Hadapi Ancaman Disinformasi Covid-19, Ini Saran Pengamat Militer dan Intelijen
loading...
A
A
A
JAKARTA - Disinformasi pandemi Covid-19 merupakan salah satu ancaman non militer yang perlu diwaspadai bangsa Indonesia. Pasalnya, ancaman disinformasi tersebut dapat memicu disabilitas keamanan nasional dan mengganggu keutuhan bangsa dan negara.
Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati menjelaskan ada perbedaan antara disinformasi dan misinformasi. Misinformasi adalah informasi yang tidak benar atau salah, namun tidak bertujuan untuk membahayakan orang lain atau publik. Sedangkan, disinformasi adalah berita palsu yang sengaja diciptakan untuk menyesatkan atau menipu orang lain atau publik.
”Sepanjang 2020, terdapat 352 kasus disinformasi dan hoaks yang ditangani oleh Polri. Sementara, Kominfo mengidentifikasi ada lebih dari 2.000 konten hoaks seputar Covid-19,” ujar perempuan yang akrab disapa Nuning saat menghadiri webinar yang diselenggarakan Fakultas Strategi Pertahanan (FSP) Unhan RI dengan tema “Redam Disinformasi Pandemi Covid-19 dalam Mewujudkan Pertahanan Negara yang Tangguh” melalui daring. Rabu, (3/3/2021). Baca juga: 2 Kasus Mutasi Covid-19 dari Inggris Terdeteksi Masuk Indonesia dari Arab Saudi
Webinar yang diselenggarakan Fakultas Strategi Pertahanan (FSP) Unhan ini menghadirkan beberapa narasumber antara lain Ketua Ahli Epidemiologi Indonesia Hariadi Wibisono, dengan topik Pemetaan Pandemi Covid-19 dan Penyebarannya, Dosen Unhan RI Mayjen TNI (Purn) Puguh Santoso, topik Best Practice Keamanan Nasional dengan Segala Permasalahannya Menghadapi Pandemi Covid-19, Dosen Unhan RI Susaningtyas NH Kertopati, dengan topik Analisis Intelijen Terhadap Ancaman Disinformasi Covid-19 di Indonesia, serta Asisten Senior Stafsus Menkominfo Bidang Digital dan SDM Airin Rachma, dengan topik Literasi Digital dan Siber kepada Masyarakat di Era Pandemi Covid-19.
Mantan anggota Komisi I DPR ini menyebut, ada beberapa faktor yang mendorong infodemik atau penyebaran disinformasi Covid-19 dengan volume yang besar dan secara cepat. Di antaranya, computational propaganda yakni, manipulasi dan misinformasi digital menggunakan algoritma dan automasi. Kemudian, multi channel yakni disampaikan melalui berbagai saluran yang tersedia. Rapid yaitu, publiK cepat percaya karena informasi tersebut seolah baru pertama kali didapatkan.
Termasuk confirmation bias yakni, sesuai dengan keyakinan yang dimiliki sebelumnya serta evidence, didukung oleh bukti sekalipun bukti tersebut bersifat manipulative karena publik tidak akan pernah mengecek. ”Di Indonesia, kondisi ini berkelindan dengan masifnya penggunaan media sosial sebanyak 171 juta dan lemahnya literasi digital dimana Indonesia menduduki peringkat 56 dari 63 negara dan kesimpangsiuran pernyataan mengenai Covid-19 dari lembaga resmi negara.
”Adanya pembelahan politik turut memperparah situasi ini untuk terus mendiskreditkan/ delegitimasi pemerintah yang sah dalam penanganan konflik. Karena, sasaran dari fenomena ini adalah turunnya kepercayaan publik pada institusi resmi pemerintah, serta media massa mainstream,” ucapnya.
Untuk mengatasi ancaman tersebut, Nuning menyarankan agar dibangun pola komunikasi yang terpusat, transparan, akuntabel, dan berbasis data untuk meredam kesimpangsiuran dan kecemasan publik. ”Perlunya melakukan identifikasi dan klasifikasi bentuk-bentuk disinformasi berkaitan dengan Covid-19 serta melakukan kontra narasi secara terstruktur, cepat dan efisien melalui medium yang tepat,” katanya.
Selain itu, melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk tokoh agama, hingga tingkat RT/RW untuk menyosialisasikan prokes dan vaksin dengan narasi yang mudah dipahami oleh publik agar dapat lebih diterima. ”Menerapkan aturan yang tegas, terukur dan berkeadilan dalam menindak pelanggaran protokol kesehatan untuk menimbulkan efek jera, termasuk pihak-pihak yang menyebarkan disinformasi, mengingat dampak atau kerugian yang ditimbulkan dapat membahayakan nyawa masyarakat,” ucapnya.
Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati menjelaskan ada perbedaan antara disinformasi dan misinformasi. Misinformasi adalah informasi yang tidak benar atau salah, namun tidak bertujuan untuk membahayakan orang lain atau publik. Sedangkan, disinformasi adalah berita palsu yang sengaja diciptakan untuk menyesatkan atau menipu orang lain atau publik.
”Sepanjang 2020, terdapat 352 kasus disinformasi dan hoaks yang ditangani oleh Polri. Sementara, Kominfo mengidentifikasi ada lebih dari 2.000 konten hoaks seputar Covid-19,” ujar perempuan yang akrab disapa Nuning saat menghadiri webinar yang diselenggarakan Fakultas Strategi Pertahanan (FSP) Unhan RI dengan tema “Redam Disinformasi Pandemi Covid-19 dalam Mewujudkan Pertahanan Negara yang Tangguh” melalui daring. Rabu, (3/3/2021). Baca juga: 2 Kasus Mutasi Covid-19 dari Inggris Terdeteksi Masuk Indonesia dari Arab Saudi
Webinar yang diselenggarakan Fakultas Strategi Pertahanan (FSP) Unhan ini menghadirkan beberapa narasumber antara lain Ketua Ahli Epidemiologi Indonesia Hariadi Wibisono, dengan topik Pemetaan Pandemi Covid-19 dan Penyebarannya, Dosen Unhan RI Mayjen TNI (Purn) Puguh Santoso, topik Best Practice Keamanan Nasional dengan Segala Permasalahannya Menghadapi Pandemi Covid-19, Dosen Unhan RI Susaningtyas NH Kertopati, dengan topik Analisis Intelijen Terhadap Ancaman Disinformasi Covid-19 di Indonesia, serta Asisten Senior Stafsus Menkominfo Bidang Digital dan SDM Airin Rachma, dengan topik Literasi Digital dan Siber kepada Masyarakat di Era Pandemi Covid-19.
Mantan anggota Komisi I DPR ini menyebut, ada beberapa faktor yang mendorong infodemik atau penyebaran disinformasi Covid-19 dengan volume yang besar dan secara cepat. Di antaranya, computational propaganda yakni, manipulasi dan misinformasi digital menggunakan algoritma dan automasi. Kemudian, multi channel yakni disampaikan melalui berbagai saluran yang tersedia. Rapid yaitu, publiK cepat percaya karena informasi tersebut seolah baru pertama kali didapatkan.
Termasuk confirmation bias yakni, sesuai dengan keyakinan yang dimiliki sebelumnya serta evidence, didukung oleh bukti sekalipun bukti tersebut bersifat manipulative karena publik tidak akan pernah mengecek. ”Di Indonesia, kondisi ini berkelindan dengan masifnya penggunaan media sosial sebanyak 171 juta dan lemahnya literasi digital dimana Indonesia menduduki peringkat 56 dari 63 negara dan kesimpangsiuran pernyataan mengenai Covid-19 dari lembaga resmi negara.
”Adanya pembelahan politik turut memperparah situasi ini untuk terus mendiskreditkan/ delegitimasi pemerintah yang sah dalam penanganan konflik. Karena, sasaran dari fenomena ini adalah turunnya kepercayaan publik pada institusi resmi pemerintah, serta media massa mainstream,” ucapnya.
Untuk mengatasi ancaman tersebut, Nuning menyarankan agar dibangun pola komunikasi yang terpusat, transparan, akuntabel, dan berbasis data untuk meredam kesimpangsiuran dan kecemasan publik. ”Perlunya melakukan identifikasi dan klasifikasi bentuk-bentuk disinformasi berkaitan dengan Covid-19 serta melakukan kontra narasi secara terstruktur, cepat dan efisien melalui medium yang tepat,” katanya.
Selain itu, melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk tokoh agama, hingga tingkat RT/RW untuk menyosialisasikan prokes dan vaksin dengan narasi yang mudah dipahami oleh publik agar dapat lebih diterima. ”Menerapkan aturan yang tegas, terukur dan berkeadilan dalam menindak pelanggaran protokol kesehatan untuk menimbulkan efek jera, termasuk pihak-pihak yang menyebarkan disinformasi, mengingat dampak atau kerugian yang ditimbulkan dapat membahayakan nyawa masyarakat,” ucapnya.
(cip)