Fatwa MUI Haramkam Aktivitas Buzzer, Pengamat: Percuma Kalau Pemerintah Tidak Merespons

Selasa, 16 Februari 2021 - 05:51 WIB
loading...
Fatwa MUI Haramkam Aktivitas...
Foto: Ilustrasi/SINDOnews/Dok
A A A
JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Padjajaran (Unpad) Idil Akbar menilai, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan aktivitas buzzer sangat menarik dan patut direspons oleh pemerintah.



Hanya saja, Fatwa MUI itu juga harus memiliki dasar yang bisa dijelaskan kepada masyarakat, terutama indikator tingkat keharaman buzzer.

“Itu harus betul-betul dipikirkan dan betul-betul disampaikan oleh MUI. Saya sebetulnya kalau melihat dinamika sosial di masyarakat, keberadaan buzzer ini
dirasakan cukup mengganggu,” kata Idil saat dihubungi, Selasa (16/2/2021).



Beberapa waktu lalu, kata Idil, pemerintah sebenarnya sudah menyampaikan akan menertibkan buzzer, sehingga hal ini juga perlu dapat dukungan luas dari masyarakat.

Dengan begitu, para buzzer politik ini nantinya tidak lagi menimbulkan kegaduhan, dan kembali pada khittahnya (garis pedoman) bahwa mereka ini sebagai influencer, bukan orang-orang yang kemudian bekerja membuat dinamika politik semakin rumit dan bermasalah

Fatwa MUI Haramkam Aktivitas Buzzer, Pengamat: Percuma Kalau Pemerintah Tidak Merespons


“Mereka memperoleh keuntungan dari keruwetan itu. Apa yang dilakukan MUI perlu didukung asal memiliki, ada penyampaian dasar yang kuat mengenai fatwa tersebut,” tandasnya.



Soal efektivitas Fatwa MUI tersebut terhadap aktivitas buzzer, Idil melihat permasalahannya adalah sejauhmana tingkat kepatuhan terhadap fatwa itu. Sebab beberapa contoh kasus sebelumnya, fatwa MUI sering kali diabaikan. Jadi, pada akhirnya kembali ke pemerintah untuk ikut menertibkan buzzer dan diikat secara hukum.

“Jika memang kedapatan mereka melakukan aktivitas-aktivitas buzzer yang merugikan banyak orang dan menimbulkan isu-isu negatif, isu yang bisa memecah belah, saya kira memang harus ditindak secara normatif oleh hukum-hukum positif,” sarannya.



“Artinya, fatwa itu harus didukung oleh hukum-hukum positif tersebut. Karena kalau tidak, fatwa tidak cukup kuat, meskipun Indonesia mayoritas Islam tapi tingkat kepatuhan terhadap fatwa itu rendah. Saya pikir harus diimbangi dengan hukum positif oleh negara,” pungkas Idil.
(thm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1013 seconds (0.1#10.140)