Wartawan Zaman Telex sampai 'Teler'
loading...
A
A
A
Eddy Koko
Wartawan dan Mengajar Jurnalistik di FISIP Unsri Palembang
BERSYUKUR kepada Tuhan, saya diberi pengalaman menjadi wartawan dari zaman masih pakai mesin pengirim berita telex sampai era telepon seluler alias “teler”. Pada zaman teler ini banyak juga wartawan “teler” beneran karena mendapat informasi berlimpah. Saking banyaknya informasi sampai bingung mana harus dipilih dan lupa rambu-rambu jurnalistik.
Waktu masih zaman telex, untuk dapat informasi, relatif susah. Sekarang informasi datang sendiri. Bahkan, ada yang merasa tidak perlu wawancara narasumber karena si narasumber sudah ngoceh sendiri di media sosial. Dulu cari berita pontang-panting naik bus karena sepeda motor masih barang mahal. Tarif bus kota pada 1981-an jauh dekat sama Rp30. Makan nasi soto campur Rp75, kalau baru dapat honor menulis di koran, makan nasi soto pisah Rp125. Tiap hari naik bus kota, ada Pelita Mas Jaya, PPD, Gamadi, Mayasari Bhakti, jadi hafal tulisan di atas kemudi, “Sesama Bus Kota Dilarang Saling Mendahului”. Kalau Metromini tidak ada tulisan tersebut dan terkenal ugal-ugalan sejak dulu.
Sekarang ini banyak juga wartawan kebut-kebutan adu cepat tayang di portal atau media online-nya sampai rambu jurnalistik dan etikanya ditabrak. Verifikasi sebagai esensi dari jurnalisme dilupakan. Begitu sudah tayang ternyata salah, jurusnya gampang: hapus saja.
Sampai 1987, saya masih berkutat dengan mesin telex untuk kirim berita ke redaksi dari luar kota. Tentu sulit menemukan mesin telex di tempat umum. Biasanya perusahaan dengan banyak cabang kantor, seperti bank, kantor pemerintahan, perdagangan dan sebagainya memasang telex di kantor. Kantor telepon menyediakan jasa pengiriman, antara lain di bawah Djakarta Theatre, sebelah Gedung Sarinah, sekarang jadi restoran pizza dan lainnya tetapi biaya disamakan dengan tarif telegram, bayar per kata. Mahal! Sudah diakali menulis tidak pakai spasi biar jadi satu kata, misal: demikiandilaporkandarijakarta, operator tetap hitung empat kata.
Telegram dikenal untuk kirim kabar darurat. Contoh: ayah meninggal dunia harap segera pulang. Cukup segitu kalimatnya, irit kata agar murah. Menghindari tarif mahal di kantor telepon, maka saya pinjam telex di kantor-kantor milik kenalan untuk kirim berita ke redaksi.
Banyak mesin telex di kantor-kantor dipakai sesekali, bahkan ada yang tidak pernah terpakai. Dipasang sekadar gengsi atau siapa tahu suatu hari perlu. Tidak banyak yang bisa mengoperasikan mesin telex. Meskipun tidak lancar, saya bisa karena ada di redaksi koran tempat bekerja dan tertarik menggunakannya. Harus diketik dahulu dalam bentuk pita kertas membentuk kode huruf bolong-bolong. Satu halaman A4 bisa sampai tiga meter panjangnya. Usai menciptakan tulisan bolong, kemudian pita dipasang di relnya. Putar nomor telex penerima, setelah tersambung pita dijalankan memandu huruf mesin ketik pada telex. Hasil yang diterima di telex redaksi sudah dalam bentuk lembar kertas tulisan. Suara mesin telex lumayan berisik.
Era Faksimile
Pada 1987 muncul alat mengherankan, faksimile. Bisa kirim copy lembaran kertas berisi persis dengan aslinya. Ini sangat membantu kerja wartawan untuk mengirim laporannya dari luar kota ke redaksi. Mesin faksimile pernah menjadi kebutuhan utama banyak kantor dan dipakai bukan sekadar pajangan seperti telex. Tetapi bertanya kepada generasi kelahiran 2005, sebagian besar, tidak mengenal mesin faksimile. Banyak kantor sudah tidak menggunakan. Tanda mesin faksimile tinggal kenangan.
Ketika mesin faksimile baru muncul, saya kembali ke loket warung telepon dan telegram di Djakarta Theatre. Sudah ada mesin faksimile di sana. Tetapi ketika menunjukkan lembar berisi ketikan berita dua halaman penuh, sengaja menggunakan format satu spasi agar padat, petugas loket kaget. Ditolak. Alasannya Telkom bisa rugi karena hanya butuh sekian detik pulsa untuk mesin faksimile mengirim berita sepanjang itu yang sebelumnya dengan menggunakan telex bisa sampai sepuluh menit pulsa SLJJ (sambungan langsung jarak jauh).
Petugas wartel (warung telekomunikasi) tetap minta bayar per kata. Saya kembali ke mesin telex lagi. Tidak lama kemudian muncul banyak wartel menyediakan jasa saluran telepon dan mesin faksimile, berkembang menjadi warnet (warung internet), sekarang jadi usaha permainan game.
Wartawan dan Mengajar Jurnalistik di FISIP Unsri Palembang
BERSYUKUR kepada Tuhan, saya diberi pengalaman menjadi wartawan dari zaman masih pakai mesin pengirim berita telex sampai era telepon seluler alias “teler”. Pada zaman teler ini banyak juga wartawan “teler” beneran karena mendapat informasi berlimpah. Saking banyaknya informasi sampai bingung mana harus dipilih dan lupa rambu-rambu jurnalistik.
Waktu masih zaman telex, untuk dapat informasi, relatif susah. Sekarang informasi datang sendiri. Bahkan, ada yang merasa tidak perlu wawancara narasumber karena si narasumber sudah ngoceh sendiri di media sosial. Dulu cari berita pontang-panting naik bus karena sepeda motor masih barang mahal. Tarif bus kota pada 1981-an jauh dekat sama Rp30. Makan nasi soto campur Rp75, kalau baru dapat honor menulis di koran, makan nasi soto pisah Rp125. Tiap hari naik bus kota, ada Pelita Mas Jaya, PPD, Gamadi, Mayasari Bhakti, jadi hafal tulisan di atas kemudi, “Sesama Bus Kota Dilarang Saling Mendahului”. Kalau Metromini tidak ada tulisan tersebut dan terkenal ugal-ugalan sejak dulu.
Sekarang ini banyak juga wartawan kebut-kebutan adu cepat tayang di portal atau media online-nya sampai rambu jurnalistik dan etikanya ditabrak. Verifikasi sebagai esensi dari jurnalisme dilupakan. Begitu sudah tayang ternyata salah, jurusnya gampang: hapus saja.
Sampai 1987, saya masih berkutat dengan mesin telex untuk kirim berita ke redaksi dari luar kota. Tentu sulit menemukan mesin telex di tempat umum. Biasanya perusahaan dengan banyak cabang kantor, seperti bank, kantor pemerintahan, perdagangan dan sebagainya memasang telex di kantor. Kantor telepon menyediakan jasa pengiriman, antara lain di bawah Djakarta Theatre, sebelah Gedung Sarinah, sekarang jadi restoran pizza dan lainnya tetapi biaya disamakan dengan tarif telegram, bayar per kata. Mahal! Sudah diakali menulis tidak pakai spasi biar jadi satu kata, misal: demikiandilaporkandarijakarta, operator tetap hitung empat kata.
Telegram dikenal untuk kirim kabar darurat. Contoh: ayah meninggal dunia harap segera pulang. Cukup segitu kalimatnya, irit kata agar murah. Menghindari tarif mahal di kantor telepon, maka saya pinjam telex di kantor-kantor milik kenalan untuk kirim berita ke redaksi.
Banyak mesin telex di kantor-kantor dipakai sesekali, bahkan ada yang tidak pernah terpakai. Dipasang sekadar gengsi atau siapa tahu suatu hari perlu. Tidak banyak yang bisa mengoperasikan mesin telex. Meskipun tidak lancar, saya bisa karena ada di redaksi koran tempat bekerja dan tertarik menggunakannya. Harus diketik dahulu dalam bentuk pita kertas membentuk kode huruf bolong-bolong. Satu halaman A4 bisa sampai tiga meter panjangnya. Usai menciptakan tulisan bolong, kemudian pita dipasang di relnya. Putar nomor telex penerima, setelah tersambung pita dijalankan memandu huruf mesin ketik pada telex. Hasil yang diterima di telex redaksi sudah dalam bentuk lembar kertas tulisan. Suara mesin telex lumayan berisik.
Era Faksimile
Pada 1987 muncul alat mengherankan, faksimile. Bisa kirim copy lembaran kertas berisi persis dengan aslinya. Ini sangat membantu kerja wartawan untuk mengirim laporannya dari luar kota ke redaksi. Mesin faksimile pernah menjadi kebutuhan utama banyak kantor dan dipakai bukan sekadar pajangan seperti telex. Tetapi bertanya kepada generasi kelahiran 2005, sebagian besar, tidak mengenal mesin faksimile. Banyak kantor sudah tidak menggunakan. Tanda mesin faksimile tinggal kenangan.
Ketika mesin faksimile baru muncul, saya kembali ke loket warung telepon dan telegram di Djakarta Theatre. Sudah ada mesin faksimile di sana. Tetapi ketika menunjukkan lembar berisi ketikan berita dua halaman penuh, sengaja menggunakan format satu spasi agar padat, petugas loket kaget. Ditolak. Alasannya Telkom bisa rugi karena hanya butuh sekian detik pulsa untuk mesin faksimile mengirim berita sepanjang itu yang sebelumnya dengan menggunakan telex bisa sampai sepuluh menit pulsa SLJJ (sambungan langsung jarak jauh).
Petugas wartel (warung telekomunikasi) tetap minta bayar per kata. Saya kembali ke mesin telex lagi. Tidak lama kemudian muncul banyak wartel menyediakan jasa saluran telepon dan mesin faksimile, berkembang menjadi warnet (warung internet), sekarang jadi usaha permainan game.