Ekspansi Modal Picu 'Ocean Grabbing'
loading...
A
A
A
Muhammad Qustam Sahibuddin
Peneliti PKSPL-LPPM IPB University
MARAKNYA kegiatan investasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memberikan pertanda bahwa adanya aktivitas ekspansi modal besar-besaran yang memaksa pada pembentukan ruang baru (daratan) guna memperoleh keuntungan yang besar dari potensi sumber daya yang dimiliki oleh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di samping itu, juga dukungan dan jaminan dari pemerintah melalui Undang-Undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang disahkan 5 Oktober 2020 bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang berkualitas dan mempermudah proses investasi di Indonesia.
Berkembangnya kegiatan investasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menandakan bahwa wilayah tersebut memiliki potensi besar untuk dikembangkan di masa depan baik untuk kegiatan wisata maupun pusat perekonomian baru.
Kegiatan investasi pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia dilakukan guna memperoleh ruang baru dalam bentuk lahan dengan jalan reklamasi, baik itu reklamasi di wilayah pantai maupun perairan dangkal. Anggalih Bayu dan Muh Kamin 2020, menyebutkan bahwa Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) telah mencatat sebanyak 41 kegiatan reklamasi yang telah dilakukan di Indonesia untuk kepentingan investasi. Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjelaskan, terdapat 37 lokasi yang sudah direncanakan akan dikembangkan melalui kegiatan reklamasi, 17 di antaranya telah berjalan (Himawan dan Tolen, 2016).
Reklamasi sendiri menurut Peraturan Menteri Perhubungan No PM 52/2011 adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan atau kontur kedalaman perairan yang ada. Tentunya kegiatan reklamasi mengubah bentang alam yang ada serta berdampak buruk terhadap ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Di samping dampak buruk terhadap ekosistem, kegiatan reklamasi menciptakan keterbatasan akses masyarakat lokal terhadap ruang baru tersebut dan sumber daya yang ada. Dengan kata lain, ekspansi modal besar-besaran di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukkan adanya fenomena ocean grabbing.
“Ocean Grabbing”
Ocean grabbing menurut Bennet et al 2015, adalah tindakan pengambilan kontrol, akses, dan penguasaan ruang perairan laut dari penggunaan sebelumnya (masyarakat lokal/adat) kepada pemegang hak yang lain (pengusaha/pemilik modal). Artinya, telah terjadi tindakan perampasan hak-hak masyarakat pesisir atas ruang dan sumber daya yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Dengan demikian, pemanfaatan, pengontrolan, dan serta akses sudah berpindah tangan dari masyarakat lokal/adat kepada pemilik modal/pengusaha.
Tentunya ocean grabbing merupakan bentuk penjajahan yang nyata pada saat ini, di mana masyarakat secara langsung dipaksa kehilangan akses terhadap ruang serta sumber daya yang selama ini mereka andalkan untuk kegiatan ekonomi sehari-hari. Lebih lanjut dijelaskan oleh Bennet et al 2015, ocean grabbing terjadi akibat dari proses tata kelola yang tidak tepat, melalui tindakan yang secara sengaja melemahkan, baik dari segi keamanan maupun kehidupan manusia (masyarakat), sehingga berdampak pada menurunnya kesejahteraan sosial serta kerusakan ekologi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga publik (negara) maupun kelompok kepentingan pribadi (pemodal).
Dalam konteks ocean grabbing akibat ekspansi modal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bermuara pada maraknya kegiatan reklamasi yang dilakukan, mengindikasikan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat rentan sekali dijadikan objek eksploitasi untuk memperoleh keuntungan tanpa memedulikan kepentingan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan. Kebijakan pemerintah yang selalu mendukung dan memfasilitasi para pemilik modal untuk melakukan ekspansi modal guna memperoleh lahan baru merupakan pemicu utama dari terjadinya ocean grabbing di Indonesia.
Belum lama ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan berupa UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang menurut penulis merupakan bagian dari dukungan pemerintah terhadap para pemilik modal untuk mempermudah melakukan eksploitasi besar-besaran di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ada beberapa catatan terkait UU Cipta Kerja yang menjadi pelicin guna memuluskan para pemilik modal yang haus akan kebutuhan lahan baru untuk melakukan reklamasi yang merupakan pemicu terjadinya ocean grabbing di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pertama, Pasal 17A ayat 1 dan 2 UU Cipta Kerja memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menerbitkan perizinan berusaha, meskipun alokasi ruang serta rencana tata ruang dan rencana zonasi belum ada untuk kegiatan yang ditetapkan sebagai kebijakan nasional strategis. Dalam hal ini kita ketahui bahwa rencana tata ruang memiliki peran yang sangat penting agar pengelolaan ruang terlaksana dengan bijaksana sehingga keberlanjutannya dapat terjaga demi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Jadi, jika kegiatan pemanfaatan yang dilakukan tanpa mengacu pada rencana tata ruang sudah tentunya berpotensi tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem yang berdampak pada masyarakat di wilayah tersebut.
Peneliti PKSPL-LPPM IPB University
MARAKNYA kegiatan investasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memberikan pertanda bahwa adanya aktivitas ekspansi modal besar-besaran yang memaksa pada pembentukan ruang baru (daratan) guna memperoleh keuntungan yang besar dari potensi sumber daya yang dimiliki oleh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di samping itu, juga dukungan dan jaminan dari pemerintah melalui Undang-Undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang disahkan 5 Oktober 2020 bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang berkualitas dan mempermudah proses investasi di Indonesia.
Berkembangnya kegiatan investasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menandakan bahwa wilayah tersebut memiliki potensi besar untuk dikembangkan di masa depan baik untuk kegiatan wisata maupun pusat perekonomian baru.
Kegiatan investasi pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia dilakukan guna memperoleh ruang baru dalam bentuk lahan dengan jalan reklamasi, baik itu reklamasi di wilayah pantai maupun perairan dangkal. Anggalih Bayu dan Muh Kamin 2020, menyebutkan bahwa Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) telah mencatat sebanyak 41 kegiatan reklamasi yang telah dilakukan di Indonesia untuk kepentingan investasi. Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjelaskan, terdapat 37 lokasi yang sudah direncanakan akan dikembangkan melalui kegiatan reklamasi, 17 di antaranya telah berjalan (Himawan dan Tolen, 2016).
Reklamasi sendiri menurut Peraturan Menteri Perhubungan No PM 52/2011 adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan atau kontur kedalaman perairan yang ada. Tentunya kegiatan reklamasi mengubah bentang alam yang ada serta berdampak buruk terhadap ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Di samping dampak buruk terhadap ekosistem, kegiatan reklamasi menciptakan keterbatasan akses masyarakat lokal terhadap ruang baru tersebut dan sumber daya yang ada. Dengan kata lain, ekspansi modal besar-besaran di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukkan adanya fenomena ocean grabbing.
“Ocean Grabbing”
Ocean grabbing menurut Bennet et al 2015, adalah tindakan pengambilan kontrol, akses, dan penguasaan ruang perairan laut dari penggunaan sebelumnya (masyarakat lokal/adat) kepada pemegang hak yang lain (pengusaha/pemilik modal). Artinya, telah terjadi tindakan perampasan hak-hak masyarakat pesisir atas ruang dan sumber daya yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Dengan demikian, pemanfaatan, pengontrolan, dan serta akses sudah berpindah tangan dari masyarakat lokal/adat kepada pemilik modal/pengusaha.
Tentunya ocean grabbing merupakan bentuk penjajahan yang nyata pada saat ini, di mana masyarakat secara langsung dipaksa kehilangan akses terhadap ruang serta sumber daya yang selama ini mereka andalkan untuk kegiatan ekonomi sehari-hari. Lebih lanjut dijelaskan oleh Bennet et al 2015, ocean grabbing terjadi akibat dari proses tata kelola yang tidak tepat, melalui tindakan yang secara sengaja melemahkan, baik dari segi keamanan maupun kehidupan manusia (masyarakat), sehingga berdampak pada menurunnya kesejahteraan sosial serta kerusakan ekologi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga publik (negara) maupun kelompok kepentingan pribadi (pemodal).
Dalam konteks ocean grabbing akibat ekspansi modal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bermuara pada maraknya kegiatan reklamasi yang dilakukan, mengindikasikan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat rentan sekali dijadikan objek eksploitasi untuk memperoleh keuntungan tanpa memedulikan kepentingan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan. Kebijakan pemerintah yang selalu mendukung dan memfasilitasi para pemilik modal untuk melakukan ekspansi modal guna memperoleh lahan baru merupakan pemicu utama dari terjadinya ocean grabbing di Indonesia.
Belum lama ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan berupa UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang menurut penulis merupakan bagian dari dukungan pemerintah terhadap para pemilik modal untuk mempermudah melakukan eksploitasi besar-besaran di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ada beberapa catatan terkait UU Cipta Kerja yang menjadi pelicin guna memuluskan para pemilik modal yang haus akan kebutuhan lahan baru untuk melakukan reklamasi yang merupakan pemicu terjadinya ocean grabbing di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pertama, Pasal 17A ayat 1 dan 2 UU Cipta Kerja memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menerbitkan perizinan berusaha, meskipun alokasi ruang serta rencana tata ruang dan rencana zonasi belum ada untuk kegiatan yang ditetapkan sebagai kebijakan nasional strategis. Dalam hal ini kita ketahui bahwa rencana tata ruang memiliki peran yang sangat penting agar pengelolaan ruang terlaksana dengan bijaksana sehingga keberlanjutannya dapat terjaga demi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Jadi, jika kegiatan pemanfaatan yang dilakukan tanpa mengacu pada rencana tata ruang sudah tentunya berpotensi tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem yang berdampak pada masyarakat di wilayah tersebut.