Dunia Baru dan Tantangan Organisasi Mahasiswa
loading...
A
A
A
KHAIRI FUADY
Mahasiswa Master Hubungan Internasional Universitas Paramadina Jakarta
DALAM waktu dekat, ada dua organisasi mahasiswa terbesar, dan konon juga terkuat, akan menggelar Kongres. Pertama, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang akan digelar di lima zona dan berpusat di Balikpapan, kemudian yang kedua, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang akan digelar di Surabaya.
Dalam rentang sejarah, dua organisasi di atas menjadipionir dan tercatat melahirkan para maestro di dunia pergerakan. HMI misalnya, jika kita absen satu per satu tokoh organisasi tersebut, muncul nama Akbar Tanjung, Azyumardi Azra, Mahfud MD, Arief Rosyid, dan lain-lain. Demikian pula PMII, mulai dari Abdul Muhaimin Iskandar, Imam Besar Istiqlal Nasaruddin Umar, hingga Aminuddin Ma'ruf.
Pertanyaannya, mampukah kedua organisasi tersebut menangkap dan menjawab tantangan ke depan? Di bawah nama-nama besar para senior, serta kebesaran organisasi yang kuantitasnya semakin eksis dan mengakar. Sementara zaman sudah berubah dengan pola perubahan yang relatif drastis.
Dulu ketika kita sekolah, ragam cita-cita anak bangsa bisa ditebak. Mulai dari ingin jadi dokter, insinyur, pilot, guru, dan juga pegawai negeri sipil (PNS). Hari ini sudah berbeda. Sesuatu yang sebelumnya sulit kita bayangkan, namun belakangan nyata wujudnya. Tumbuhnya ragam usaha-usaha baru yang semakin kekinian.
Misalnya ada seorang kawan yang punya kelebihan di dunia IT, tercetus lah dalam benaknya untuk membuka penyedia jasa live streaming dan webinar dengan sistem sewa. Dia siapkap studio serta perangkatnya dari sejumlah alat hingga internet. Karena masih jarang, otomatis bisnis ini bisa dipatok dengan biaya yang lumayan, di angka 10 juta hingga 100 juta per event. Sesuatu yang sulit kita bayangkan sebelumnya.
Oleh karena itu, jika kita punya adik-adik yang masih berusia muda, cobalah ditanya apa cita-cita mereka. Mostly, yang muncul bukan lagi pilot, dokter, dan insinyur. Akan tetapi content creator, youtuber, dan social media influencer. Bahkan hari ini menjamur di jagad maya, ragam varian usaha yang berfokus di dunia digital marketing dan social media branding. 10 tahun yang lalu, hal ini masih relatif awam.
Dunia baru tentu tidak hadir tanpa asal usul. Pertama karena efek digitalisasi. Dan yang kedua, didorong pula oleh dampak dari pandemi Covid 19. Adaptasi kebiasaan baru (New Normal) menjadi sesuatu yang niscaya, sehingga ke depan mau atau tidak mau perjumpaan secara fisik semakin berkurang.
Industri yang mengarah kepada fasilitasi rapat dan pertemuan-pertemuan online, akan menjadi primadona. Dan di sini lah, exactly, tantangan organisasi-organisasi kemahasiswaan terlihat.
Sebab bagaimana pun, organisasi-organisasi kemahasiswaan asal usulnya adalah organisasi konvensional. Kegiatan-kegaitannya pasti kumpul-kumpul dan meniscayakan temu muka. Baik dalam agenda rapat, diskusi, hingga demonstrasi. Sekarang, sulit sekali membayangkan sebuah demonstrasi yang biasa digelar di depan Gedung DPR dan Istana Negara, ke depan bergeser menjadi Aksi Virtual. Tanpa heroisme dan euforia gerakan. Akan tetapi, change is a must. Perubahan adalah sebuah kepastian.
Oleh karena itu, pada momentum menjelang kongres dua organisasi mahasiwa terbesar di atas, kita perlu berbenah. Mahasiswa harus sadar tantangan, dan penyelenggara negara juga penting untuk memberikan atensi dan perhatian lebih. Sebab kongres meniscayakan regenerasi.
Pertama, para pimpinan yang terpilih nanti harus jelas merah putihnya, jelas komitmen kebangsaannya. Infiltrasi dari dunia luar semakin terbuka seiring dengan terbukanya arus informasi. Maka memastikan para pimpinan yang terpilih harus kokoh memegang ideologi bangsa, adalah sebuah keharusan.
Kedua, para pimpinan yang terpilih kelak, harus pandai menangkap tanda-tanda zaman. Dalam pepatah Arab disebutkan "Kun Ibna Zamaanik", jadilah putera-puteri zamanmu. Sebab kata Khalil Gibran seorang penyair Lebanon; "Your Children are not your children. Anakmu bukan anakmu. Mereka adalah putera Sang Fajar". Oleh karena itu, sifat dan adaptif dan mentalitas yang kolaboratif harus ditumbuhkan. Dalam tradisi Nahdlatul Ulama ada sebuah ibarat yang populer; "Al Muhafazah alal qafiim al shaalih wal akhdzu bil jadiid al ashlah". Menjaga tradisi, dan menangkap perubahan.
Alhasil, selamat berkongres, PMII dan HMI. Tangan terkepal maju ke muka, yakin usaha sampai.
Wallaahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiiq.
Lihat Juga: Ribuan Relawan GRIB Jaya Dukung Ridwan Kamil, Hercules: Satu di Mulut, Hati, dan Bilik Suara
Mahasiswa Master Hubungan Internasional Universitas Paramadina Jakarta
DALAM waktu dekat, ada dua organisasi mahasiswa terbesar, dan konon juga terkuat, akan menggelar Kongres. Pertama, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang akan digelar di lima zona dan berpusat di Balikpapan, kemudian yang kedua, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang akan digelar di Surabaya.
Dalam rentang sejarah, dua organisasi di atas menjadipionir dan tercatat melahirkan para maestro di dunia pergerakan. HMI misalnya, jika kita absen satu per satu tokoh organisasi tersebut, muncul nama Akbar Tanjung, Azyumardi Azra, Mahfud MD, Arief Rosyid, dan lain-lain. Demikian pula PMII, mulai dari Abdul Muhaimin Iskandar, Imam Besar Istiqlal Nasaruddin Umar, hingga Aminuddin Ma'ruf.
Pertanyaannya, mampukah kedua organisasi tersebut menangkap dan menjawab tantangan ke depan? Di bawah nama-nama besar para senior, serta kebesaran organisasi yang kuantitasnya semakin eksis dan mengakar. Sementara zaman sudah berubah dengan pola perubahan yang relatif drastis.
Dulu ketika kita sekolah, ragam cita-cita anak bangsa bisa ditebak. Mulai dari ingin jadi dokter, insinyur, pilot, guru, dan juga pegawai negeri sipil (PNS). Hari ini sudah berbeda. Sesuatu yang sebelumnya sulit kita bayangkan, namun belakangan nyata wujudnya. Tumbuhnya ragam usaha-usaha baru yang semakin kekinian.
Misalnya ada seorang kawan yang punya kelebihan di dunia IT, tercetus lah dalam benaknya untuk membuka penyedia jasa live streaming dan webinar dengan sistem sewa. Dia siapkap studio serta perangkatnya dari sejumlah alat hingga internet. Karena masih jarang, otomatis bisnis ini bisa dipatok dengan biaya yang lumayan, di angka 10 juta hingga 100 juta per event. Sesuatu yang sulit kita bayangkan sebelumnya.
Oleh karena itu, jika kita punya adik-adik yang masih berusia muda, cobalah ditanya apa cita-cita mereka. Mostly, yang muncul bukan lagi pilot, dokter, dan insinyur. Akan tetapi content creator, youtuber, dan social media influencer. Bahkan hari ini menjamur di jagad maya, ragam varian usaha yang berfokus di dunia digital marketing dan social media branding. 10 tahun yang lalu, hal ini masih relatif awam.
Dunia baru tentu tidak hadir tanpa asal usul. Pertama karena efek digitalisasi. Dan yang kedua, didorong pula oleh dampak dari pandemi Covid 19. Adaptasi kebiasaan baru (New Normal) menjadi sesuatu yang niscaya, sehingga ke depan mau atau tidak mau perjumpaan secara fisik semakin berkurang.
Industri yang mengarah kepada fasilitasi rapat dan pertemuan-pertemuan online, akan menjadi primadona. Dan di sini lah, exactly, tantangan organisasi-organisasi kemahasiswaan terlihat.
Sebab bagaimana pun, organisasi-organisasi kemahasiswaan asal usulnya adalah organisasi konvensional. Kegiatan-kegaitannya pasti kumpul-kumpul dan meniscayakan temu muka. Baik dalam agenda rapat, diskusi, hingga demonstrasi. Sekarang, sulit sekali membayangkan sebuah demonstrasi yang biasa digelar di depan Gedung DPR dan Istana Negara, ke depan bergeser menjadi Aksi Virtual. Tanpa heroisme dan euforia gerakan. Akan tetapi, change is a must. Perubahan adalah sebuah kepastian.
Oleh karena itu, pada momentum menjelang kongres dua organisasi mahasiwa terbesar di atas, kita perlu berbenah. Mahasiswa harus sadar tantangan, dan penyelenggara negara juga penting untuk memberikan atensi dan perhatian lebih. Sebab kongres meniscayakan regenerasi.
Pertama, para pimpinan yang terpilih nanti harus jelas merah putihnya, jelas komitmen kebangsaannya. Infiltrasi dari dunia luar semakin terbuka seiring dengan terbukanya arus informasi. Maka memastikan para pimpinan yang terpilih harus kokoh memegang ideologi bangsa, adalah sebuah keharusan.
Kedua, para pimpinan yang terpilih kelak, harus pandai menangkap tanda-tanda zaman. Dalam pepatah Arab disebutkan "Kun Ibna Zamaanik", jadilah putera-puteri zamanmu. Sebab kata Khalil Gibran seorang penyair Lebanon; "Your Children are not your children. Anakmu bukan anakmu. Mereka adalah putera Sang Fajar". Oleh karena itu, sifat dan adaptif dan mentalitas yang kolaboratif harus ditumbuhkan. Dalam tradisi Nahdlatul Ulama ada sebuah ibarat yang populer; "Al Muhafazah alal qafiim al shaalih wal akhdzu bil jadiid al ashlah". Menjaga tradisi, dan menangkap perubahan.
Alhasil, selamat berkongres, PMII dan HMI. Tangan terkepal maju ke muka, yakin usaha sampai.
Wallaahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiiq.
Lihat Juga: Ribuan Relawan GRIB Jaya Dukung Ridwan Kamil, Hercules: Satu di Mulut, Hati, dan Bilik Suara
(dam)