Layanan Pertanahan Harus Aman dan Mudah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Digitalisasi sertifikat tanah , kenapa tidak. Perkembangan zaman menuntut semua layanan publik harus lebih cepat, murah, dan nyaman. Termasuk, pengurusan sertifikat tanah dan layanan lainnya. Hanya, keamanan tetap harus menjadi faktor yang dikemukakan.
Rencana digitalisasi sertifikat tanah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional ATR/Kepala BPN No 1/2021 tentang Sertipikat Elektronik belakangan mengemuka karena memicu kontroversi. Fokusnya terkait kabar bahwa BPN akan menarik sertifikat fisik milik masyarakat.
Kabar ini tentu meresahkan karena masyarakat khawatir hak atas kepemilikan tanah yang mereka kuasai rentan dimanipulasi. Apalagi belakangan bau tak sedap adanya mafia tanah santer berhembus. Belum lagi kerentanan digital dari serangan siber.
Urgensi digitalisasi sertifikat tanah dan pentingnya keamanan juga ditekankan sejumlah kalangan, di antaranya Managing Director Ciputra Group Harun Hajadi, Pengamat properti dari Indonesia Property Watch Ali Tranghanda, Ketua DPD Real Estat Indonesia (REI) DKI Jakarta Arvin, dan Ketua Umum Pengembang Pemukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Harry Endang Kawidjaja.
Namun, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil secara tegas menampik kabar adanya penarikan sertifikat tanah tersebut.
"Itu tidak benar. BPN tidak akan menarik sertifikat [tanah yang fisik]. Semua sertifikat [tanah] lama akan tetap berlaku, sampai dialihkan dalam bentuk sertifikat elektronik. Oleh sebab itu, kalau ada orang mengaku dari BPN mau menarik sertifikat, jangan dilayani," ujar Sofyan melalui webinar yang disiarkan kanal Youtube Kementerian ATR/BPN (4/2).
Dalam revolusi industri 4.0, digitalisasi bidang pelayanan publik diharapkan mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan. Dengan adanya kemudahan pelayanan, diharapkan juga dapat mengubah stigma ketidakpercayaan masyarakat atas pelayanan buruk pemerintah dapat menghilang.
Digitalisasi pelayanan publik sejalan dengan reformasi birokrasi yang jadi arahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Untuk mempertajam visi tersebut, pemerintah kini tengah melakukan penyempurnaan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Secara strategis, penyempurnaan akan menyeleraskan undang-undang tersebut, di antaranya dengan UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo menegaskan pentingnya pelayanan publik berbasis elektronik harus menjadi basis pelayanan dalam rangka memudahkan dan transparansi pelayanan kepada masyarakat juga menjadi poin penting.
‘’Terutama dalam adaptasi kebiasaan baru. Jadi, pelayanan publik ke depan diharapkan lebih terintegrasi antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten atau Kota serta pelayanan bisnis yang menunjang penyelenggaraan pelayanan publik,’’ ujar Tjahjo, awal tahun ini.
Dia kemudian menandaskan, UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik perlu disempurkan karena sudah berusia 11 tahun, sementara pelayanan publik berkembang sangat dinamis karena mengikuti perkembangan sosial-ekonomi masyarakat.
Tjahjo juga menyebut kelas menengah Indonesia sudah meningkat. Bank Dunia mencatat 45% populasi penduduk Indonesia atau sekitar 115 juta rakyat Indonesia berpotensi memasuki kelas menengah. Menurut Tjahjo, kenaikan kelas menengah diiringi meningkatnya ekspektasi terhadap pelayanan publik.
“Digitalisasi dalam pelayanan publik menjadi suatu keniscayaan digitalisasi pelayanan merupakan pintu menuju pelayanan publik kelas dunia," katanya.
Selain itu, perkembangan politik dan administrasi pemerintahan yang mengarah atau berorientasi kepada pelayanan harus turut menjadi pertimbangan. Pada masa lalu, semua pelayanan publik nampaknya menjadi domain pemerintah. Sekarang pelayanan publik tidak lagi menjadi domain pemerintah, tetapi harus melibatkan partisipasi masyarakat.
Sementara itu, sejumlah kalangan merespons positif rencana digitalisasi sertifikat tanah. Namun mereka mewanti-wanti faktor keamanan harus dipastikan. "Sertifikat tanah secara elektronik sudah menjadi keniscayaan, maka mau tidak mau suatu waktu akan tiba. Tetapi authentication-nya menjadi luar biasa pentingnya," ujar Managing Director Ciputra Group Harun Hajadi kepada Koran SINDO, kemarin.
Pengamat properti dari Indonesia Property Watch Ali Tranghanda meyakini sertifikat elektronik ini lebih efisien dilihat dari penyimpanan yang akan berupa digital. Risiko kehilangan fisik yang kecil, kemudahan transaksi akan menjadi lebih efisien karena secara otomatis akan terekam digital. Namun dia melihat sistem ini masih mengandung kerentanan dari sisi keamanan.
"Maka, harus didukung dengan sistem keamanan yang sangat baik. Juga harus diperhatikan masyarakat yang belum terbiasa digital. Karena nanti sistem ini bersifat pribadi maka tetap semua data kode akses yang bersifat pribadi harus dijaga privasinya," ucapnya.
Dalam pandangannya, implementasi digitalisasi sertifikat dilakukan bertahap menyeimbangi masyarakat yang belum terbiasa dengan perangkat digital. Soal keamanan, Ali menilai justru lebih baik untuk menghindari sertifikat ganda karena ada notifikasi, pin, password, verifikasi atau tandatangan digital dan lainnya.
‘’Sosialisasi dan edukasi butuh waktu untuk mereka yang tidak terbiasa, literasi keamanan data pribadi pun harus terus ditingkatkan,’’ katanya..
Senada, Ketua DPD REI DKI Jakarta Arvin Iskandar menilai, sertifikasi tanah elektronik ini secara umum positif bagi pelaku usaha. Sehingga memudahkan proses pengecatan ketika obyek tanah atau bangunan secara geografis berjauhan. Terlebih dengan upaya pemerintah untuk memprioritaskan digitalisasi sertifikat tanah menyasar ke instansi pemerintah, badan hukum yang sudah terbiasa dengan dokumen elektronik .
‘’Secara administratif memang masih diberlakukan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya sebagai proyek percontohan. "Harapan saya bisa berlaku seluruh wilayah RI. Pertimbangan ini dimaksudkan untuk memudahkan akses investasi ke berbagai daerah, ketika investor memastikan obyek tanah baik untuk lahan pertanian atau pabrik, sehingga tidak terjadi banyak kendala saat verifikasi awal investasi," ujar Arvin.
Dia kemudian menuturkan, amburadulnya kasus e-KTP masih banyak masyarakat mengangap pembuatan sertifikat elektronik selesainya lama atau persepsi dibalik ini ada korupsi. Sehingga Mereka berpikir dua kali untuk diganti ke sertifikat elektronik.Makanya dibutuhkan kepastian proteksi data pribadi juga tidak akan berpindah tangan dengan mudah.
Untuk itu, dalam pandanganya pemerintah butuh formulasi sosialisasi secara masif dengn tujuan utama kepercayaan publik. Dimulai dari SK BPN soal penerbitan sertifikat elektronik kemudian disebar luaskan. Lalu harus ada pembuktian keberhasilan pilot project terlebih di beberapa wilayah provinsi, kabupaten atau kota.
"Memastikan, pasca pemberlakuan sertifikat elektronik tidak ada penarikan sertifikat masyarakat, sertifikat yang ada tetap berlaku dan diberikan pelayanan seperti biasa," ucapnya.
Respons senada disampaikan Ketua Umum Himperra Harry Endang Kawidjaja. Menurut dia, sertifikat elektronik bisa menjadi solusi dari penerbitan yang lambat dan sangat prosedural. Namun dia menyadari perlu waktu untuk bertransformasi karena masalah budaya pada masyarakat pedesaan yang kurang paham sesuatu yang tidak berwujud paska girik atau patok.
"Saya usul bagaimana agar tetap ada dua opsi dengan pembebanan biaya yang tinggi untuk non- elektronik. Pemerintah juga harus melindungi dari serangan cyber yang selama ini mengkhawatirkan," tutupnya.
Kontroversi Sertifikat Tanah
Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021, pasal 13 ayat 3 berbunyi "Kepala Kantor Pertanahan menarik Sertipikat untuk disatukan dengan buku tanah dan disimpan menjadi warkah pada Kantor Pertanahan" menjadi pemicu kontroversi digitalisasi sertifikat tanah.
Namun, Sekjen Kementerian ATR/BPN Himawan Arief Sugoto meluruskan, apabila melihat pasal-pasal lainnya, proses penukaran sertifikat fisik menjadi bentuk elektronik dilakukan pada tahap akhir. Penukaran dilakukan pada saat proses validasi data fisik maupun yuridis sudah selesai dilakukan secara keseluruhan di suatu daerah.
"Permen itu dikeluarkan karena kami sudah memulai pelayanan elektronik. Tentu, secara bertahap [penerapan aturannya]. Dimulai dari instansi pemerintah, badan hukum, dan di daerah-daerah yang sudah siap," ujar Himawan ketika berbicara dalam webinar yang sama.
Proses yang mendahului pengalihan bentuk sertifikat fisik ke elektronik masih panjang. Sebab, banyak daerah yang belum tervalidasi datanya.Karena itulah, BPN akan memulai proses digitalisasi sertifikat dari instansi-instansi pemerintah yang ada di sejumlah kota atau daerah yang sudah siap terlebih dahulu.
Diperkirakan, proses digitalisasi sertifikat tanah milik instansi pemerintah bisa dilaksanakan pada semester I tahun 2021, sekitar April mendatang. Baru kemudian dilanjutkan digitalisasi sertifikat milik badan hukum dilakukan, dan kemudian masyarakat.
Himawan menjamin penerbitan sertifikat elektronik oleh BPN akan didasari data yang valid dan aman. Apalagi, sistem data BPN nanti bisa dihubungkan dengan sistem perbankan. Dia juga memastikan, pemberlakuan sertifikat elektronik akan membuat pengurusan administrasi pertanahan lebih efisien dan cepat, sekaligus menghilangkan potensi praktik pemalsuan sertifikat.
‘’Risiko akibat kehilangan sertifikat, yang kerap dialami oleh masyarakat, juga bisa diminimalisir,’’ tandasnya.
Kepala Pusdatin dan LP2B Virgo Eresta Jaya juga telah menjelaskan, ke depan Kementerian ATR/BPN merencanakan untuk mengadopsi penggunaan Sertipikat Satu Lembar. Selama ini sertifikat tanah berbentuk sebuah blanko yang terdiri dari beberapa halaman.
Pada prinsipnya, informasi yang terdapat pada sertifikat yang saat ini berbentuk buku, nantinya akan tetap dapat dilihat oleh masyarakat baik pada bentuk fisik melalui sertifikat satu lembar maupun melalui data digital yang diakses melalui barcode pada masing-masing sertifikat.
Rencana digitalisasi sertifikat tanah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional ATR/Kepala BPN No 1/2021 tentang Sertipikat Elektronik belakangan mengemuka karena memicu kontroversi. Fokusnya terkait kabar bahwa BPN akan menarik sertifikat fisik milik masyarakat.
Kabar ini tentu meresahkan karena masyarakat khawatir hak atas kepemilikan tanah yang mereka kuasai rentan dimanipulasi. Apalagi belakangan bau tak sedap adanya mafia tanah santer berhembus. Belum lagi kerentanan digital dari serangan siber.
Urgensi digitalisasi sertifikat tanah dan pentingnya keamanan juga ditekankan sejumlah kalangan, di antaranya Managing Director Ciputra Group Harun Hajadi, Pengamat properti dari Indonesia Property Watch Ali Tranghanda, Ketua DPD Real Estat Indonesia (REI) DKI Jakarta Arvin, dan Ketua Umum Pengembang Pemukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Harry Endang Kawidjaja.
Namun, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil secara tegas menampik kabar adanya penarikan sertifikat tanah tersebut.
"Itu tidak benar. BPN tidak akan menarik sertifikat [tanah yang fisik]. Semua sertifikat [tanah] lama akan tetap berlaku, sampai dialihkan dalam bentuk sertifikat elektronik. Oleh sebab itu, kalau ada orang mengaku dari BPN mau menarik sertifikat, jangan dilayani," ujar Sofyan melalui webinar yang disiarkan kanal Youtube Kementerian ATR/BPN (4/2).
Dalam revolusi industri 4.0, digitalisasi bidang pelayanan publik diharapkan mempermudah masyarakat dalam mendapatkan pelayanan. Dengan adanya kemudahan pelayanan, diharapkan juga dapat mengubah stigma ketidakpercayaan masyarakat atas pelayanan buruk pemerintah dapat menghilang.
Digitalisasi pelayanan publik sejalan dengan reformasi birokrasi yang jadi arahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Untuk mempertajam visi tersebut, pemerintah kini tengah melakukan penyempurnaan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Secara strategis, penyempurnaan akan menyeleraskan undang-undang tersebut, di antaranya dengan UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo menegaskan pentingnya pelayanan publik berbasis elektronik harus menjadi basis pelayanan dalam rangka memudahkan dan transparansi pelayanan kepada masyarakat juga menjadi poin penting.
‘’Terutama dalam adaptasi kebiasaan baru. Jadi, pelayanan publik ke depan diharapkan lebih terintegrasi antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten atau Kota serta pelayanan bisnis yang menunjang penyelenggaraan pelayanan publik,’’ ujar Tjahjo, awal tahun ini.
Dia kemudian menandaskan, UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik perlu disempurkan karena sudah berusia 11 tahun, sementara pelayanan publik berkembang sangat dinamis karena mengikuti perkembangan sosial-ekonomi masyarakat.
Tjahjo juga menyebut kelas menengah Indonesia sudah meningkat. Bank Dunia mencatat 45% populasi penduduk Indonesia atau sekitar 115 juta rakyat Indonesia berpotensi memasuki kelas menengah. Menurut Tjahjo, kenaikan kelas menengah diiringi meningkatnya ekspektasi terhadap pelayanan publik.
“Digitalisasi dalam pelayanan publik menjadi suatu keniscayaan digitalisasi pelayanan merupakan pintu menuju pelayanan publik kelas dunia," katanya.
Selain itu, perkembangan politik dan administrasi pemerintahan yang mengarah atau berorientasi kepada pelayanan harus turut menjadi pertimbangan. Pada masa lalu, semua pelayanan publik nampaknya menjadi domain pemerintah. Sekarang pelayanan publik tidak lagi menjadi domain pemerintah, tetapi harus melibatkan partisipasi masyarakat.
Sementara itu, sejumlah kalangan merespons positif rencana digitalisasi sertifikat tanah. Namun mereka mewanti-wanti faktor keamanan harus dipastikan. "Sertifikat tanah secara elektronik sudah menjadi keniscayaan, maka mau tidak mau suatu waktu akan tiba. Tetapi authentication-nya menjadi luar biasa pentingnya," ujar Managing Director Ciputra Group Harun Hajadi kepada Koran SINDO, kemarin.
Pengamat properti dari Indonesia Property Watch Ali Tranghanda meyakini sertifikat elektronik ini lebih efisien dilihat dari penyimpanan yang akan berupa digital. Risiko kehilangan fisik yang kecil, kemudahan transaksi akan menjadi lebih efisien karena secara otomatis akan terekam digital. Namun dia melihat sistem ini masih mengandung kerentanan dari sisi keamanan.
"Maka, harus didukung dengan sistem keamanan yang sangat baik. Juga harus diperhatikan masyarakat yang belum terbiasa digital. Karena nanti sistem ini bersifat pribadi maka tetap semua data kode akses yang bersifat pribadi harus dijaga privasinya," ucapnya.
Dalam pandangannya, implementasi digitalisasi sertifikat dilakukan bertahap menyeimbangi masyarakat yang belum terbiasa dengan perangkat digital. Soal keamanan, Ali menilai justru lebih baik untuk menghindari sertifikat ganda karena ada notifikasi, pin, password, verifikasi atau tandatangan digital dan lainnya.
‘’Sosialisasi dan edukasi butuh waktu untuk mereka yang tidak terbiasa, literasi keamanan data pribadi pun harus terus ditingkatkan,’’ katanya..
Senada, Ketua DPD REI DKI Jakarta Arvin Iskandar menilai, sertifikasi tanah elektronik ini secara umum positif bagi pelaku usaha. Sehingga memudahkan proses pengecatan ketika obyek tanah atau bangunan secara geografis berjauhan. Terlebih dengan upaya pemerintah untuk memprioritaskan digitalisasi sertifikat tanah menyasar ke instansi pemerintah, badan hukum yang sudah terbiasa dengan dokumen elektronik .
‘’Secara administratif memang masih diberlakukan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya sebagai proyek percontohan. "Harapan saya bisa berlaku seluruh wilayah RI. Pertimbangan ini dimaksudkan untuk memudahkan akses investasi ke berbagai daerah, ketika investor memastikan obyek tanah baik untuk lahan pertanian atau pabrik, sehingga tidak terjadi banyak kendala saat verifikasi awal investasi," ujar Arvin.
Dia kemudian menuturkan, amburadulnya kasus e-KTP masih banyak masyarakat mengangap pembuatan sertifikat elektronik selesainya lama atau persepsi dibalik ini ada korupsi. Sehingga Mereka berpikir dua kali untuk diganti ke sertifikat elektronik.Makanya dibutuhkan kepastian proteksi data pribadi juga tidak akan berpindah tangan dengan mudah.
Untuk itu, dalam pandanganya pemerintah butuh formulasi sosialisasi secara masif dengn tujuan utama kepercayaan publik. Dimulai dari SK BPN soal penerbitan sertifikat elektronik kemudian disebar luaskan. Lalu harus ada pembuktian keberhasilan pilot project terlebih di beberapa wilayah provinsi, kabupaten atau kota.
"Memastikan, pasca pemberlakuan sertifikat elektronik tidak ada penarikan sertifikat masyarakat, sertifikat yang ada tetap berlaku dan diberikan pelayanan seperti biasa," ucapnya.
Respons senada disampaikan Ketua Umum Himperra Harry Endang Kawidjaja. Menurut dia, sertifikat elektronik bisa menjadi solusi dari penerbitan yang lambat dan sangat prosedural. Namun dia menyadari perlu waktu untuk bertransformasi karena masalah budaya pada masyarakat pedesaan yang kurang paham sesuatu yang tidak berwujud paska girik atau patok.
"Saya usul bagaimana agar tetap ada dua opsi dengan pembebanan biaya yang tinggi untuk non- elektronik. Pemerintah juga harus melindungi dari serangan cyber yang selama ini mengkhawatirkan," tutupnya.
Kontroversi Sertifikat Tanah
Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021, pasal 13 ayat 3 berbunyi "Kepala Kantor Pertanahan menarik Sertipikat untuk disatukan dengan buku tanah dan disimpan menjadi warkah pada Kantor Pertanahan" menjadi pemicu kontroversi digitalisasi sertifikat tanah.
Namun, Sekjen Kementerian ATR/BPN Himawan Arief Sugoto meluruskan, apabila melihat pasal-pasal lainnya, proses penukaran sertifikat fisik menjadi bentuk elektronik dilakukan pada tahap akhir. Penukaran dilakukan pada saat proses validasi data fisik maupun yuridis sudah selesai dilakukan secara keseluruhan di suatu daerah.
"Permen itu dikeluarkan karena kami sudah memulai pelayanan elektronik. Tentu, secara bertahap [penerapan aturannya]. Dimulai dari instansi pemerintah, badan hukum, dan di daerah-daerah yang sudah siap," ujar Himawan ketika berbicara dalam webinar yang sama.
Proses yang mendahului pengalihan bentuk sertifikat fisik ke elektronik masih panjang. Sebab, banyak daerah yang belum tervalidasi datanya.Karena itulah, BPN akan memulai proses digitalisasi sertifikat dari instansi-instansi pemerintah yang ada di sejumlah kota atau daerah yang sudah siap terlebih dahulu.
Diperkirakan, proses digitalisasi sertifikat tanah milik instansi pemerintah bisa dilaksanakan pada semester I tahun 2021, sekitar April mendatang. Baru kemudian dilanjutkan digitalisasi sertifikat milik badan hukum dilakukan, dan kemudian masyarakat.
Himawan menjamin penerbitan sertifikat elektronik oleh BPN akan didasari data yang valid dan aman. Apalagi, sistem data BPN nanti bisa dihubungkan dengan sistem perbankan. Dia juga memastikan, pemberlakuan sertifikat elektronik akan membuat pengurusan administrasi pertanahan lebih efisien dan cepat, sekaligus menghilangkan potensi praktik pemalsuan sertifikat.
‘’Risiko akibat kehilangan sertifikat, yang kerap dialami oleh masyarakat, juga bisa diminimalisir,’’ tandasnya.
Kepala Pusdatin dan LP2B Virgo Eresta Jaya juga telah menjelaskan, ke depan Kementerian ATR/BPN merencanakan untuk mengadopsi penggunaan Sertipikat Satu Lembar. Selama ini sertifikat tanah berbentuk sebuah blanko yang terdiri dari beberapa halaman.
Pada prinsipnya, informasi yang terdapat pada sertifikat yang saat ini berbentuk buku, nantinya akan tetap dapat dilihat oleh masyarakat baik pada bentuk fisik melalui sertifikat satu lembar maupun melalui data digital yang diakses melalui barcode pada masing-masing sertifikat.
(ynt)