Dari Hutan Kota ke Kota Hutan
loading...
A
A
A
Nirwono Joga
Peneliti pada Pusat Studi Perkotaan
SETIAP 21 Maret, masyarakat memperingati Hari Hutan Sedunia sesuai resolusi PBB Nomor 67/200 pada 21 Desember 2012. Tujuannya untuk mengingatkan kepada masyarakat tentang pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup manusia, bagi generasi sekarang dan mendatang, benteng mitigasi bencana lingkungan dan perubahan iklim.
Kota dan kita semakin merindukan hutan, setelah sekian lama keberadaan mereka dirampas pembangunan kota yang masif. Hutan kota beralih rupa menjadi hutan beton. Gedung pencakar langit berhimpitan rapat tanpa sejengkal lahan untuk pepohonan. Kompleks perumahan dan permukiman pun banyak mengabaikan ketersediaan pohon yang memadai. Di permukiman padat, semua lahan habis ditutup bangunan rumah.
Hari Hutan Sedunia merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah untuk menggerakkan pembangunan dari hutan (di dalam) kota menuju ke kota (di dalam) hutan. Lalu langkah apa yang harus dilakukan?
Pertama, kota (di dalam) hutan menyediakan pepohonan sebanyak-banyaknya bagi kota, Ia berfungsi mendinginkan suasana kota dan warganya, baik fisik maupun psikis. Kota hutan membutuhkan rasa memiliki (budaya menanam pohon), keinginan untuk merawat (program adopsi pohon), membangun toleransi (ketahanan sosial), dan menjaga pohon bersama-sama untuk menjamin kehidupan kota dan kita sebagai warga.
Hutan di mana pepohonan tumbuh berkembang adalah paru-paru kota. Pohon di dalamnya memiliki banyak makna. Semua agama juga menempatkan pohon sebagai simbol dan sumber kehidupan semua makhluk hidup. Kitab suci mempertegas keberlanjutan alam; makhluk hidup tergantung pada upaya pelestarian pohon dan hutan sekaligus.
Kedua, pohon beringin (ficus benjamina) kembar di tengah alun-alun sebagai pusat kota memiliki nilai filosofi kehidupan yang tinggi bagi masyarakat Jawa. Pohon keben atau kalpataru (barringtonia asiatica) dipilih sebagai lambang penghargaan Adipura bagi kota/kabupaten yang dinilai berhasil menata lingkungan hidupnya.
Dalam riwayat agama Budha, Sidharta Gautama bertapa di bawah pohon bodi (ficus reliogosa) ketika mendapatkan pencerahan kehidupan. Pohon bodhi banyak ditanam di kawasan Candi Borobudur sesuai yang terpahat di relief candi. Pohon kiara payung (filicium decipiens) yang terpahat di relief Candi Prambanan menjadi simbol sebagai “tangga ke langit”. Pohon kamboja (plumeria alba) dipercaya masyarakat Afrika, yang kemudian dianut masyarakat Hindu, untuk mengusir roh jahat sehingga banyak ditanam di pura atau taman pemakaman.
Ketiga, hutan kota telah menjadi primadona menghadapi perubahan iklim, ia jadi ikon penyelamat bumi. Hutan merupakan aset, potensi, dan investasi kota jangka panjang. Berbagai perayaan atau peringatan penting sering dipuncaki dengan prosesi menanam pohon.
Hutan kota telah lama memberikan “jasa lingkungan” bagi keberlanjutan semua makhluk hidup, kita dan kota. Pohon memang tidak bisa bergerak, apalagi berbicara. Ia “hanya” bertumbuh-kembang, meninggi, dan membesar. Kanopi pepohonan hutan kota meneduhi dan menyejukkan iklim mikro serta menurunkan suhu warga dan kota. Dedaunan menyerap karbon dioksida dan gas polutan. Dan, melalui proses fotosintesis, daun-daun melepaskan oksigen.
Peneliti pada Pusat Studi Perkotaan
SETIAP 21 Maret, masyarakat memperingati Hari Hutan Sedunia sesuai resolusi PBB Nomor 67/200 pada 21 Desember 2012. Tujuannya untuk mengingatkan kepada masyarakat tentang pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup manusia, bagi generasi sekarang dan mendatang, benteng mitigasi bencana lingkungan dan perubahan iklim.
Kota dan kita semakin merindukan hutan, setelah sekian lama keberadaan mereka dirampas pembangunan kota yang masif. Hutan kota beralih rupa menjadi hutan beton. Gedung pencakar langit berhimpitan rapat tanpa sejengkal lahan untuk pepohonan. Kompleks perumahan dan permukiman pun banyak mengabaikan ketersediaan pohon yang memadai. Di permukiman padat, semua lahan habis ditutup bangunan rumah.
Hari Hutan Sedunia merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah untuk menggerakkan pembangunan dari hutan (di dalam) kota menuju ke kota (di dalam) hutan. Lalu langkah apa yang harus dilakukan?
Pertama, kota (di dalam) hutan menyediakan pepohonan sebanyak-banyaknya bagi kota, Ia berfungsi mendinginkan suasana kota dan warganya, baik fisik maupun psikis. Kota hutan membutuhkan rasa memiliki (budaya menanam pohon), keinginan untuk merawat (program adopsi pohon), membangun toleransi (ketahanan sosial), dan menjaga pohon bersama-sama untuk menjamin kehidupan kota dan kita sebagai warga.
Hutan di mana pepohonan tumbuh berkembang adalah paru-paru kota. Pohon di dalamnya memiliki banyak makna. Semua agama juga menempatkan pohon sebagai simbol dan sumber kehidupan semua makhluk hidup. Kitab suci mempertegas keberlanjutan alam; makhluk hidup tergantung pada upaya pelestarian pohon dan hutan sekaligus.
Kedua, pohon beringin (ficus benjamina) kembar di tengah alun-alun sebagai pusat kota memiliki nilai filosofi kehidupan yang tinggi bagi masyarakat Jawa. Pohon keben atau kalpataru (barringtonia asiatica) dipilih sebagai lambang penghargaan Adipura bagi kota/kabupaten yang dinilai berhasil menata lingkungan hidupnya.
Dalam riwayat agama Budha, Sidharta Gautama bertapa di bawah pohon bodi (ficus reliogosa) ketika mendapatkan pencerahan kehidupan. Pohon bodhi banyak ditanam di kawasan Candi Borobudur sesuai yang terpahat di relief candi. Pohon kiara payung (filicium decipiens) yang terpahat di relief Candi Prambanan menjadi simbol sebagai “tangga ke langit”. Pohon kamboja (plumeria alba) dipercaya masyarakat Afrika, yang kemudian dianut masyarakat Hindu, untuk mengusir roh jahat sehingga banyak ditanam di pura atau taman pemakaman.
Ketiga, hutan kota telah menjadi primadona menghadapi perubahan iklim, ia jadi ikon penyelamat bumi. Hutan merupakan aset, potensi, dan investasi kota jangka panjang. Berbagai perayaan atau peringatan penting sering dipuncaki dengan prosesi menanam pohon.
Hutan kota telah lama memberikan “jasa lingkungan” bagi keberlanjutan semua makhluk hidup, kita dan kota. Pohon memang tidak bisa bergerak, apalagi berbicara. Ia “hanya” bertumbuh-kembang, meninggi, dan membesar. Kanopi pepohonan hutan kota meneduhi dan menyejukkan iklim mikro serta menurunkan suhu warga dan kota. Dedaunan menyerap karbon dioksida dan gas polutan. Dan, melalui proses fotosintesis, daun-daun melepaskan oksigen.