Ketua IBC Arif Nur Alam menilai, KPK seharusnya menelusuri aliran dana suap ratusan miliar yang diberikan eksportir kepada mantan Menteri Edhy Prabowo. Foto/SINDOnews
AAA
JAKARTA - Ketua Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya menelusuri aliran dana suap ratusan miliar yang diberikan eksportir kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo demi mendapatkan surat rekomendasi izin ekspor.
Selain itu, Tim Due Diligence juga memiliki tugas untuk memberikan rekomendasi proposal usaha yang memenuhi persyaratan untuk melakukan usaha budidaya lobster. "Jadi peran para stafsus Edhy itu sangat vital dalam kasus ini," ungkapnya.
Fakta adanya suap dalam jumlah besar harus ditelusuri menjelang sidang lanjutan para saksi kasus ekspor benih lobster dengan tersangka Direktur PT Dua Putera Perkasa, Suharjito, yang dijadwalkan pada hari Rabu (24/2).
"Investigasi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui informasi mendalam terkait keterlibatan para eksportir yang terlibat dalam kasus suap ini. Penting juga dicari tahu uang sebesar itu untuk apa saja?" ujar Arif.
Edhy Prabowo sebagai menteri diketahui memberikan sejumlah syarat yang harus dipatuhi para calon eksportir untuk mendapatkan izin kegiatan melalui Peraturan Menteri (Permen) Nomor 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan di wilayah Indonesia.
Dalam surat dakwaan terhadap tersangka, disebutkan bahwa ada salah satu poin dimana untuk mendapatkan surat rekomendasi tersebut, pihak eksportir diharuskan memberi uang komitmen senilai Rp5 miliar, yang dapat dibayarkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan perusahaan, kepada Edhy Prabowo melalui Safri Muis selaku staf khusus Menteri KKP. Perintah stafsus ini membuat para eksportir tidak bisa berkutik.
Setelah tersangka Suharjito menyanggupi dan membayar sebagian, maka surat rekomendasi izin ekspor berupa Surat Penetapan Calon Eksportir Benih Bening Lobster (BBL) itu akhirnya terbit di bulan Juli 2020.
Terkait kasus ini, ada 61 perusahaan yang sudah mendapatkan surat rekomendasi dan hingga OTT terjadi, 41 perusahaan diantaranya telah melaksanakan ekspor BBL melalui jalur resmi dengan menyetorkan uang senilai Rp5 miliar tersebut. Jika benar setiap eksportir harus memberi suap untuk mendapatkan ijin,dari KKP, maka KPK harus memeriksa seluruh eksportir.
Kasus ini sama seperti kasus korupsi bansos. Banyak yang diduga terlibat namun belum semua dipanggil dan diperiksa KPK. Misalnya Ihsan Yunus yang disebut-sebut menjadi kunci empat vendor dengan nilai kontrak hampir dua trilyun rupiah.
Kasus yang sudah terbuka ini, menurut Arif, harus dijadikan pintu masuk bagi KPK untuk membongkar bisnis ekspor ilegal yang selama ini terjadi. IBC menemukan di luar ACK ada perusahaan lain yang disinyalir juga mengekspor lobster, seperti Mitra Jaya Perkasa, Grahafoods Indo Pasifik, Tri Buana Ayu dan Bajika.
Mengutip laporan media, PT Grahafoods Indo Pasifik yang merupakan ketua asosiasi eksportir dan banyak berbicara kepada media massa usai Operasi Tangkap Tangan KPK rupanya bisa mengekspor melalui jalur yang telah ditetapkan Kementerian KKP dan disetujui pihak Bea Cukai.
Perusahaan ini bersama sejumlah perusahaan lain bahkan bisa kembali mengekspor ketika kran ijin ekspor dari KPK ditutup usai OTT KPK. Upaya ekspor menggunakan jalur yang telah ditetapkan juga direstui Bea Cukai.
"Masyarakat dibuat bingung tentang bagaimana sebenarnya tata kelola ekspor lobster. Karena kalau ini tidak dikelola dengan baik, selain komunitas nelayan kecil sangat dirugikan secara ekonomi, dampak lingkungannya sangat besar bagi Indonesia,” tegas Arif.
Menurut dia jika satu perusahaan diduga berani menyuap Rp5 milar untuk terdaftar sebagai pengekspor menandakan bisnis ini sangat menguntungkan. Untuk itu, patut diduga bisnis lobster ini melibatkan banyak pihak yang kewenangannya terkait.
"KPK harus lebih berani mendalami pasar gelap ekspor lobster ini, karena patut diduga adanya manipulasi dan mark down (pengecilan kuantitas barang ekspor untuk mengurangi pajak) yang mengakibatkan pajak yang seharusnya diterima negara menjadi lebih kecil. Ini pasti melibatkan sejumlah oknum pemerintah dalam kasus ini," tutup Arif.