Lansia Makin Merana

Kamis, 11 Februari 2021 - 05:50 WIB
loading...
Lansia Makin Merana
Kaum lanjut usia termasuk kelompok berisiko mengalami gangguan kesehatan mental di masa pandemi. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Kaum lansia (lanjut usia) rawan terkena gangguan mental di masa pandemi Covid-19 ini. Penyebabnya antara lain perasaan terasing karena harus “ di rumah saja ” dan riwayat penyakit penyerta yang bisa memperparah mereka jika terpapar Covid-19.

Lanjut usia merupakan salah satu kelompok yang rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Beberapa penyebab di antaranya pertambahan usia individu yang mengalami terjadinya penurunan fungsi tubuh, keterbatasan dalam beraktivitas, hingga kehilangan orang-orang terdekat dalam hidupnya. Keadaan ini diperparah dengan kondisi pandemi yang sudah berlangsung nyaris setahun dan belum tahu kapan berakhirnya. Kondisi ini berpotensi menyebabkan untuk mengalami gangguan mental pada mereka uang berusia lanjut.

“Sejak pandemi Covid-19, 2 dari 5 lansia mengalami gangguan jiwa. Pembatasan sosial meningkatkan isolasi sosial dan rasa kesepian pada lansia selama pandemi,” ungkap dokter spesialis kesehatan jiwa RSUI dr Gina Anindyajati, Sp.KJ dalam sambungan telepon.



Ya, angka gangguan kesehatan mental pada lansia meningkat. Gangguan kesehatan mental ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti perasaan terasingkan karena tidak boleh keluar rumah atau cemas dan takut terinfeksi virus.

Fenomena itu pun dibenarkan oleh Dr dr Kuntjoro Harimurti, SpPD-KGer, MSc. Ini didasarkan pada pasien yang ditemuinya selama pandemi Covid-19, di mana kebanyakan lansia mengeluh kondisi psikis yang menjadi permasalahan utama. Gangguan jiwa yang dimaksud banyak jenisnya, akan tetapi yang sering dialami lansia adalah depresi dan kecemasan.

"Kecemasan terkait dengan kekhawatiran terutama pada Covid-19. Sebab, mereka pasti sudah tahu kalau lebih rentan terinfeksi dan mengalami penyakit yang berat. Karena itulah mereka menjadi lebih cemas. Sementara depresi muncul dari kecemasan berlebihan. Mereka merasa tidak berdaya dengan pandemi ini ditambah dengan adanya pembatasan sosial,” ujar konsultan geriatri ini kepada KORAN SINDO.



Untuk pemeriksaan tekanan darah atau gula darah bisa dilakukan secara mandiri. Tapi, untuk pemeriksaan HbA1C (tes darah untuk mendiagnosis diabetes melitus tipe serta mengevaluasi efektivitas terapi diabetes) harus dilakukan tiga bulan sekali di rumah sakit. Alternatif lain adalah memanfaatkan layanan telemedicine (konsultasi via online) yang sudah banyak ditawarkan rumah sakit swasta sejak pandemi.

“Kadang lansia hanya butuh bicara dengan dokternya. Kalau sudah ngobrol, ini cukup untuk menenangkan mereka. Kalau hanya ambil obat saja, mereka belum puas,” katanya.

Guna mengurangi kekhawatiran terhadap penularan Covid-19, sebaiknya keluarga yang tinggal bersama lansia benar-benar mematuhi protokol kesehatan sehingga dapat menekan rasa cemas akan tertular pada lansia. Jika ingin berkunjung ke rumah nenek atau kakek di masa pandemi ini, protokol kesehatan mutlak dijalankan.

“Manusia makhluk sosial, bertemu dengan sanak keluarga pasti sangat penting bagi para lansia terutama di masa pandemi,” ujar dr Kuntjoro. Mengingat lansia butuh untuk ditemani dan dihibur sehingga mereka merasa bahagia dan berharga dan jauh dari gangguan kesehatan mental.

Lansia dan Covid-19
Perlu diketahui, lansia yang terkonfirmasi positif Covid-19 tidak memiliki gejala yang khas. Gejala seperti batuk, sesak napas, atau hilangnya indera penciuman dan perasa bisa tidak muncul pada lansia maupun komorbid.

“Lansia dan komorbid perlu perhatian khusus karena gejalanya yang khas seperti nafsu makan hilang tiba-tiba, terjadi perubahan perilaku yang tidak biasa, hingga hilangnya kesadaran,” kata Dr dr Czeresna Heriawan Soejono, Sp.PD K.Ger. Penyakit penyerta yang dialami juga semakin memperburuk keadaan lansia.

Lebih jauh, data WHO menyebutkan, lebih dari 95% kematian akibat virus korona terjadi pada penduduk usia lebih dari 60 tahun. Lebih dari 50% dari semua kematian melibatkan terjadi pada mereka yang berusia 80 tahun atau lebih.

Dipaparkan oleh dr Irandi Putra Pratomo, Ph.D, Sp.P(K), FAPSR, Covid-19 menyebabkan komplikasi fungsi saraf. Masalah neurologis atau kemampuan berpikir yang timbul akibat penyakit tersebut lebih rentan menyerang kelompok usia 51-60 tahun.

“Kelompok usia ini rentan mengalami gejala psikiatri atau kejiwaan. Tapi, lebih rentan lagi golongan usia 71-80 tahun, di mana mereka mengalami masalah psikiatri atau gangguan jiwa dan masalah susunan saraf besar di otak,” papar dr Irandi.

Temuan ini merujuk pada penelitian di Inggris yang dipublikasikan di The Lancet, Oktober 2020. Para peneliti yang tergabung dalam Membership of the Royal Colleges of Physicians (MRCP) Inggris dan beberapa peneliti lainnya mengatakan penelitian tersebut adalah penelitian pertama tentang komplikasi Covid-19 terhadap sistem saraf.

Penelitian menemukan adanya komplikasi neurologi dan neuropsikiatrik terhadap 153 pasien di negara tersebut. Sebanyak 77 dari 125 pasien (yang datanya lengkap) mengalami peristiwa serebrovaskular di mana 57 di antaranya alami stroke iskemik dan sembilan menderita stroke hemoragik.

Sementara 39 dari 125 pasien mengalami perubahan status mental di mana 23% di antaranya menderita ensefalopati (istilah yang luas untuk setiap penyakit otak yang mengubah fungsi atau struktur otak) dan 18% pasien menderita peradangan sistem saraf pusat. Masih terkait gangguan saraf, penelitian lain yang dilakukan di bulan Agustus 2020, peneliti memeriksa kondisi penyintas Covid-19 dan menemukan terjadi penuaan dini pada area otak serta saluran saraf mengalami penurunan fungsi.



“Penelitian ini di-follow up setelah tiga bulan, ternyata ada gangguan saraf termasuk anosmia dan mungkin juga ada gangguan otak,” kata spesialis paru di RSUI yang juga merupakan lulusan FKUI dan Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di RSUI ini.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1623 seconds (0.1#10.140)