RUU Pemilu Dicabut dari Prolegnas 2021, Bakal Lahir Perppu?

Rabu, 10 Maret 2021 - 14:56 WIB
loading...
RUU Pemilu Dicabut dari...
Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Dalam sidang perdana pascamasa reses wakil rakyat 2021, DPR dan pemerintah memastikan bahwa pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu atau RUU Pemilu dihentikan dan dihapus dari Program Legislasi Nasional ( Prolegnas ) Tahun 2021.

Menurut Sekjen KIPP Kaka Suminta, dengan kesepakatan pemerintah dan DPR tersebut, artinya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, tidak akan mengalami perubahan, setidaknya sampai dengan tahun 2024, ketika Pemilu Nasional (Pemilu DPR, DPD, DPRD, dan Pilpres) juga Pemilihan (Kepala Daerah) dilaksanakan secara serentak.

Baca juga: Perludem Sesalkan RUU Pemilu Ditarik dari Prolegnas 2021


"Dengan demikian maka berbagai persoalan yang seharusnya dibahas dan dicari solusinya melalui revisi UU Pemilu dan UU Pemilihan tidak akan dibahas di DPR," tuturnya, Rabu (10/3/2021).

Dia mengatakan, berbagai persoalan tadi sudah banyak dibahas oleh Komisi II DPR. "Penghapusan (RUU Pemilu) tersebut tentu tidak menghilangkan berbagai persoalan pelik untuk pelaksanaan pemilu dan pemilihan serentak nasional yang sudah juga disampaikan berbagai pihak," imbuhnya.

Baca juga: DPR-Pemerintah Sepakat RUU Pemilu Dikeluarkan dari Prolegnas Diganti RUU KUP


Menurut Kaka, apakah dengan hal tersebut bisa kita katakan bahwa, DPR menyerahkan Revisi Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah dengan Perppu?

Kata dia, jika hal itu yang terjadi, cukup riskan, mengingat banyaknya permasalahan, yang akan timbul dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024, yang seyogianya diantisipasi dengan lebih cermat dan hati-hati sebelum DPR memutuskan untuk menghapusnya dari Prolegnas.

Dia pun membeberkan beberapa isu krusial kenapa revisi UU Pemilu harus dilakukan. Antara lain, jika tidak terjadi revisi UU tersebut, akan muncul beberapa persoalan, yang intinya berasal dari ketidaksinkronkan antara UU Pemilu dan UU Pilkada serta perkembangan politik dan teknologi yang berubah cepat saat ini, apalagi pada tahun 2024, ketika pelaksanaan pemilu dan pemilihan dilaksanakan.

Baca juga: UU Pemilu Tak Direvisi, Usia Capres-Cawapres Minimal 40 Tahun


"Pelaksanaan pemilihan serentak nasional pada tahun 2024 (UU 10/2016) berimpitan dengan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2024 (UU 7/2017), sebuah permasalahan penyelenggaraan yang memerlukan persiapan dan potensi permasalahan yang cukup pelik, serta potensi residu politik pemilu yang bisa berakibat pada pemilihan 2024.(pasal 301 UU 10/2016)," bebernya.

Selain itu, soal penunjukan Plt. Kepala Daerah pada lebih dari 270 daerah dengan 25 daerah adalah wilayah provinsi seluruh pulau Jawa, dengan jumlah pemilih sekitar 150 juta, merupakan isu politik dan beban untuk pemerintah sendiri.

Di sisi lain, beberapa ketentuan dalam UU Pilkada yang memerlukan penyesuaian dengan UU Pemilu mulai dari soal daerah pemilihan, lembaga penyelenggara, administrasi pemilihan, sistem penyelesaian sengketa proses dan sengketa hasil pilkada yang memerlukan perangkat pendukung tersendiri.

Di samping itu, lanjut Kaka, perkembangan teknologi dan penggunaan digitalisasi untuk pemilu yang berubah dengan cepat dan memerlukan regulasi dan sinkronisasi pada kedua UU tersebut.

Faktor lain, menurut dia, persoalan pemisahan antara pelaksanan pemilu nasional dan pemilu lokal memerlukan waktu pelaksanaan yang diatur untuk memberikan hasil maksimal dalam pelaksanaannya baik dari sisi reformasi politik maupun dari sisi rekayasa sosial melalui pemilu dan pilkada.

"Pelaksanaan pemilihan serentak nasional (pasal 156 UU 10/2016) mengamanatkan Peradilan Khusus Perselisihan Hasil Pemilihan (ayat 2 Pasal 158 UU 10/2016) yang disebut majelis khusus (PHPemilihan), dan tidak terakomodir dalam lembaga-lembaga penyelenggara pemilu sebagaimana diatur dalam UU 7 Tahun 2017," ungkapnya.

Menurutnya, banyaknya persoalan tersebut akan sangat riskan jika DPR menganggapnya tak penting dan terkesan menyerahkan perubahannya pada Perppu dari pemerintah.

Dia menambahkan, bersama dengan soal penunjukan Plt kepala daerah yang sangat banyak, serta potensi kepentingan politik pemerintah dan koalisinya, perppu menjadi tidak mudah untuk membangun kepercayaan publik pada proses dan hasil pemilu dan bisa menimbulkan kerawanan politik.

"Memperhatikan banyaknya permasalahan tersebut di atas, nampaknya DPR perlu untuk menimbang kembali kelanjutan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan (kepala daerah) tersebut," pungkasnya.
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1306 seconds (0.1#10.140)