Fahri Hamzah: Dua Jurang Menganga di Ujung Demokrasi Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kehidupan demokrasi di Indonesia masih saja menjadi tanda besar. Kendati Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ada kenaikan indeks demokrasi Indonesia pada 2020, tetapi fakta yang dirasakan masyarakat tidaklah demikian. Hal itu sedikitnya dapat dilihat dari hasil survei beberapa lembaga non-pemerintah.
Survei Indikator Politik Indonesia mencatat kelompok usia milenial merasakan kehidupan demokrasi Indonesia menurun, bahkan disebut kurang demokratis. Salah satunya terkait dengan kebebasan berpendapat.
(Baca: Jokowi Minta Warga Aktif Beri Kritik, Din Syamsuddin Bicara Pencitraan dan Kepalsuan)
Politikus Partai Gelora Fahri Hamzah mengungkapkan adanya dua bahaya bila kondisi ini terus berlarut. Kedua bahaya tersebut saat ini sedang berebut tempat karena kurang mulusnya pengelolaan demokrasi.
”Di ujung turunnya indeks demokrasi ada dua bahayanya,” ujar Fahri dalam wawancara di saluran youtube Karni Ilyas Club, Minggu (14/2/2021) malam.
Bahaya pertama, lanjut Fahri, yaitu kalau pemerintah tidak memahani bahwa kebebasan itu adalah hak seluruh masyarakat, hak umat manusia. ”Maka negara akan menjadi negara otoriter. Dia akan mengambil seluruh hak rakyat dalam satu kendali,” terang mantan “vokalis” Senayan ini.
Bahaya kedua dalam pemikiran Fahri tak kalah menakutkan. ”Atau yang kedua rakyat mengambil seluruh hak-haknya dan tidak lagi memberikannya kepada negara, jadilah kita negara yang anarki. Jadi depan itu ada otoritarianisme atau anarki,” ujar dia.
(Baca: Generasi Milenial Merasa Indonesia Kurang Demokratis)
Fahri mengaku merasakan kegairahan berbicara di ruang publik berkurang. Orang memilih ruang-ruang sempit untuk mengemukakan pendapat. Tetapi sialnya ada tren di ruang sempit itu masyarakat dikejar pemerintah yang mengumumkan akan melakukan patroli sosial media. ”Tidak sedikit kasus percakapan di grup-grup WA masuk ke persidangan,” katanya.
Karena itu Fahri menilai ada distorsi pemaknaan kebebasan berpendapat antara pemahaman Presiden Jokowi yang tetap mengharapkan kritik masyarakat dengan staruktur pemerintahannya. ”Ada kelompok elite yang tidak nyaman dengan diskusi-diskusi filosofis tentang pentingnya perbedaan pendapat untuk dikelola agar peradaban kita naik,” ujar Fahri.
Survei Indikator Politik Indonesia mencatat kelompok usia milenial merasakan kehidupan demokrasi Indonesia menurun, bahkan disebut kurang demokratis. Salah satunya terkait dengan kebebasan berpendapat.
(Baca: Jokowi Minta Warga Aktif Beri Kritik, Din Syamsuddin Bicara Pencitraan dan Kepalsuan)
Politikus Partai Gelora Fahri Hamzah mengungkapkan adanya dua bahaya bila kondisi ini terus berlarut. Kedua bahaya tersebut saat ini sedang berebut tempat karena kurang mulusnya pengelolaan demokrasi.
”Di ujung turunnya indeks demokrasi ada dua bahayanya,” ujar Fahri dalam wawancara di saluran youtube Karni Ilyas Club, Minggu (14/2/2021) malam.
Bahaya pertama, lanjut Fahri, yaitu kalau pemerintah tidak memahani bahwa kebebasan itu adalah hak seluruh masyarakat, hak umat manusia. ”Maka negara akan menjadi negara otoriter. Dia akan mengambil seluruh hak rakyat dalam satu kendali,” terang mantan “vokalis” Senayan ini.
Bahaya kedua dalam pemikiran Fahri tak kalah menakutkan. ”Atau yang kedua rakyat mengambil seluruh hak-haknya dan tidak lagi memberikannya kepada negara, jadilah kita negara yang anarki. Jadi depan itu ada otoritarianisme atau anarki,” ujar dia.
(Baca: Generasi Milenial Merasa Indonesia Kurang Demokratis)
Fahri mengaku merasakan kegairahan berbicara di ruang publik berkurang. Orang memilih ruang-ruang sempit untuk mengemukakan pendapat. Tetapi sialnya ada tren di ruang sempit itu masyarakat dikejar pemerintah yang mengumumkan akan melakukan patroli sosial media. ”Tidak sedikit kasus percakapan di grup-grup WA masuk ke persidangan,” katanya.
Karena itu Fahri menilai ada distorsi pemaknaan kebebasan berpendapat antara pemahaman Presiden Jokowi yang tetap mengharapkan kritik masyarakat dengan staruktur pemerintahannya. ”Ada kelompok elite yang tidak nyaman dengan diskusi-diskusi filosofis tentang pentingnya perbedaan pendapat untuk dikelola agar peradaban kita naik,” ujar Fahri.
(muh)