Muslim Amerika dan Isu Palestina
loading...
A
A
A
Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
Satu hal yang boleh jadi kurang dipahami oleh Saudara-Saudara Muslim kita di luar Amerika adalah bahwa bagi komunitas Muslim di Amerika masalah Palestina adalah masalah yang sensitif, dan sekaligus kompleks. Masalahnya bukan saja masalah global. Tapi sekaligus bisa menjadi isu domestik di Amerika.
Menyikapi isu Palestina bagi warga Muslim Amerika bagaikan makan buah simalakama. Maju kena, mundur juga kena. Dan karenanya pilihannya bisa maju dan siap dengan konsekuensinya. Tapi juga bisa mundur dan juga siap dengan konsekuensinya.
Hal pertama yang harus dipahami adalah bahwa masyarakat Yahudi pada tingkatan tertentu telah berhasil menjadikan isu Israel sebagai Isu Yahudi. Bahkan oleh sebagian, zionisme itu sendiri adalah agama Yahudi itu juga.
Baca juga: Tetap Berkomitmen Beri Dukungan, Palestina: Terima Kasih Indonesia
Konsekuensinya ketika komunitas Muslim menyampaikan resistensi kepada Israel atau kebijakan pemerintah Israel, maka resistensi itu akan dipahami sebagai kebencian kepada masyarakat Yahudi. Demikian pula ketika masyarakat Muslim mengeritik Zionisme maka hal itu bisa dipahami sebagai kritikan kepada masyarakat Yahudi.
Di Amerika, serangan kepada Yahudi, yang dikenal dengan anti semitisme, sudah disahkan oleh UU sebagai kejahatan (crime). Sehingga dengan sendirinya kritikan kepada Israel bisa dipahami sebagai anti semitisme yang dipahami sebagai tindakan kejahatan.
Sebaliknya bagi Komunitas Muslim Amerika, isu Palestina, khususnya Jerusalem dan Masjidil Aqsa, adalah masalah agama. Jerusalem adalah kota suci ketiga Umat Islam. Dan Masjid Al-Aqsa adalah “masraa” (tempat persinggahan Isra dan Mi’raj) Rasulullah SAW. Dan karenanya membiarkannya terjajah menjadi seolah membiarkan agama direndahkan oleh orang lain.
Dengan kenyataan seperti itu, komunitas Muslim Amerika mengambil sikap yang berhati-hati, imbang dan penuh perhitungan. Di satu sisi tetap membangun kekritisan dan resistensi kepada penjajahan dan kebijakan pemerintahan Israel yang seringkali penuh ketidakadilan dan represif. Namun di sisi lain sadar bahwa sikap itu boleh jadi membawa konskuensi yang kurang nyaman.
Hal lain yang menjadi pertimbangan bagi masyarakat Muslim adalah kenyataan bahwa secara domestik di Amerika masyarakat Yahudi banyak yang bersahabat, bahkan memberikan dukungan dan pembelaan bagi warga Muslim Amerika melawan Islamophobia yang meninggi.
Baca juga: RI Gelontorkan Rp. 32 Miliar untuk Bantu Palestina Hadapi Pandemi Covid-19
Kenyataan itu semakin jelas di zaman pemerintahan Donald Trump. Bahkan, terjadi sebuah paradoks nyata. Di satu sisi Donald Trump memberikan pembelaan kepada Yahudi Israel dengan mengakui Jerusalem sebagai Ibu kota, bahkan memindahkan Kedutaan Amerika ke Jerusalem. Tapi di sisi lain, dengan karakter Nazis (white supremacy) Yahudi banyak mendapat serangan di Amerika.
Kenyataan dalam negeri Amerika itulah yang menjadikan komunitas Muslim dan Yahudi kemudian membangun relasi yang cukup baik. Kedua Komunitas mengalami tekanan yang luar biasa. Islamophobia dan Anti Semitisme sama-sama meninggi di zaman pemerintahan Donald Trump.
Bahkan, ada sebuah motto yang terbangun di antara kedua komunitas itu. Yaitu “fighting for one another”. Artinya masyarakat Muslim tidak tanggung-tanggung membela Yahudi saat diserang oleh anti Semitic. Dan masyarakat Yahudi juga tidak ragu-ragu membela warga Muslim saat diserang oleh para Islamophobik.
Itulah yang terjadi di tahun 2017 lalu. Saat itu Donald Trump mengeluarkan aturan yang sangat tidak populer, Muslim Ban. Pada saat itu saya memimpin demonstrasi besar-besaran bersama teman saya, Rabbi Marc Shcneier dan Russel Simmons (Hollywood figure) di Time Square dengan tema "Today I am a Muslim too".
Saya sendiri memang banyak terlibat dalam dialog Muslim-Yahudi ini sejak tragedi 9/11 di tahun 2001 lalu. Bahkan menulis buku “Sons of Abraham” bersama seorang Rabbi Schneier, serta keliling Amerika bahkan ke beberapa negara untuk mengkampanyekan pentingnya Dialog Yahudi-Muslim.
Satu contoh kolaborasi kami yang nyata adalah pemberhentian pelarangan penyembelian “halal dan kosher” oleh Konsil Eropa (European Council) di tahun 2013 lalu. Saat itu teman saya, Rabbi Schneier dan saya, ke Austria berbicara di Parlemen Austria tentang Halal dan Kosher. Kami diterima oleh tokoh-tokoh agama, dan juga para politisi di negara itu.
Kini buku yang kami berdua tulis itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Anak-Anak Ibrahim: isu-isu yang menyatukan dan memisahkan Yahudi dan Muslim”. Saat ini juga sedang diproses penerjemahannya ke dalam bahasa Arab, Hebrew, dan Rusia.
Intinya, permasalahan Palestina-Israel bagi kami warga Muslim Amerika akan terus disikapi secara kritis. Tapi semua itu tidak akan mengurangi upaya kami untuk terus membangun komunikasi dan dialog dengan masyarakat Yahudi. Tentu dengan pertimbangan bahwa baik kekritisan atau sebaliknya dialog bertujuan untuk mendukung kepentingan (interest) umat dan kemanusiaan secara umum.
Lalu, bagaimana menyikapi masalah Palestina yang nampaknya semakin suram belakangan ini? Apakah sikap imbang Komunitas Muslim itu justeru sejalan dengan keputusan sebagian negara-negara mayoritas Islam membangun hubungan dengan Israel?
Atau jangan-jangan memang masanya mencoba berpikir lebih jernih, jauh dari sikap emosi, dan melihat jika perjuangan untuk mendukung Palestina memerlukan alternatif lain?
Tunggu di tulisan selanjutnya! (Bersambung)
Presiden Nusantara Foundation
Satu hal yang boleh jadi kurang dipahami oleh Saudara-Saudara Muslim kita di luar Amerika adalah bahwa bagi komunitas Muslim di Amerika masalah Palestina adalah masalah yang sensitif, dan sekaligus kompleks. Masalahnya bukan saja masalah global. Tapi sekaligus bisa menjadi isu domestik di Amerika.
Menyikapi isu Palestina bagi warga Muslim Amerika bagaikan makan buah simalakama. Maju kena, mundur juga kena. Dan karenanya pilihannya bisa maju dan siap dengan konsekuensinya. Tapi juga bisa mundur dan juga siap dengan konsekuensinya.
Hal pertama yang harus dipahami adalah bahwa masyarakat Yahudi pada tingkatan tertentu telah berhasil menjadikan isu Israel sebagai Isu Yahudi. Bahkan oleh sebagian, zionisme itu sendiri adalah agama Yahudi itu juga.
Baca juga: Tetap Berkomitmen Beri Dukungan, Palestina: Terima Kasih Indonesia
Konsekuensinya ketika komunitas Muslim menyampaikan resistensi kepada Israel atau kebijakan pemerintah Israel, maka resistensi itu akan dipahami sebagai kebencian kepada masyarakat Yahudi. Demikian pula ketika masyarakat Muslim mengeritik Zionisme maka hal itu bisa dipahami sebagai kritikan kepada masyarakat Yahudi.
Di Amerika, serangan kepada Yahudi, yang dikenal dengan anti semitisme, sudah disahkan oleh UU sebagai kejahatan (crime). Sehingga dengan sendirinya kritikan kepada Israel bisa dipahami sebagai anti semitisme yang dipahami sebagai tindakan kejahatan.
Sebaliknya bagi Komunitas Muslim Amerika, isu Palestina, khususnya Jerusalem dan Masjidil Aqsa, adalah masalah agama. Jerusalem adalah kota suci ketiga Umat Islam. Dan Masjid Al-Aqsa adalah “masraa” (tempat persinggahan Isra dan Mi’raj) Rasulullah SAW. Dan karenanya membiarkannya terjajah menjadi seolah membiarkan agama direndahkan oleh orang lain.
Dengan kenyataan seperti itu, komunitas Muslim Amerika mengambil sikap yang berhati-hati, imbang dan penuh perhitungan. Di satu sisi tetap membangun kekritisan dan resistensi kepada penjajahan dan kebijakan pemerintahan Israel yang seringkali penuh ketidakadilan dan represif. Namun di sisi lain sadar bahwa sikap itu boleh jadi membawa konskuensi yang kurang nyaman.
Hal lain yang menjadi pertimbangan bagi masyarakat Muslim adalah kenyataan bahwa secara domestik di Amerika masyarakat Yahudi banyak yang bersahabat, bahkan memberikan dukungan dan pembelaan bagi warga Muslim Amerika melawan Islamophobia yang meninggi.
Baca juga: RI Gelontorkan Rp. 32 Miliar untuk Bantu Palestina Hadapi Pandemi Covid-19
Kenyataan itu semakin jelas di zaman pemerintahan Donald Trump. Bahkan, terjadi sebuah paradoks nyata. Di satu sisi Donald Trump memberikan pembelaan kepada Yahudi Israel dengan mengakui Jerusalem sebagai Ibu kota, bahkan memindahkan Kedutaan Amerika ke Jerusalem. Tapi di sisi lain, dengan karakter Nazis (white supremacy) Yahudi banyak mendapat serangan di Amerika.
Kenyataan dalam negeri Amerika itulah yang menjadikan komunitas Muslim dan Yahudi kemudian membangun relasi yang cukup baik. Kedua Komunitas mengalami tekanan yang luar biasa. Islamophobia dan Anti Semitisme sama-sama meninggi di zaman pemerintahan Donald Trump.
Bahkan, ada sebuah motto yang terbangun di antara kedua komunitas itu. Yaitu “fighting for one another”. Artinya masyarakat Muslim tidak tanggung-tanggung membela Yahudi saat diserang oleh anti Semitic. Dan masyarakat Yahudi juga tidak ragu-ragu membela warga Muslim saat diserang oleh para Islamophobik.
Itulah yang terjadi di tahun 2017 lalu. Saat itu Donald Trump mengeluarkan aturan yang sangat tidak populer, Muslim Ban. Pada saat itu saya memimpin demonstrasi besar-besaran bersama teman saya, Rabbi Marc Shcneier dan Russel Simmons (Hollywood figure) di Time Square dengan tema "Today I am a Muslim too".
Saya sendiri memang banyak terlibat dalam dialog Muslim-Yahudi ini sejak tragedi 9/11 di tahun 2001 lalu. Bahkan menulis buku “Sons of Abraham” bersama seorang Rabbi Schneier, serta keliling Amerika bahkan ke beberapa negara untuk mengkampanyekan pentingnya Dialog Yahudi-Muslim.
Satu contoh kolaborasi kami yang nyata adalah pemberhentian pelarangan penyembelian “halal dan kosher” oleh Konsil Eropa (European Council) di tahun 2013 lalu. Saat itu teman saya, Rabbi Schneier dan saya, ke Austria berbicara di Parlemen Austria tentang Halal dan Kosher. Kami diterima oleh tokoh-tokoh agama, dan juga para politisi di negara itu.
Kini buku yang kami berdua tulis itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Anak-Anak Ibrahim: isu-isu yang menyatukan dan memisahkan Yahudi dan Muslim”. Saat ini juga sedang diproses penerjemahannya ke dalam bahasa Arab, Hebrew, dan Rusia.
Intinya, permasalahan Palestina-Israel bagi kami warga Muslim Amerika akan terus disikapi secara kritis. Tapi semua itu tidak akan mengurangi upaya kami untuk terus membangun komunikasi dan dialog dengan masyarakat Yahudi. Tentu dengan pertimbangan bahwa baik kekritisan atau sebaliknya dialog bertujuan untuk mendukung kepentingan (interest) umat dan kemanusiaan secara umum.
Lalu, bagaimana menyikapi masalah Palestina yang nampaknya semakin suram belakangan ini? Apakah sikap imbang Komunitas Muslim itu justeru sejalan dengan keputusan sebagian negara-negara mayoritas Islam membangun hubungan dengan Israel?
Atau jangan-jangan memang masanya mencoba berpikir lebih jernih, jauh dari sikap emosi, dan melihat jika perjuangan untuk mendukung Palestina memerlukan alternatif lain?
Tunggu di tulisan selanjutnya! (Bersambung)
(zik)