Pemerintah Genapkan Modal LPI Rp30 Triliun
loading...
A
A
A
PEMERINTAH memastikan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWF) yang baru seumur jagung akan mengantongi permodalan sebesar Rp30 triliun pada tahun ini. Sebelumnya, lembaga yang resmi dihadirkan pada 14 Desember tahun lalu dengan payung hukum Peraturan Pemerintah (Permen) No 74 Tahun 2020 diberi nama Indonesia Investment Authority (INA), telah mendapat suntikan modal awal Rp15 triliun yang berasal dari APBN.
Adapun modal tambahan INA bersumber dari pos cadangan pembiayaan investasi sebesar Rp33 triliun. Dari dana tersebut, pemerintah mengalokasikan Rp15 triliun untuk INA, dan sebanyak Rp18 triliun digunakan pembiayaan proyek nasional jalan tol Trans Sumatera tahap pertama. Dengan demikian, kewajiban pemerintah untuk menyuntik INA masih tersisa Rp45 triliun dari total modal awal INA sebesar Rp75 triliun yang telah disepakati.
Dalam dua tahun ke depan, pemerintah optimistis dapat menarik investasi hingga USD20 miliar atau setara Rp280 triliun dengan kurs sekitar Rp14.000 per dolar AS. Kuncinya, terletak pada kualitas aset yang ditawarkan oleh pemerintah sebagai sarana investasi. Namun sampai saat ini pemerintah masih membahas proyek apa saja yang akan ditawarkan. Sementara itu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengklaim sejumlah investor global bersiap menanamkan modal pada INA.
Dia menyebut dana yang siap mengalir ke INA dalam waktu dekat tak kurang dari USD9,5 miliar atau setara Rp133 miliar pada kurs Rp 14.000 per dolar AS. Di antaranya, United States International Development Finance Corporation (USDFC), Japan Bank of International Cooperation (JBIC), dan Caisse de depot et placement du Quebec (CDBQ), serta APG-Netherland. Airlangga meyakini iklim investasi nasional semakin baik ke depan, menyusul hadirnya Undang Undang (UU) No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Setidaknya terdapat empat alasan dari pemerintah dalam menghadirkan LPI, sebagaimana dibeberkan Menkeu, Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI. Pertama, guna mengejar kebutuhan anggaran pembangunan infrastruktur. Dalam RPJM 2020 – 2024, target pembiayaan infrastruktur mencapai Rp6.445 triliun. Dibutuhkan sejumlah inovasi untuk meraih nilai anggaran yang cukup besar itu. Kedua, mitra investor yang kuat. Selama ini, banyak investor baik dalam negeri maupun dalam negeri berminat tanam investasi, namun tidak terealisasi karena tanpa mitra strategis calon investor. Ketiga, sumber pendapatan negara. Pemerintah meyakini LPI bisa menambang dividen maksimal 30% kepada negara. Dengan catatan akumulasi laba LPI ditahan mencapai 50% dari modal awal. Keempat, sebagai motor pertumbuhan ekonomi.
Ibaratnya, kehadiran INA salah satu upaya membuka keran investasi lebih luas untuk mewujudkan pembangunan lebih merata di negeri ini
Untuk tahap awal, pembiayaan akan difokuskan pada aset infrastruktur, seperti jalan tol, bandara hingga pelabuhan. Selain itu, terbuka ruang untuk sektor teknologi. Seperti diketahui, saat ini PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) sedang melakukan restrukturisasi yang berencana melepas anak usaha. Dan, investor juga diberi jalan masuk ke PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Tbk yang baru saja terbentuk. Bank hasil merger dari tiga bank syariah pelat merah itu dipastikan membutuhkan permodalan lebih besar lagi. Apalagi BSI digadang-gadang masuk menjadi 10 bank syariah terbesar di dunia.
Lalu, bagaimana jaminan keamanan para investor yang bersedia menggelontorkan dananya melalui INA? Pemerintah menjamin keamanan investor melalui Standard Operating Procedure (SOP) yang ketat dan memilih orang-orang yang tepat dalam pengelolaan INA.
Pemerintah mengakui bahwa pembentukan LPI sebenarnya terlambat dibandingkan sejumlah negara, seperti Rusia yang memiliki Russian Direct Investment Fund. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, yang terpenting bagaimana bisa menarik investor secara besar-besaran untuk membiayai pembangunan demi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Adapun modal tambahan INA bersumber dari pos cadangan pembiayaan investasi sebesar Rp33 triliun. Dari dana tersebut, pemerintah mengalokasikan Rp15 triliun untuk INA, dan sebanyak Rp18 triliun digunakan pembiayaan proyek nasional jalan tol Trans Sumatera tahap pertama. Dengan demikian, kewajiban pemerintah untuk menyuntik INA masih tersisa Rp45 triliun dari total modal awal INA sebesar Rp75 triliun yang telah disepakati.
Dalam dua tahun ke depan, pemerintah optimistis dapat menarik investasi hingga USD20 miliar atau setara Rp280 triliun dengan kurs sekitar Rp14.000 per dolar AS. Kuncinya, terletak pada kualitas aset yang ditawarkan oleh pemerintah sebagai sarana investasi. Namun sampai saat ini pemerintah masih membahas proyek apa saja yang akan ditawarkan. Sementara itu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengklaim sejumlah investor global bersiap menanamkan modal pada INA.
Dia menyebut dana yang siap mengalir ke INA dalam waktu dekat tak kurang dari USD9,5 miliar atau setara Rp133 miliar pada kurs Rp 14.000 per dolar AS. Di antaranya, United States International Development Finance Corporation (USDFC), Japan Bank of International Cooperation (JBIC), dan Caisse de depot et placement du Quebec (CDBQ), serta APG-Netherland. Airlangga meyakini iklim investasi nasional semakin baik ke depan, menyusul hadirnya Undang Undang (UU) No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Setidaknya terdapat empat alasan dari pemerintah dalam menghadirkan LPI, sebagaimana dibeberkan Menkeu, Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI. Pertama, guna mengejar kebutuhan anggaran pembangunan infrastruktur. Dalam RPJM 2020 – 2024, target pembiayaan infrastruktur mencapai Rp6.445 triliun. Dibutuhkan sejumlah inovasi untuk meraih nilai anggaran yang cukup besar itu. Kedua, mitra investor yang kuat. Selama ini, banyak investor baik dalam negeri maupun dalam negeri berminat tanam investasi, namun tidak terealisasi karena tanpa mitra strategis calon investor. Ketiga, sumber pendapatan negara. Pemerintah meyakini LPI bisa menambang dividen maksimal 30% kepada negara. Dengan catatan akumulasi laba LPI ditahan mencapai 50% dari modal awal. Keempat, sebagai motor pertumbuhan ekonomi.
Ibaratnya, kehadiran INA salah satu upaya membuka keran investasi lebih luas untuk mewujudkan pembangunan lebih merata di negeri ini
Untuk tahap awal, pembiayaan akan difokuskan pada aset infrastruktur, seperti jalan tol, bandara hingga pelabuhan. Selain itu, terbuka ruang untuk sektor teknologi. Seperti diketahui, saat ini PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) sedang melakukan restrukturisasi yang berencana melepas anak usaha. Dan, investor juga diberi jalan masuk ke PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Tbk yang baru saja terbentuk. Bank hasil merger dari tiga bank syariah pelat merah itu dipastikan membutuhkan permodalan lebih besar lagi. Apalagi BSI digadang-gadang masuk menjadi 10 bank syariah terbesar di dunia.
Lalu, bagaimana jaminan keamanan para investor yang bersedia menggelontorkan dananya melalui INA? Pemerintah menjamin keamanan investor melalui Standard Operating Procedure (SOP) yang ketat dan memilih orang-orang yang tepat dalam pengelolaan INA.
Pemerintah mengakui bahwa pembentukan LPI sebenarnya terlambat dibandingkan sejumlah negara, seperti Rusia yang memiliki Russian Direct Investment Fund. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, yang terpenting bagaimana bisa menarik investor secara besar-besaran untuk membiayai pembangunan demi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
(bmm)