Halau Perempuan dari Pengaruh Konservatisme-Radikalisme
loading...
A
A
A
JAKARTA - Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan pada 2018 tercatat 13 orang perempuan terlibat dalam aksi teror sedangkan pada 2019 bertambah menjadi 15 orang termasuk kasus peledakan diri yang dilakukan istri Abu Hamzah di Sibolga, Sumatera Utara pada Maret 2019.
Wakil Sekretaris Jenderal Korps HMI Wati (Kohati) Octy Avriani Negara menila hal tersebut sebagai fakta menyakitkan. Perampuan yang sejatinya tiang penyangga peradaban bangsa kini harus terekam oleh memori sebagai pelaku terorisme.
"Meskipun sejatinya, pelaku perampuan lebih tepat disebut sebagai korban dari paham yang ekstrem radikal. Keikutsertaan perempuan dalam aksi terorisme juga dapat terlihat dalam sejumlah kasus di Indonesia," kata Octy dalam keterangannya, Senin (1/3/2021).
Meski peran perempuan dalam aksi terorisme tidak bisa disebut sebagai inisiator, kata dia, namun kehadiran kaum hawa dalam agenda kejahatan kemanusiaan ini merupakan sembilu peradaban yang sangat menyakitkan.
Menurut dia, fitrah perampuan yang identik dengan kelembutan dan keindahan tidak seharusnya dijerumuskan ke dalam aktivitas paling mematikan seperti terorisme.
"Tentu terdapat banyak alasan mengapa para wanita rela dan nekat mengabdikan kehormatan dirinya kepada oknum teroris tanpa takut sedikit pun," tandasnya.
Pertama, perempuan dianggap bisa menjadi pengikut yang loyal dan patuh kepada suami atau atasan yang menurutnya sangat kharismatik dan penyayang. Dalam pengaruh emosional yang dalam, akal sehat perampuan seringkali tidak berdaya oleh perasaan hatinya yang kadung cinta.
Kedua, "belaian" konservatisme ajaran agama yang menjanjikan keindahan surga, menjadi faktor paling menentukan bagi perampuan muslimah untuk percaya dan tunduk kepada ajakan radikal jahat untuk memerangi kaum yang bagi mereka halal darahnya.
Menurut dia, kemampuan mengakses media sosial secara intensif, tanpa dibekali literasi keilmuan dan pengetahuan yang cukup menjadi penyebab yang sistematis bagi kaum perampuan untuk sekedar mendalami apa yang disebut oleh Buya Safi’i Ma’arif sebagai paradigma teologi maut ini.
Kondisi emosional perampuan yang sering tidak stabil akibat berbagai jenis tekanan hidup, lanjut dia, diketahui menjadi pintu masuk yang efektif bagi aktivis radikalisme.
"Tawaran untuk mengakhiri jalan hidup dengan kompensasi surga sepertinya menarik bagi banyak perampuan putus asa di era sekarang. Dalam konteks ini, harus kita akui bahwa ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekonomi menjadi penyebab paling mendasar bagi terekrutnya perempuan," tuturnya.
Sedangkan bagi aktor intelektual radikalisme dan terorisme, pelibatan perempuan dianggap sebagai siasat yang dapat mengelabui aparat penegak hukum. Kepiawaian perampuan dalam menjalankan misi rahasia diakui memiliki pengaruh yang besar dalam pertimbangan para pelaku utama kejahatan terorisme.
Selain itu, kaum perampuan radikal yang notabene merupakan ibu rumah tangga dimanfaatkan menjadi alat propaganda oleh oknum aktivis radikalisme. "Jadi memang perempuan itu dekat dengan keluarga dan dia mampu mempengaruhi keluarganya," tuturnya.
Oleh karena itu ketika mempunyai paham yang salah atau keliru, itu sangat berbahaya untuk keluarganya. Karena perempuan sangat didengar.
Octy merujuk penelitian yang dirilis Universitas Cambridge, Inggris, pada Senin 22 Februari 2021, individu berpandangan ekstrem kesulitan menjalankan tugas psikologis yang rumit.
Studi tersebut menyimpulkan, gabungan karakter individu dan kemampuan kognitif, yakni bagaimana otak manusia mencerna informasi, bisa "memprediksi" pandangan ekstrem di lintas ideologi, termasuk nasionalisme atau agama. Karakter psikologis ini mencakup daya ingat yang rendah, dan kemampuan mencerna perubahan warna atau bentuk yang lambat.
"Individu yang memiliki sikap konservatisme politik yang ekstrem, atau individu berpandangan kaku dan hanya melihat dunia dengan hitam putih yang sulit diubah, juga ditengarai memiliki pengaruh mendorong individu ke dalam spektrum radikalisme," tuturnya.
Menurut dia, kaum perempuan sejatinya memiliki kekuatan natural untuk menarasikan kedamaian dan kelembutan, yang dapat memitigasi kekerasan di sekitarnya. Terlebih di Indonesia yang sangat besar potensinya, untuk perkembangan paham radikalisme.
"Upaya kontra narasi ayat-ayat Alquran di kalangan perampuan bisa menjadi pilihan sistematis bagi pemerintah dan kelompok Islam moderat dalam menghambat laju epidemi teologi maut terhadap kelompok rentan seperti perampuan. Pengamalan dan kampanye nilai dasar Islam washatiyah wajib menjadi narasi pokok dalam pengarus-utamaan diskursus Islam rahmatan lil’alamin," tuturnya.
Wakil Sekretaris Jenderal Korps HMI Wati (Kohati) Octy Avriani Negara menila hal tersebut sebagai fakta menyakitkan. Perampuan yang sejatinya tiang penyangga peradaban bangsa kini harus terekam oleh memori sebagai pelaku terorisme.
"Meskipun sejatinya, pelaku perampuan lebih tepat disebut sebagai korban dari paham yang ekstrem radikal. Keikutsertaan perempuan dalam aksi terorisme juga dapat terlihat dalam sejumlah kasus di Indonesia," kata Octy dalam keterangannya, Senin (1/3/2021).
Meski peran perempuan dalam aksi terorisme tidak bisa disebut sebagai inisiator, kata dia, namun kehadiran kaum hawa dalam agenda kejahatan kemanusiaan ini merupakan sembilu peradaban yang sangat menyakitkan.
Menurut dia, fitrah perampuan yang identik dengan kelembutan dan keindahan tidak seharusnya dijerumuskan ke dalam aktivitas paling mematikan seperti terorisme.
"Tentu terdapat banyak alasan mengapa para wanita rela dan nekat mengabdikan kehormatan dirinya kepada oknum teroris tanpa takut sedikit pun," tandasnya.
Pertama, perempuan dianggap bisa menjadi pengikut yang loyal dan patuh kepada suami atau atasan yang menurutnya sangat kharismatik dan penyayang. Dalam pengaruh emosional yang dalam, akal sehat perampuan seringkali tidak berdaya oleh perasaan hatinya yang kadung cinta.
Kedua, "belaian" konservatisme ajaran agama yang menjanjikan keindahan surga, menjadi faktor paling menentukan bagi perampuan muslimah untuk percaya dan tunduk kepada ajakan radikal jahat untuk memerangi kaum yang bagi mereka halal darahnya.
Menurut dia, kemampuan mengakses media sosial secara intensif, tanpa dibekali literasi keilmuan dan pengetahuan yang cukup menjadi penyebab yang sistematis bagi kaum perampuan untuk sekedar mendalami apa yang disebut oleh Buya Safi’i Ma’arif sebagai paradigma teologi maut ini.
Kondisi emosional perampuan yang sering tidak stabil akibat berbagai jenis tekanan hidup, lanjut dia, diketahui menjadi pintu masuk yang efektif bagi aktivis radikalisme.
"Tawaran untuk mengakhiri jalan hidup dengan kompensasi surga sepertinya menarik bagi banyak perampuan putus asa di era sekarang. Dalam konteks ini, harus kita akui bahwa ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekonomi menjadi penyebab paling mendasar bagi terekrutnya perempuan," tuturnya.
Sedangkan bagi aktor intelektual radikalisme dan terorisme, pelibatan perempuan dianggap sebagai siasat yang dapat mengelabui aparat penegak hukum. Kepiawaian perampuan dalam menjalankan misi rahasia diakui memiliki pengaruh yang besar dalam pertimbangan para pelaku utama kejahatan terorisme.
Selain itu, kaum perampuan radikal yang notabene merupakan ibu rumah tangga dimanfaatkan menjadi alat propaganda oleh oknum aktivis radikalisme. "Jadi memang perempuan itu dekat dengan keluarga dan dia mampu mempengaruhi keluarganya," tuturnya.
Oleh karena itu ketika mempunyai paham yang salah atau keliru, itu sangat berbahaya untuk keluarganya. Karena perempuan sangat didengar.
Octy merujuk penelitian yang dirilis Universitas Cambridge, Inggris, pada Senin 22 Februari 2021, individu berpandangan ekstrem kesulitan menjalankan tugas psikologis yang rumit.
Studi tersebut menyimpulkan, gabungan karakter individu dan kemampuan kognitif, yakni bagaimana otak manusia mencerna informasi, bisa "memprediksi" pandangan ekstrem di lintas ideologi, termasuk nasionalisme atau agama. Karakter psikologis ini mencakup daya ingat yang rendah, dan kemampuan mencerna perubahan warna atau bentuk yang lambat.
"Individu yang memiliki sikap konservatisme politik yang ekstrem, atau individu berpandangan kaku dan hanya melihat dunia dengan hitam putih yang sulit diubah, juga ditengarai memiliki pengaruh mendorong individu ke dalam spektrum radikalisme," tuturnya.
Menurut dia, kaum perempuan sejatinya memiliki kekuatan natural untuk menarasikan kedamaian dan kelembutan, yang dapat memitigasi kekerasan di sekitarnya. Terlebih di Indonesia yang sangat besar potensinya, untuk perkembangan paham radikalisme.
"Upaya kontra narasi ayat-ayat Alquran di kalangan perampuan bisa menjadi pilihan sistematis bagi pemerintah dan kelompok Islam moderat dalam menghambat laju epidemi teologi maut terhadap kelompok rentan seperti perampuan. Pengamalan dan kampanye nilai dasar Islam washatiyah wajib menjadi narasi pokok dalam pengarus-utamaan diskursus Islam rahmatan lil’alamin," tuturnya.
(dam)