Gembong Primadjaja: IA ITB Mestinya Banyak Mendiskusikan Sains dan Teknologi, Bukan Politik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Calon Ketua Umum Ikatan Alumni ITB (IA ITB) Gembong Primadjaja turut menyoroti masalah pluralisme dan radikalisme di Indonesia. Gembong menilai pluralisme sudah menjadi sebuah keniscayaan di alam demokrasi dan menjadi bagian dari kebangsaan Indonesia.
Pluralisme di Indonesia berhasil dibingkai ke dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika dan sudah membuktikan mampu membawa Indonesia menjadi negara yang demokratis dan beradab.
“Dengan menjunjung tinggi prinsip pluralisme, saya meyakini rasanya tak mungkin radikalisme bisa hidup dengan nyaman di Indonesia,” kata Gembong, Senin (15/2/2021).
Gembong menjabarkan, pemahaman kata radikal lebih kepada hal yang positif. Ia mencontohkan, dirinya juga radikal dalam mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Begitu pula dengan proses pembelajaran di ITB, yang menurut Gembong juga radikal dalam mendidik para mahasiswa agar kelak bisa berperan bagi kemajuan bangsa.
Pernyataan Gembong soal radikalisme ini menyikapi kehebohan yang terjadi beberapa hari belakangan, yang dipicu oleh Gerakan Anti-Radikalisme (GAR) Alumni ITB.
“Perbedaan persepsi di kalangan alumni ITB menjadi PR untuk bisa dijembatani. Harus ada orang yang punya waktu cukup untuk mengurus IA ITB, agar pihak-pihak yang berbeda persepsi itu bisa saling menjalin interaksi dan komunikasi,” bebernya.
Gembong mengaku tidak pernah diajak bergabung dengan gerakan tersebut. Dia pun mengajak pihak-pihak yang berbeda pandangan untuk menahan diri supaya kondisinya bisa mendingin dan lebih kondusif.
Gembong juga menyoroti kiprah para alumni dari perguruan tinggi terkenal di dunia. Menurutnya, alumni perguruan tinggi top dunia itu mestinya lebih banyak mendiskusikan cara pengembangan ekonomi, industri, sains, dan teknologi.
Pluralisme di Indonesia berhasil dibingkai ke dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika dan sudah membuktikan mampu membawa Indonesia menjadi negara yang demokratis dan beradab.
“Dengan menjunjung tinggi prinsip pluralisme, saya meyakini rasanya tak mungkin radikalisme bisa hidup dengan nyaman di Indonesia,” kata Gembong, Senin (15/2/2021).
Gembong menjabarkan, pemahaman kata radikal lebih kepada hal yang positif. Ia mencontohkan, dirinya juga radikal dalam mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Begitu pula dengan proses pembelajaran di ITB, yang menurut Gembong juga radikal dalam mendidik para mahasiswa agar kelak bisa berperan bagi kemajuan bangsa.
Pernyataan Gembong soal radikalisme ini menyikapi kehebohan yang terjadi beberapa hari belakangan, yang dipicu oleh Gerakan Anti-Radikalisme (GAR) Alumni ITB.
“Perbedaan persepsi di kalangan alumni ITB menjadi PR untuk bisa dijembatani. Harus ada orang yang punya waktu cukup untuk mengurus IA ITB, agar pihak-pihak yang berbeda persepsi itu bisa saling menjalin interaksi dan komunikasi,” bebernya.
Gembong mengaku tidak pernah diajak bergabung dengan gerakan tersebut. Dia pun mengajak pihak-pihak yang berbeda pandangan untuk menahan diri supaya kondisinya bisa mendingin dan lebih kondusif.
Gembong juga menyoroti kiprah para alumni dari perguruan tinggi terkenal di dunia. Menurutnya, alumni perguruan tinggi top dunia itu mestinya lebih banyak mendiskusikan cara pengembangan ekonomi, industri, sains, dan teknologi.