Di Awal Tahun 2021 Pemerintah Dinilai Kebobolan Lagi Lindungi PMI

Jum'at, 05 Februari 2021 - 11:13 WIB
loading...
Di Awal Tahun 2021 Pemerintah...
Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menilai pemerintah dan BP2MI kebobolan lagi dalam perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di awal 2021. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menilai pemerintah dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) kebobolan lagi dalam perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di awal tahun 2021. Sebab, Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mendapat laporan jika di awal tahun 2021 ini masih terjadi penempatan ilegal PMI.

(Baca juga: 158 Pekerja Migran Dipulangkan dari Berbagai Titik di Samudera Pasifik)

Mufida menyitir laporan adanya kasus penempatan ilegal PMI di beberapa wilayah kerja BP2MI antara lain Banjarbaru dan Kapuas Hulu. "Kami mendapat informasi ada keberangkatan PMI non prosedural ke Malaysia melalui jalan tikus di salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Jumat (5/2/2021).

(Baca juga: Indonesia Siapkan Sistem Penempatan Satu Kanal Pekerja Migran ke Arab Saudi)

Dia pun mengaku sangat prihatin dan miris hati mendengar info tersebut. "Kasihan teman-teman PMI yang sering tertipu, padahal teman-teman sudah keluar uang hanya untuk mendapat pekerjaan di negara lain dikarenakan sempitnya lapangan kerja di dalam negeri. Tak jarang dari PMI yang akan berangkat harus menjual aset keluarga atau bahkan berhutang. Negara harus hadir memberikan kemudahan jalan pada PMI," kata Mufida.
Baca Juga: Kasus Bupati Sabu Raijua, Pentingnya Sinergi Data Soal Kewarganegaraan Ganda

Menurut dia, kebobolan awal tahun ini harus diperbaiki dengan meningkatkan sistem screening di banyak pintu kekuar PMI, termasuk screening ke perusahaan pengiriman. Juga harus ditegakkan amanat Undang-Undang tentang sanksi terhadap pengirim PMI yang nonprosedural.
Baca Juga: Dua Minggu Pelaksanaan PPKM, Kasus Aktif Melandai dan Keterisian RS COVID-19 Menurun

Selain itu, kata dia, BP2MI bersama Kementerian Ketenagakerjaan harus secara intensif melakukan sosialisasi kepada para PMI yang akan pergi, khususnya selama pandemi. "Regulasi tentang pemberangkatan PMI, harus mudah diimplementasikan dengan biaya administrasi ditanggung oleh pemerintah," ujar Mufida.

Mufida pun menekankan, screening terhadap perusahaan pengiriman juga mutlak ditegakkan. Pengawasan bagi yang memperoleh izin juga tidak boleh dikendurkan. Hal ini harus ditingkatkan untuk melindungi PMI dari ancaman penipuan, pemerasan dan hal buruk lainnya.

"Di era pandemi ini beberapa pihak pengirim PMI, mungkin menggoda calon PMI dengan menjanjikan pekerjaan di luar negeri tetapi secara nonprosedural. Negara tidak boleh kalah dengan pengiriman PMI nonprosedural ini," kata Mufida.

Menurut dia, Negara harus menyiapkan sistem yang jauh lebih mudah dan membantu PMI agar tetap bisa mendapatkan kesempatan bekerja di luar negeri dengan aman dan terlindungi, khususnya di masa pandemi ini.

"Sampaikan dan tunjukkan jika proses bekerja di luar negeri lewat jalur resmi mudah dan terjamin aman. Adalah kewajiban negara untuk menyediakan layanan tersebut sebagai wujud perlindungan negara terhadap PMI," ujar Mufida.

Sekadar diketahui, pemberantasan Mafia Penempatan Ilegal PMI ke Luar Negeri merupakan program pertama dari 9 program Prioritas BP2MI. Program ini dinyatakan oleh kepala BP2MI sebagai fokus utama tahun pertama implementasi Rencana Strategis BP2MI 2020-2024.

Karena pengiriman ilegal ini menjadi akar permasalahan tata kelola PMI. BP2MI menginformasikan bahwa dari laporan tahun 2020, telah diterima sekitar 1.725 pengaduan, dimana 67,4 persen dari pengaduan tersebut tentang pemberangkan PMI secara illegal.

Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menilai Pemerintah Indonesia perlu segera meningkatkan upaya perlindungan awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di luar negeri, terutama kapal ikan berbendera Tiongkok. Pasalnya, sepanjang tahun 2020, Indonesia banyak kehilangan nyawa awak kapal perikanan yang bekerja di kapal ikan Tiongkok.

Mereka yang meninggal mayoritas merupakan korban kerja paksa dan perdagangan orang. Ironisnya, proses hukum kepada pelaku dan ganti rugi berupa pemenuhan hak-hak korban tidak pernah maksimal dilakukan.

Abdi mengatakan bahwa pihaknya mencatat sepanjang tahun 2020 terdapat 22 orang awak kapal perikanan Indonesia yang meninggal di kapal ikan berbendera Tiongkok. “Terdapat 22 orang Indonesia meninggal dan 3 diantaranya hilang di tengah laut dan sampai saat ini belum ditemukan,” kata Abdi.

Mereka yang meninggal rata-rata karena sakit, mengalami penyiksaan, kondisi kerja yang tidak layak dan keterlambatan penanganan. "Fasilitas kesehatan di kapal Ikan Tiongkok sangat buruk sehingga jika ada awak kapal yang sakit sering kali tidak mendapat perawatan medis dan ketersediaan obat yang terbatas," ujar Abdi.

Korban awak kapal perikanan asal Indonesia tersebut mayoritas bekerja di kapal ikan Tiongkok yang melakukan operasi penangkapan ikan di perairan internasional atau penangkap ikan jarak jauh (distant water fishing).

"Lokus kejadian atau meninggalnya korban terjadi ketika kapal mereka sedang mencari ikan di laut Oman, Samudera Pasifik, Kepulauan Fiji, Laut Afrika, Samudera Hindia, Laut Pakistan dan Australia," ungkap Abdi.

Pihaknya juga menemukan adanya praktik penyeludupan manusia yang terjadi kepada awak kapal perikanan asal Indonesia. “Mereka yang sakit dan meninggal biasanya dipindahkan ke kapal lain karena kapal tersebut tetap melanjutkan operasi penangkapan ikan,” imbuhnya.

Pada bulan Mei 2020, seorang awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di kapal Tiongkok dipindahkan ke kapal nelayan Pakistan karena sakit. “Korban akhirnya meninggal di sebuah kapal kecil milik nelayan di Karachi Pakistan” kata Abdi.
Dirinya juga mengungkapkan pada Agustus 2020, Kepolisian Daerah kepulauan Riau membongkar penyeludupan 3 jenazah awak kapal perikanan Indonesia. "3 orang jenazah di pulangkan tanpa prosedur resmi," kata Abdi.

Dia juga menyampaikan bahwa pemenuhan hak-hak korban dan proses hukum terhadap pelaku yang menyebabkan korban meninggal belum maksimal diberikan. "Beberapa dari mereka yang meninggal, gajinya masih belum dibayarkan sepenuhnya atau ditahan oleh pemberi kerja," ungkap Abdi.

Peneliti DFW Indonesia, Muh Arifuddin mengungkapkan dengan banyaknya kasus dan korban yang berjatuhan, pemerintah Indonesia belum melakukan aksi nyata untuk memperbaiki keadaan. “Setiap tahun pemerintah akhirnya sibuk mengurus ratusan bahkan ribuan awak kapal perikanan yang bermasalah di luar negeri yang sebenarnya bisa di mitigasi” kata Arif.

Pihaknya menyampaikan telah banyak saran dan rekomendasi yang disampaikan kepada pemerintah untuk memperbaiki keadaan ini. “Ego sektoral masih jadi masalah, tumpang tindih aturan dan minimnya pengawasan. Dalam kondisi ini Presiden Jokowi mesti turun tangan ikut menyelesaikan," pungkas Arif.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1320 seconds (0.1#10.140)