Moeldoko Dinilai Punya Hak untuk Jalankan Misi Politiknya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Selesai, game over. Itulah istilah para gamers. Istilah paling tepat untuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bukan Anas Urbaningrum, bukan Antasari Azhar, tidak juga M Nazaruddin, ternyata para kader Demokrat sendiri yang mengakhiri kiprah politik SBY, dengan Moeldoko diminta menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
"SBY menunjukkan sifat aslinya yang kerdil dan cengeng dalam berpolitik dan minta dikasihani, dia seakan menelikung Megawati Soekarnoputri dalam perebutan kursi Presiden RI ketika menjabat sebagai Menko Polhukam," jelas Ninoy.
Serangan SBY terhadap Moeldoko yang mengungkit keputusan SBY di masa lalu tidak pada tempatnya, karena Moeldoko bukan anak buah SBY. SBY tidak berhak menentukan jalan kehidupan dan pilihan politik Moeldoko, termasuk menerima amanat memengang tampuk Ketua Umum Partai Demokrat.
"Justru pernyataan SBY yang mendeskreditkan dirinya sendiri, menunjukkan kekerdilan politik yang menjadi cirinya, dari dulu SBY memang cengeng, sebaliknya Moeldoko pun tidak mengomentari serangan SBY yang menunjukkan kematangan Ketua Umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) tersebut," ungkap Ninoy.
Reaksi SBY yang langsung menyerang pribadi Moeldoko, semakin menunjukkan ambisi politik SBY yang menggunakan Demokrat sebagai benteng terakhir kepentingan keluarga. Kinerja masa lalu SBY yang meninggalkan puluhan proyek mangkrak, alasan SBY mempertahankan kekuasaan di Demokrat mati-matian.
"Pilihan kader Demokrat meminta Moeldoko sebagai Ketum Demokrat adalah upaya untuk menyelamatkan Demokrat yang semakin kehilangan arah dan elektabilitasnya semakin menurun di bawah kekuasaan Dinasti SBY. Para kader sadar Demokrat menjadi alat politik kekuasan SBY yang berpotensi ditinggalkan oleh rakyat," pungkas Ninoy.
"SBY menunjukkan sifat aslinya yang kerdil dan cengeng dalam berpolitik dan minta dikasihani, dia seakan menelikung Megawati Soekarnoputri dalam perebutan kursi Presiden RI ketika menjabat sebagai Menko Polhukam," jelas Ninoy.
Serangan SBY terhadap Moeldoko yang mengungkit keputusan SBY di masa lalu tidak pada tempatnya, karena Moeldoko bukan anak buah SBY. SBY tidak berhak menentukan jalan kehidupan dan pilihan politik Moeldoko, termasuk menerima amanat memengang tampuk Ketua Umum Partai Demokrat.
"Justru pernyataan SBY yang mendeskreditkan dirinya sendiri, menunjukkan kekerdilan politik yang menjadi cirinya, dari dulu SBY memang cengeng, sebaliknya Moeldoko pun tidak mengomentari serangan SBY yang menunjukkan kematangan Ketua Umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) tersebut," ungkap Ninoy.
Reaksi SBY yang langsung menyerang pribadi Moeldoko, semakin menunjukkan ambisi politik SBY yang menggunakan Demokrat sebagai benteng terakhir kepentingan keluarga. Kinerja masa lalu SBY yang meninggalkan puluhan proyek mangkrak, alasan SBY mempertahankan kekuasaan di Demokrat mati-matian.
"Pilihan kader Demokrat meminta Moeldoko sebagai Ketum Demokrat adalah upaya untuk menyelamatkan Demokrat yang semakin kehilangan arah dan elektabilitasnya semakin menurun di bawah kekuasaan Dinasti SBY. Para kader sadar Demokrat menjadi alat politik kekuasan SBY yang berpotensi ditinggalkan oleh rakyat," pungkas Ninoy.
(maf)