Jatah Menteri Menyandera Parpol Koalisi, Balik Badan soal RUU Pemilu

Senin, 08 Februari 2021 - 19:04 WIB
loading...
Jatah Menteri Menyandera...
Parpol koalisi pemerintahan Jokowi tak mau kehilangan jatah menteri sehingga menarik diri dari usulan pembahasan perubahan UU Pemilu. Foto/ilustrasi.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Sejumlah partai politik ( parpol ) koalisi pemerintah seperti Partai Golkar, Partai Nasdem dan PKB mendadak mundur dari usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu tentang perubahan UU Pemilu Nomor 7/2017 dan UU Pilkada Nomor 6/2010. Padahal, 9 parpol di Komisi II DPR awalnya kompak ingin mengubah kedua UU tersebut

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi berpandangan bahwa para politisi ini bersikap atas sesuatu yang rasional, berupa insentif yang akan didapat parpol. Apalagi penolakan ini semakin jelas tatkala Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan penolakannya untuk merevisi UU Pemilu.

"Nah insentif buat parpol yaitu dukungan publik, insentif buat presiden juga dukungan publik. Tapi pertanyaannya adalah seberapa besar insentif dukungan elektoral tadi," kata Burhanuddin dalam rilis survei yang bertajuk “Aspirasi Publik Terkait Undang-Undang Pemilu dan Pilkada” secara daring, Senin (8/2/2021).

(Baca: Penolakan RUU Pemilu Dinilai Politis, Beban Penyelenggara Diabaikan)

Burhan menjelaskan, insentif dukungan elektoral itu tidak ada lagi bagi Jokowi sejak terpilih sebagai presiden untuk periode kedua ini. Jadi, untuk mendapatkan atau merayu publik, itu tidak sebesar insentif yang dimiliki Jokowi menjelang Pemilu 2019.

Sementara buat parpol, sambung dia, mereka akan tetap bertarung di 2024. Partai pendukung Jokowi masih punya insentif mencari dukungan pemilih. Masalahnya, Pemilu 2024 masih lama. Parpol pendukung pemerintah seperti PDIP, Golkar, Nasdem dan PKB menyadari bahwa hal yang berkaitan dengan RUU Pemilu ini juga tidak populer.

"Sebagian besar kan masyarakat tdak setuju dengan beberapa isu yang digulirkan, termasuk soal pilkada 2024. Tetapi jangan lupa, memori pemilih kita kan pendek, jadi mungkin itu yang membuat insentif tadi (dukungan publik) lebih berkurang, untuk mengikuti aspirasi publik," terangnya.

Sementara, kata Burhan, ada insentif yang lebih jelas dari Jokowi sebagai parpol pendukung, tentu saja jatah menteri untuk parpol koalisi. Kesamaan sikap atau ketaatan pada arahan Jokowi tentu akan menjadi pertimbangan terkait hal ini.

"Sementara insentif untuk taat kepada presiden, jelas. Apa insentifnya? ya menteri. Jadi menterinya tetap, syukur-syukur ditambah kalau taat. Jadi itu insentif yang jelas, kalau insentif 2024 masih jauh," bebernya.

(Baca: Takut Tersingkir Jadi Alasan Partai Besar dan Kecil Tolak RUU Pemilu)

"Jadi kalau sekarang gak sesuai aspirasi publik, masih ada waktu sembari memanfaatkan memori pemilih yang pendek," imbuh Burhan.

Dengan demikian, Burhan menambahkan, soal siapa yang paling diuntungkan atau dirugikan dengan jadwal Pilkada Serentak tetap 2024, tentu rakyat paling dirugikan, karena pemilihan harus ditunda 2 tahun dan kepala daerah ditunjuk tidak legitimate karena diduduki penjabat (pj) kepala daerah.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun ikut dirugikan dengan desai pemilu dan pilkada pada hari ini.

"Saya tidak yakin KPU bisa melaksanakan pemilu secara serentak di tahun yang sama untuk pileg pilpres dan pilkada. Jadi saya mencoba menghindar siapa yang diuntungkan dengan menjawab siapa yang dirugikan," pungkasnya.
(muh)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1652 seconds (0.1#10.140)