Cak Imin Perintahkan Fraksi PKB Hentikan Usulan RUU Pemilu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) memerintahkan kepada Fraksi PKB di DPR untuk menghentukan usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang merevisi UU Pemilu Nomor 7/2017 dan UU Pilkada Nomor 10/2016.
(Baca juga: Eks Komisioner KPU Sebut Motif Revisi UU Pemilu Jadi Rutinitas)
"PKB memandang upaya revisi Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, harus mencakup masalah-masalah mendasar yang menjadi temuan kekurangan pada pelaksanaan Pemilu 2019 kemarin," kata Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PKB Luqman Hakim kepada wartawan, Sabtu (6/2/2021).
(Baca juga: Takut Tersingkir Jadi Alasan Partai Besar dan Kecil Tolak RUU Pemilu)
Luqman memaparkan, setidaknya ada 9 persoalan. Pertama, banyaknya penyelenggara pemilu (paling banyak petugas KPPS) meninggal dunia pada pemilu 2019 akibat aturan penghitungan suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara. Kedua, praktik money politic pada pemilu 2019 makin masif dan besar angka rupiahnya jika dibandingkan pemilu 2014 dan 2009.
Ini disebabkan aturan penegakan hukum terhadap praktik money politic yang tidak tegas dan efektif. Ketiga, UU 7/2017 yang mengatur pemilu gagal mencapai tujuan memperkuat sistem presidensialisme dan penyederhanaan partai politik.
"Manuver Presiden Jokowi mengajak kubu Prabowo Subianto ke dalam koalisi pemerintah adalah upaya membangun efektifitas pemerintahan yang gagal dihasilkan pemilu," ujarnya.
(Baca juga: PBB Apresiasi Langkah Jokowi Tolak Revisi UU Pemilu)
Keempat, meskipun partisipasi politik perempuan mengalami banyak kemajuan, aturan pemilu belum cukup kuat memberikan afirmasi kepada kaum perempuan.Aturan pemilu hanya mewajibkan setiap tiga daftar caleg dalam satu daerah pemilihan harus ada unsur perempuan. Kelima, UU Pemilu tidak mengatur kewajiban domisili caleg di daerah pemilihan.
Sehingga hubungan anggota DPR dengan rakyat di daerah pemilihan yang diwakili, kadang menjadi longgar dan mengalami keterputusan.
Keenam, aturan pemilu 2019 belum memberi jaminan adanya persamaan beban pelayanan anggota DPR kepada rakyat yang diwakili secara berimbang. Anggota DPR adalah perwakilan rakyat, bukan mewakili daerah. Wakil kepentingan daerah sudah disediakan jalan melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Celakanya, jumlah rakyat yang harus dilayani kepentingannya oleh setiap anggota DPR tidak mencerminkan perimbangan.
"Contoh, satu kursi DPR dari Kalimantan Utara mewakili kepentingan 256.168 orang penduduk. Bandingkan dengan anggota DPR dari daerah pemilihan di wilayah Provinsi Jawa Barat yang merepresentasikan keterwakilan 548.745 jumlah penduduk," urai Luqman.
Ketujuh, aturan subsidi pembiayaan negara kepada peserta pemilu 2019 berupa pemberian Alat Peraga Kampanye (APK) tidak bermanfaat, menambah beban kerja penyelenggara dan memboroskan anggaran negara. Kedelapan, penggunaan sistem pemilu proporsional terbuka sejak pemilu 2009, perlu dievaluasi.
Apakah sistem ini terbukti dapat menjamin kemurnian suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara yang dilaksanakan melalui pemilu, atau malah sebaliknya. Terakhir, UU Pemilu belum memberi ruang bagi kemajuan teknologi untuk mempermudah pelaksanaan pemilu, terutama pada pemungutan dan penghitungan suara.
Dalam pandangan Ketua Umum DPP PKB Abdul Muhaimin Iskandar, kata Luqman, deretan problematika aturan pemilu di atas, harus diperbaiki dengan matang, tidak terburu-buru serta membutuhkan keterlibatan aktif semua elemen masyarakat sipil.
"Agar keinginan mulia memperbaiki undang-undang pemilu dapat dihindarkan dari jebakan interes politik jangka pendek yang bersifat elitis, seperti yang sering terjadi pada pembahasan regulasi pemilu sebelumnya," tuturnya.
Sekretaris Bidang DPP PKB ini menambahkan, PKB melihat situasi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia saat ini, menjadi hambatan serius bagi upaya melibatkan partisipasi publik dalam pembahasan revisi UU Pemilu. Maka, seluruh energi dan sumber daya yang dimiliki bangsa saat ini sebaiknya dikerahkan untuk menangani pandemi Covid-19 dengan seluruh dampaknya, baik ekonomi, kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan masalah-masalah lain.
"Oleh karena itu, Ketua Umum DPP PKB memerintahkan Fraksi PKB di DPR RI agar menghentikan pembahasan draf RUU Pemilu yang saat ini sedang berjalan dan mendukung pilkada serentak nasional sesuai UU 10/2016 yakni November 2024," tegasnya.
"Terakhir, sebagai anggota Fraksi PKB yang ditugaskan menjadi pimpinan Komisi II, tentu saya akan melaksanakan perintah Ketua Umum DPP PKB yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara di atas segalanya," katanya lagi.
(Baca juga: Eks Komisioner KPU Sebut Motif Revisi UU Pemilu Jadi Rutinitas)
"PKB memandang upaya revisi Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, harus mencakup masalah-masalah mendasar yang menjadi temuan kekurangan pada pelaksanaan Pemilu 2019 kemarin," kata Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PKB Luqman Hakim kepada wartawan, Sabtu (6/2/2021).
(Baca juga: Takut Tersingkir Jadi Alasan Partai Besar dan Kecil Tolak RUU Pemilu)
Luqman memaparkan, setidaknya ada 9 persoalan. Pertama, banyaknya penyelenggara pemilu (paling banyak petugas KPPS) meninggal dunia pada pemilu 2019 akibat aturan penghitungan suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara. Kedua, praktik money politic pada pemilu 2019 makin masif dan besar angka rupiahnya jika dibandingkan pemilu 2014 dan 2009.
Ini disebabkan aturan penegakan hukum terhadap praktik money politic yang tidak tegas dan efektif. Ketiga, UU 7/2017 yang mengatur pemilu gagal mencapai tujuan memperkuat sistem presidensialisme dan penyederhanaan partai politik.
"Manuver Presiden Jokowi mengajak kubu Prabowo Subianto ke dalam koalisi pemerintah adalah upaya membangun efektifitas pemerintahan yang gagal dihasilkan pemilu," ujarnya.
(Baca juga: PBB Apresiasi Langkah Jokowi Tolak Revisi UU Pemilu)
Keempat, meskipun partisipasi politik perempuan mengalami banyak kemajuan, aturan pemilu belum cukup kuat memberikan afirmasi kepada kaum perempuan.Aturan pemilu hanya mewajibkan setiap tiga daftar caleg dalam satu daerah pemilihan harus ada unsur perempuan. Kelima, UU Pemilu tidak mengatur kewajiban domisili caleg di daerah pemilihan.
Sehingga hubungan anggota DPR dengan rakyat di daerah pemilihan yang diwakili, kadang menjadi longgar dan mengalami keterputusan.
Keenam, aturan pemilu 2019 belum memberi jaminan adanya persamaan beban pelayanan anggota DPR kepada rakyat yang diwakili secara berimbang. Anggota DPR adalah perwakilan rakyat, bukan mewakili daerah. Wakil kepentingan daerah sudah disediakan jalan melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Celakanya, jumlah rakyat yang harus dilayani kepentingannya oleh setiap anggota DPR tidak mencerminkan perimbangan.
"Contoh, satu kursi DPR dari Kalimantan Utara mewakili kepentingan 256.168 orang penduduk. Bandingkan dengan anggota DPR dari daerah pemilihan di wilayah Provinsi Jawa Barat yang merepresentasikan keterwakilan 548.745 jumlah penduduk," urai Luqman.
Ketujuh, aturan subsidi pembiayaan negara kepada peserta pemilu 2019 berupa pemberian Alat Peraga Kampanye (APK) tidak bermanfaat, menambah beban kerja penyelenggara dan memboroskan anggaran negara. Kedelapan, penggunaan sistem pemilu proporsional terbuka sejak pemilu 2009, perlu dievaluasi.
Apakah sistem ini terbukti dapat menjamin kemurnian suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara yang dilaksanakan melalui pemilu, atau malah sebaliknya. Terakhir, UU Pemilu belum memberi ruang bagi kemajuan teknologi untuk mempermudah pelaksanaan pemilu, terutama pada pemungutan dan penghitungan suara.
Dalam pandangan Ketua Umum DPP PKB Abdul Muhaimin Iskandar, kata Luqman, deretan problematika aturan pemilu di atas, harus diperbaiki dengan matang, tidak terburu-buru serta membutuhkan keterlibatan aktif semua elemen masyarakat sipil.
"Agar keinginan mulia memperbaiki undang-undang pemilu dapat dihindarkan dari jebakan interes politik jangka pendek yang bersifat elitis, seperti yang sering terjadi pada pembahasan regulasi pemilu sebelumnya," tuturnya.
Sekretaris Bidang DPP PKB ini menambahkan, PKB melihat situasi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia saat ini, menjadi hambatan serius bagi upaya melibatkan partisipasi publik dalam pembahasan revisi UU Pemilu. Maka, seluruh energi dan sumber daya yang dimiliki bangsa saat ini sebaiknya dikerahkan untuk menangani pandemi Covid-19 dengan seluruh dampaknya, baik ekonomi, kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan masalah-masalah lain.
"Oleh karena itu, Ketua Umum DPP PKB memerintahkan Fraksi PKB di DPR RI agar menghentikan pembahasan draf RUU Pemilu yang saat ini sedang berjalan dan mendukung pilkada serentak nasional sesuai UU 10/2016 yakni November 2024," tegasnya.
"Terakhir, sebagai anggota Fraksi PKB yang ditugaskan menjadi pimpinan Komisi II, tentu saya akan melaksanakan perintah Ketua Umum DPP PKB yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara di atas segalanya," katanya lagi.
(maf)