehingga pengusaha pemasok batubara kepada PLTU ini dimudahkan dalam proses keberlanjutan usahanya. Hal ini membuat ketersediaan sumber energi untuk PLTU menjadi terjaga.
Pemerintah juga mewajibkan perusahaan tambang batubara mengalokasikan 25% hasil produksinya untuk bahan bakar PLTU melalui mekanisme domestic market obligation (DMO). Untuk menjamin harga yang stabil dan meringankan PLTU, pemerintah mematok harga batubara sebesar USD 70/ton (capping harga). Bila harga batubara acuan (HBA) lebih dari USD 70/ton, maka PLTU cukup membayar seharga USD 70/ton. Baca juga: Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan Dinilai Harus Disegerakan
Sementara bila HBA merosot di bawah harga USD 70/ton, maka pihak PLTU membayar harga batubara cukup sebesar HBA. Terakhir baru-baru ini, untuk menekan biaya handling dan transportasi limbah abu batu bara dari PLTU serta pemanfaatannya untuk berbagai keperluan, pemerintah mengeluarkan abu batubara (fly ash dan bottom ash) dari kategori sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). "Sudah barang tentu, berbagai kebijakan dan insentif tersebut di atas, secara langsung maupun tidak langsung, akan mengurangi BPP listrik dari PLTU. Memang tidak ada yang salah dengan kebijakan tersebut di atas, dalam upaya menjaga agar harga listrik tetap stabil," kata Mulyanto yang juga sebagai Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Namun demikian, kata Mulyanto, ketika kita ingin mendorong peningkatan kontribusi listrik dari sumber EBT dalam bauran energi nasional, maka langkah-langkah itu dapat dipandang sebagai kebijakan yang kontra produktif. "Dengan berbagai langkah tersebut, alih-alih kita dapat melakukan phasing out (pengurangan bertahap) terhadap PLTU, yang terjadi justru adalah meningkatnya ketergantungan listrik nasional pada PLTU," ujar Mulyanto.
Di sisi lain, lanjut Mulyanto, pemerintah tidak konsisten terkait dengan pembangunan pembangkit listrik baru. Ketika pada tahun 2014 negara-negara lain di dunia sedang ramai mengurangi PLTU mereka dan beralih ke pembangkit EBT, sebagai implementasi dari Paris Agreement untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, Indonedia malah menggenjot pembangunan PLTU. "Penambahan pembangkit listrik sebesar 35.000 MW justru didominasi oleh PLTU bukan pembangkit EBT. Dengan berbagai kebijakan pro PLTU di atas, maka sebenarnya kita bukannya sedang mengerem energi fosil tapi justru sedang ngegas. Ini kan tidak konsisten," pungkas Mulyanto. Rico Afrido Simanjuntak
(cip)