Ekspansi Modal Picu 'Ocean Grabbing'

Kamis, 11 Februari 2021 - 05:05 WIB
loading...
A A A
Kedua, UU Cipta Kerja telah menghapus RZWP3K tingkat provinsi dan kabupaten/kota, RSWP3K, RPWP3K, RAPWP3K, dan Rencana Zonasi Rinci. Dengan dihapusnya dokumen-dokumen tersebut, maka alternatif pengganti untuk mempertahankan fungsi dari dokumen-dokumen tersebut tinggal Rencana Zonasi Wilayah Pengelolaan dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang merupakan kewenangan pemerintah pusat. Walaupun demikian, partisipasi publik yang diwajibkan dalam penyusunan RZWP3K sudah dipastikan terkendala terkait dengan jangkauan yang semakin jauh dan sulit bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam penyusunan dan perencanaan di tingkat pemerintah pusat.

Ketiga, perubahan status zona inti pada kawasan konservasi nasional dalam UU Cipta Kerja telah diubah kewenangannya menjadi kewenangan pemerintah pusat, yang sebelumnya menjadi kewenangan menteri. Artinya, UU Cipta Kerja telah memberikan wewenang seluas-luasnya kepada pemerintah pusat untuk mengubah status zona inti pada kawasan konservasi dengan alasan kebijakan nasional strategis guna kepentingan iklim usaha.

Efek Domino “Ocean Grabing”
Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting dari ekspansi modal besar-besaran yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah memicu terjadinya ocean grabbing melalui proyek reklamasi untuk memperoleh lahan baru. Pertama, terkait ocean grabbing akibat dari pelaksanaan proyek reklamasi telah menunjukkan kepada kita bahwa Indonesia memiliki pengelolaan yang buruk terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal tersebut ditandai dengan keterlibatan masyarakat lokal/adat sangat minim serta perencanaan pembangunan yang tidak terencana dengan baik.

Dengan demikian, mengindikasikan bahwa kegiatan ekspansi modal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hanya difasilitasi sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan para pemangku kepentingan yang ada (masyarakat lokal/adat). Pada akhirnya kita ketahui bahwa pelaksanaan reklamasi yang memicu timbulnya ocean grabbing dilaksanakan secara terselubung dan dipermulus dengan pemberian dukungan melalui UU Cipta Kerja yang terlihat jelas di mana terkait pengaturan ruang hanya diperuntukkan memfasilitasi para pemilik modal untuk melakukan ekspansi modal.

Kedua, terusir dan terampasnya hak hidup serta identitas masyarakat lokal/adat dari ruang dan sumber daya laut yang telah diprivatisasi oleh pemilik modal. Hal tersebut tentu berdampak terhadap mata pencaharian dan kondisi sosial kehidupan masyarakat lokal/adat, seperti jumlah tangkapan yang semakin menurun, hilangnya daerah tangkapan (fishing ground), penurunan pendapatan, meningkatnya biaya operasional akibat semakin jauhnya daerah penangkapan, serta hilangnya identitas dan budaya masyarakat karena ketidakmampuan mereka untuk bertahan.

Ketiga, kerusakan lingkungan yang masif terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikarenakan terganggunya keseimbangan ekosistem yang merupakan dampak dari perubahan bentang alam yang terjadi. Seperti kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun, dan terumbu karang), sedimentasi yang semakin parah, perubahan pola arus, menurunnya salinitas, dan terjadinya kekeruhan air akibat pengerukan serta penimbunan menggunakan pasir laut. Hal tersebut jelas-jelas telah merusak ekosistem pesisir yang berakibat sangat fatal bagi kehidupan biota yang ada. Kondisi tersebut secara akal sehat jelas tidak menguntungkan sama sekali, baik untuk masyarakat maupun lingkungan.

Terkait ekspansi modal besar-besaran akibat dari kebutuhan lahan baru di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah menimbulkan fenomena ocean grabbing yang jelas berdampak negatif, baik terhadap kehidupan masyarakat lokal/adat maupun bagi lingkungan pesisir. Hemat penulis, pemerintah harus berpikir jernih dan benar-benar berdiri untuk kepentingan masyarakat, bukan malah sebaliknya, bersanding sangat harmonis dengan para pemilik modal. Artinya, pemerintah harus mengkaji ulang semua bentuk kebijakan yang telah membiarkan para pemilik modal dengan gampangnya melakukan penguasaan (privatisasi) ruang dan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil lewat ekspansi modal besar-besaran.

Jika pemerintah cuek dan terkesan tutup mata-telinga, maka dapat dipastikan masyarakat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia akan mengalami bentuk nyata dari penjajahan pada era disrupsi saat ini. Di mana masyarakat lokal/adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terjajah secara langsung, baik itu oleh pemerintahnya sendiri maupun pihak asing, dalam hal ini pemilik modal.
(bmm)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1400 seconds (0.1#10.140)