Penolakan RUU Pemilu Dinilai Politis, Beban Penyelenggara Diabaikan

Minggu, 07 Februari 2021 - 19:48 WIB
loading...
Penolakan RUU Pemilu Dinilai Politis, Beban Penyelenggara Diabaikan
Kesepakatan antarfraksi di DPR terkait pembahasan RUU Pemilu yang merevisi UU pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Foto/SINDOnews/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Peneliti Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana merespons kesepakatan antarfraksi di DPR terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang merevisi UU pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.

(Baca juga: Eks Komisioner KPU Sebut Motif Revisi UU Pemilu Jadi Rutinitas)

Menurutnya, beban dan aspirasi penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) seakan diabaikan.

"Seharusnya DPR tidak hanya bersepakat secara politis saja untuk mereka melanjutkan atau tidak terkait dengan revisi Undang-Undang Pemilu, tetapi juga beban penyelenggara, aspirasi penyelenggara pemilu untuk pelaksanaan pemilu serentak 2024 seharusnya juga diikutsertakan, mereka didengar," kata Ihsan dalam webinar yang bertajuk "Maju-Mundur Revisi UU Pemilu", Minggu (7/2/2021).

(Baca juga: Takut Tersingkir Jadi Alasan Partai Besar dan Kecil Tolak RUU Pemilu)

Menurut Ihsan, semestinya sejak awal, perdebatan revisi UU Pemilu sudah melibatkan masukan dan saran dari penyelenggara. Sehingga, perdebatan tidak hanya berkutat pada suara fraksi di DPR, parpol maupun pendapat pemerintah saja.

"Padahal, beban penyelenggara dalam pelaksanaan pemilu sangat bergantung pada revisi UU Pemilu ini. Banyak persoalan terkait penyelenggaraan pemilu yang seharusnya bisa diakomodasi melalui revisi UU Pemilu," ujarnya.

(Baca juga: PBB Apresiasi Langkah Jokowi Tolak Revisi UU Pemilu)

Ihsan menjelaskan, revisi UU Pemilu sepatutnya bukan hanya mempermasalahkan seputar jadwal penyelenggaraan pilkada, sistem pemilu, ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dan ambang batas pencapresan atau presidential threshold yang selalu diperdebatkan selama ini.

Dia membeberkan, banyak persoalan lain yang belum dibenahi, seperti permasalahan proses penegakan hukum pemilu hingga pembentukan lembaga peradilan khusus pemilu. Permasalahan tersebut sebenarnya memang telah diakomodisi melalui sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Jadi setidaknya, ada 15 putusan MK terkait penyelenggaraan pemilu yang seharusnya ditindaklanjuti melalui revisi undang-undang," terang Ihsan.

Oleh karena itu, Ihsan mendorong agar DPR secara cermat menginventarisasi pasal-pasal yang bermasalah dalam UU Pemilu saat ini. Selain itu, ada beberapa ketentuan-ketentuan yang perlu dievaluasi, dibenahi, atau dilengkapi demi mendapatkan desain pelaksanaan pemilu yang optimal, sehingga keputusan mengenai kelanjutan revisi UU Pemilu bisa benar-benar tepat, dan tidak hanya berdasarkan pada alasan politis saja.

"Jangan hanya memberikan narasi bahwa Undang-undang Pemilu dan Undang-undang Pilkada tidak perlu dilakukan revisi karena undang-undangnya misalnya baru dipakai sekali dalam konteks kepemiluan, tetapi tidak punya proyeksi yang cukup untuk mengevaluasi apakah perlu atau tidak dilakukan revisi," tukasnya.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1227 seconds (0.1#10.140)