Mendesak! Faskes dan Tempat Isolasi Pasien Covid-19 Harus Ditambah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat ( PPKM ) tidak efektif. Akibatnya kamar perawatan untuk pasien Covid-19 di rumah sakit terus menipis.
Sejak Desember tahun lalu hingga awal tahun ini, lonjakan orang-orang yang terpapar Covid-19 sulit dibendung. Kasus Covid-19 dalam dua hari ke belakang adalah 14.518 dan 12.001 orang. Orang yang meninggal dalam dua hari itu mencapai 480. Bahkan, pada 28 Januari 2021, pasien Covid-19 yang meninggal dunia sebanyak 476 orang.
Rabu pekan lalu, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Yankes Kemenkes) Abdul Kadir mengungkapkan tingkat keterisian rumah sakit (RS) rujukan Covid-19 di beberapa tempat sudah mencapai 80 persen. Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet di Jakarta, pusat karantina terbesar untuk pasien Covid-19 tanpa gejala (OTG) hingga gejala sedang, sudah mulai penuh.
(Baca: 12.001 Kasus Baru, Total 1.078.314 Orang Positif Covid-19)
Dari kapasitas 5.994 tempat tidur, sudah terpakai 4.653 unit. Awal tahun ini, masyarakat dibuat terhenyak oleh temuan Lapor Covid-19 yang mengungkapkan ada orang yang positif Covid-19 meninggal di Depok meninggal di taksi daring. Sedihnya lagi, orang tersebut dan keluarganya sudah berusaha mencari ruang perawatan ke 10 RS, tetapi hasilnya nihil.
Lonjakan kasus ini tentunya harus dihentikan. Ini memerlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan berbagai kebijakan pemerintah mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tidak berjalan.
“Semua kebijakan itu umumnya top-down, cenderung masyarakat dipaksakan. Seharusnya kebijakan itu dibalik bottom-up, masyarakat diajak. Itu masalahnya yang membuat minimnya partisipasi publik dalam menanggulangi Covid-19. Apapun kebijakan, PSBB, PPKM, nanti mau mikro lockdown, itu tidak akan efektif kalau masyarakat tidak berpartisipasi,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Minggu (31/1/2021).
(Baca: Presiden Sebut Jilid Pertama PPKM Tak Efektif, Ganjar Usul Digelar Serentak)
Pemerintah, menurut Trubus, sekarang harus membuat road map dan time schedule untuk karantina wilayah selama 1-2 bulan ke depan. Kebijakan ini tidak bisa hanya diucapkan di atas, tetapi harus diikuti pengawasan ketat di lapangan. Sampai saat ini, pemerintah pusat memang sepertinya enggak melakukan karantina wilayah. Padahal, penambahan kasus, terutama di Pulau Jawa, saban hari cukup tinggi.
Trubus mendorong pemerintah daerah untuk memotong berbagai anggaran yang tak penting. Kemudian, dialokasi ke sektor kesehatan dengan menambah kamar, obat, dan fasilitas lain untuk menangani pasien Covid-19. Untuk meredam penambahan kasus ini, salah satunya langkahnya mempercepat vaksinasi. Sayangnya, vaksinasi tahap awal kepada tenaga kesehatan (nakes) saja berjalan lambat.
Jumlah nakes yang divaksinasi dalam dua pekan ini sebanyak 416.299 orang. Padahal jumlah penduduk Indonesia yang harus divaksinasi agar mencapai kekebalan imunitas minimal 182 juta orang. Para epidemiolog sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu menggantung pada vaksin. Yang harus dilakukan adalah memperkuat 3T (testing, tracing, dan treatment) dan 3M (menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan).
(Baca: Vaksin AstraZeneca Tahap Pertama Diperkirakan Tiba di Kuartal I/2021)
Pemerintah juga diminta memperkuat fasilitas kesehatan (faskes). Covid-19 nyaris setahun berada di Tanah Air, tapi tak ada penguatan yang cukup signifikan. Masyarakat masih kerap kesulitan mendapatkan layanan kesehatan di RS bahkan tempat karantina. Untuk mengatasi itu, Kemenkes meluncurkan aplikasi Sistem Informasi Rawat Inap (Siranap). Trubus pesimis aplikasi ini bisa mengatasi kesulitan masyarakat.
Minggu (31/1/2021), SINDOnews melihat keterisian kamar di beberapa RS rujukan Covid-19 melalui aplikasi Siranap. Misal di RS Fatmawati Jakarta, ruang isolasi tanpa tekanan negatif tersisa 5 dari 46 kamar yang dimiliki. Ruang isolasi tekanan negatif hanya tersisa 1 dari 57 kamar yang ada.
Kemudian, RS Persahabatan Jakarta masih ada 37 ruang isolasi tekanan negatif. RS di kawasan Rawamangun ini memiliki 198 ruang isolasi bertekanan negatif. Di RS Sulianti Suroso masih ada 9 ruang isolasi tanpa tekanan negatif, 9 ruang tekanan negatif, dan ICU tekanan negatif dengan ventilator 2 ruang. Namun, ICU tekanan negatif tanpa ventilatornya penuh.
(Baca: Tempat Tidur Rumah Sakit Penuh, Kasus COVID-19 di Karawang Malah Bertambah)
Dosen Universitas Trisakti itu menyatakan penanganan yang efektif saat ini adalah mengarahkan pasien Covid-19, khususnya, yang OTG hingga gejala ringan di tempat isolasi mandiri, baik di hotel maupun di pusat karantina yang disediakan pemerintah. Nanti, nakes akan melakukan pemeriksaan secara rutin kepada mereka.
“Bisa di hotel dan apartemen kosong itu bisa dipakai. Bisa saja di rumah warga. Diwajibkan saja, tiap RT menyediakan tempat isolasi mandiri. Enggak bisa (rumah), apalagi rumahnya berdempetan dengan tetangga. Setiap RT mengusahakan tempat, beberapa rumah untuk isolasi,” pungkasnya.
Sejak Desember tahun lalu hingga awal tahun ini, lonjakan orang-orang yang terpapar Covid-19 sulit dibendung. Kasus Covid-19 dalam dua hari ke belakang adalah 14.518 dan 12.001 orang. Orang yang meninggal dalam dua hari itu mencapai 480. Bahkan, pada 28 Januari 2021, pasien Covid-19 yang meninggal dunia sebanyak 476 orang.
Rabu pekan lalu, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Yankes Kemenkes) Abdul Kadir mengungkapkan tingkat keterisian rumah sakit (RS) rujukan Covid-19 di beberapa tempat sudah mencapai 80 persen. Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet di Jakarta, pusat karantina terbesar untuk pasien Covid-19 tanpa gejala (OTG) hingga gejala sedang, sudah mulai penuh.
(Baca: 12.001 Kasus Baru, Total 1.078.314 Orang Positif Covid-19)
Dari kapasitas 5.994 tempat tidur, sudah terpakai 4.653 unit. Awal tahun ini, masyarakat dibuat terhenyak oleh temuan Lapor Covid-19 yang mengungkapkan ada orang yang positif Covid-19 meninggal di Depok meninggal di taksi daring. Sedihnya lagi, orang tersebut dan keluarganya sudah berusaha mencari ruang perawatan ke 10 RS, tetapi hasilnya nihil.
Lonjakan kasus ini tentunya harus dihentikan. Ini memerlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan berbagai kebijakan pemerintah mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tidak berjalan.
“Semua kebijakan itu umumnya top-down, cenderung masyarakat dipaksakan. Seharusnya kebijakan itu dibalik bottom-up, masyarakat diajak. Itu masalahnya yang membuat minimnya partisipasi publik dalam menanggulangi Covid-19. Apapun kebijakan, PSBB, PPKM, nanti mau mikro lockdown, itu tidak akan efektif kalau masyarakat tidak berpartisipasi,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Minggu (31/1/2021).
(Baca: Presiden Sebut Jilid Pertama PPKM Tak Efektif, Ganjar Usul Digelar Serentak)
Pemerintah, menurut Trubus, sekarang harus membuat road map dan time schedule untuk karantina wilayah selama 1-2 bulan ke depan. Kebijakan ini tidak bisa hanya diucapkan di atas, tetapi harus diikuti pengawasan ketat di lapangan. Sampai saat ini, pemerintah pusat memang sepertinya enggak melakukan karantina wilayah. Padahal, penambahan kasus, terutama di Pulau Jawa, saban hari cukup tinggi.
Trubus mendorong pemerintah daerah untuk memotong berbagai anggaran yang tak penting. Kemudian, dialokasi ke sektor kesehatan dengan menambah kamar, obat, dan fasilitas lain untuk menangani pasien Covid-19. Untuk meredam penambahan kasus ini, salah satunya langkahnya mempercepat vaksinasi. Sayangnya, vaksinasi tahap awal kepada tenaga kesehatan (nakes) saja berjalan lambat.
Jumlah nakes yang divaksinasi dalam dua pekan ini sebanyak 416.299 orang. Padahal jumlah penduduk Indonesia yang harus divaksinasi agar mencapai kekebalan imunitas minimal 182 juta orang. Para epidemiolog sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu menggantung pada vaksin. Yang harus dilakukan adalah memperkuat 3T (testing, tracing, dan treatment) dan 3M (menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan).
(Baca: Vaksin AstraZeneca Tahap Pertama Diperkirakan Tiba di Kuartal I/2021)
Pemerintah juga diminta memperkuat fasilitas kesehatan (faskes). Covid-19 nyaris setahun berada di Tanah Air, tapi tak ada penguatan yang cukup signifikan. Masyarakat masih kerap kesulitan mendapatkan layanan kesehatan di RS bahkan tempat karantina. Untuk mengatasi itu, Kemenkes meluncurkan aplikasi Sistem Informasi Rawat Inap (Siranap). Trubus pesimis aplikasi ini bisa mengatasi kesulitan masyarakat.
Minggu (31/1/2021), SINDOnews melihat keterisian kamar di beberapa RS rujukan Covid-19 melalui aplikasi Siranap. Misal di RS Fatmawati Jakarta, ruang isolasi tanpa tekanan negatif tersisa 5 dari 46 kamar yang dimiliki. Ruang isolasi tekanan negatif hanya tersisa 1 dari 57 kamar yang ada.
Kemudian, RS Persahabatan Jakarta masih ada 37 ruang isolasi tekanan negatif. RS di kawasan Rawamangun ini memiliki 198 ruang isolasi bertekanan negatif. Di RS Sulianti Suroso masih ada 9 ruang isolasi tanpa tekanan negatif, 9 ruang tekanan negatif, dan ICU tekanan negatif dengan ventilator 2 ruang. Namun, ICU tekanan negatif tanpa ventilatornya penuh.
(Baca: Tempat Tidur Rumah Sakit Penuh, Kasus COVID-19 di Karawang Malah Bertambah)
Dosen Universitas Trisakti itu menyatakan penanganan yang efektif saat ini adalah mengarahkan pasien Covid-19, khususnya, yang OTG hingga gejala ringan di tempat isolasi mandiri, baik di hotel maupun di pusat karantina yang disediakan pemerintah. Nanti, nakes akan melakukan pemeriksaan secara rutin kepada mereka.
“Bisa di hotel dan apartemen kosong itu bisa dipakai. Bisa saja di rumah warga. Diwajibkan saja, tiap RT menyediakan tempat isolasi mandiri. Enggak bisa (rumah), apalagi rumahnya berdempetan dengan tetangga. Setiap RT mengusahakan tempat, beberapa rumah untuk isolasi,” pungkasnya.
(muh)