11 Bulan Pandemi, RS Isolasi Belum Ada Solusi

Senin, 01 Februari 2021 - 05:36 WIB
loading...
11 Bulan Pandemi, RS Isolasi Belum Ada Solusi
Pandemi Covid-19 yang masih terjadi memerlukan kesiapan yang lebih baik dari sisi layanan kesehatan. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Tangisan dan kepiluan para pasien Covid-19 tak kunjung henti akibat kebingungan mendapatkan rumah sakit (RS) rujukan untuk perawatan atau isolasi. Tak sedikit mereka akhirnya pasrah dan meninggal di tengah jalan. Genap 11 bulan pandemi , model penanganan masih saja tampak gelagapan.

Pengelolaan rumah sakit rujukan atau isolasi tak henti menjadi sorotan. Dari soal ruangan yang kian terbatas atau penuh, tak berfungsinya sistem rujukan, koordinasi antar daerah kacau hingga data ketersediaan ruangan yang tak akurat.

Di tengah sengkarut pengelolaan ruang isolasi ini, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria pekan lalu mengaku RS isolasi di wilayahnya hampir penuh karena banyak diisi pasien dari luar wilayahnya. Dari hitungannya, ada sekitar 30% pasien non Jakarta yang kini harus dirawat di RS ibu kota.

(Baca juga: Apresiasi Penggali Makam Covid-19, Wagub DKI: Terus Semangat, Tuntas, dan Ikhlas )

Guna mengatasi masalah ini, Riza bahkan meminta bantuan pemerintah pusat agar turun tangan. Lewat Menteri Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Riza meminta pusat segera membantu fasilitas RS di daerah sekitar Jakarta, yakni Bogor, Tangerang dan Bekasi. Harapan Riza, ke depan pasien luar Jakarta tak lagi memenuhi ruang-ruang RS di wilayahnya.

Namun usulan Ahmad Riza ini dianggap Wali Kota Bogor Bima Arya bukan langkah tepat. Dia juga menyebut, sekitar 40% pasien di sejumlah RS rujukan di Bogor diketahui juga tinggal di kota ini. Toh demikian, tingkat keterisian tempat tidur (bed occupancy rate) bisa turun dari 82 ke 69%.

(Baca juga: COVID-19 Masih Sulit Dikendalikan, Pemerintah Terapkan Karantina RT dan RW )

Dalam sepekan terakhir, positivity rate atau persentase kasus positif di Jakarta mencapai 17,9%. Sedangkan persentase kasus positif secara total sebesar 9,6%. WHO menetapkan standar persentase kasus positif tidak lebih dari 5%.

Kisruh penanganan ruang isolasi ini terus saja jadi tarik ulur. Di sisi lain, jumlah pasien yang berebut mendapat ruangan juga tak berkesudahan. Di beberapa daerah, seperti Depok, Tangerang Selatan, Kediri, beberapa pasien bahkan meninggal di jalan karena tak kunjung mendapat ruang perawatan.

Sejak Desember 2020 hingga awal tahun ini, lonjakan orang yang terpapar Covid-19 sulit dibendung. Rabu pekan lalu, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Abdul Kadir mengungkapkan tingkat keterisian RS rujukan di beberapa tempat sudah mencapai 80%. Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet di Jakarta, pusat karantina terbesar untuk pasien Covid-19 tanpa gejala (OTG) hingga gejala sedang, pun sudah mulai penuh. Dari kapasitas 5.994 tempat tidur, sudah terpakai 4.653 unit.

(Baca juga: Tim WHO Kunjungi Rumah Sakit Wuhan di Bawah Kontrol Ketat China )

Lonjakan kasus ini tentunya harus dihentikan. Ini memerlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Sayang, berbagai kebijakan pemerintah mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga terakhir pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tidak berjalan.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan terang menyatakan, implementasi PPKM tidak tegas dan tidak konsisten. "Saya ingin menyampaikan yang berkaitan dengan PPKM tanggal 11 Januari-25 Januari. Kita harus ngomong apa adanya, ini tidak efektif. Mobilitas masih tinggi karena indeks mobility-nya ada. Di beberapa provinsi, Covid-nya masih naik," kata Jokowi dalam video rapat terbatas di Istana Bogor yang dipublikasi kemarin.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan berbagai kebijakan pemerintah mulai besar (PSBB) hingga PPKM tidak berjalan. Semua kebijakan itu umumnya top down, cenderung masyarakat dipaksakan. “Seharusnya kebijakan itu dibalik bottom up, masyarakat diajak. Itu masalahnya yang membuat minimnya partisipasi publik,” ujarnya.

Pemerintah, menurut Trubus, sekarang harus membuat road map dan time schedule untuk karantina wilayah selama 1-2 bulan ke depan. Kebijakan ini tidak bisa hanya diucapkan, tetapi harus diikuti pengawasan ketat di lapangan. Sampai saat ini, pemerintah pusat memang sepertinya enggak melakukan karantina wilayah. Padahal, penambahan kasus, terutama di Pulau Jawa, saban hari cukup tinggi.

Trubus mendorong pemerintah daerah untuk memotong berbagai anggaran yang tak penting. Anggaran kemudian dialokasikan ke sektor kesehatan dengan menambah kamar, obat, dan fasilitas lain untuk menangani pasien Covid-19. Untuk meredam penambahan kasus ini, salah satunya langkahnya mempercepat vaksinasi. Sayangnya, vaksinasi tahap awal kepada tenaga kesehatan (nakes) saja berjalan lambat.

Jumlah nakes yang divaksinasi dalam dua pekan ini sebanyak 416.299 orang. Padahal jumlah penduduk Indonesia yang harus divaksinasi agar mencapai kekebalan imunitas minimal 182 juta orang. Para epidemiolog sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu menggantung pada vaksin. Yang harus dilakukan adalah memperkuat 3T yakni testing, tracing, dan treatment) dan 3M yaitu menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan.

Pemerintah juga diminta memperkuat fasilitas kesehatan (faskes). Covid-19 nyaris setahun berada di Tanah Air, tapi tak ada penguatan yang cukup signifikan. Masyarakat masih kerap kesulitan mendapatkan layanan kesehatan di RS bahkan tempat karantina. Untuk mengatasi itu, Kemenkes meluncurkan aplikasi Sistem Informasi Rawat Inap RS (Siranap RS). Namun Trubus pesimistis aplikasi ini bisa mengatasi kesulitan masyarakat.

KORAN SINDO, kemarin melihat keterisian kamar di beberapa RS rujukan Covid-19 melalui aplikasi Siranap RS. Misal di RS Fatmawati Jakarta, ruang isolasi tanpa tekanan negatif tersisa 5 dari 46 kamar yang dimiliki. Ruang isolasi tekanan negatif hanya tersisa 1 dari 57 kamar yang ada. Kemudian, RS Persahabatan Jakarta masih ada 37 ruang isolasi tekanan negatif. RS di kawasan Rawamangun ini memiliki 198 ruang isolasi bertekanan negatif. Di RS Sulianti Saroso masih ada 9 ruang isolasi tanpa tekanan negatif, 9 ruang tekanan negatif, dan ICU tekanan negatif dengan ventilator 2 ruang. Namun, ICU tekanan negatif tanpa ventilatornya penuh.

Trubus menerangkan alasan di balik Siranap tidak berjalan efektif. Dia menduga RS kerap menutupi kamar kosong. Kemenkes harus mengawasi dugaan praktik ini. Dosen Universitas Trisakti itu menyatakan penanganan yang efektif saat ini adalah mengarahkan pasien Covid-19, khususnya, yang OTG hingga gejala ringan di tempat isolasi mandiri, baik di hotel maupun di pusat karantina yang disediakan pemerintah. “Tiap RT juga bisa menyediakan tempat isolasi mandiri,” terang dia.

Pakar kesehatan Hermawan Saputra meminta pemerintah tidak sekadar fokus pada program vaksinasi. Dia mengingatkan kondisi yang harus diprioritaskan pemerintah adalah menangani kedaruratan kapasitas layanan kesehatan untuk menangani pasien.

“Sekarang ini kedaruratan kapasitas layanan. Kita harus menambah fasilitas seperti fasilitas rawat inap, ruang isolasi di rumah sakit, dan fasilitas isolasi mandiri. Yang lebih tragis lagi menyebabkan kematian tinggi ini karena (pemakaian) ruang ICU,” ujarnya.

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) itu menilai pemerintah perlu merekomendasikan kepada seluruh RS, termasuk yang bukan rujukan Covid-19, untuk memanfaatkan penggunaan ruang ICU bagi penanganan Covid-19. Namun, harus ada alur dan protokol tersendiri dibandingkan bagi pasien umum.

“Kalau pasien Covid sudah stabil, dia bisa dirawat di rumah sakit lain. Itu prinsipnya, karena berkaitan dengan life saving. Apalagi kasus kematian (mortality) kita tinggi karena tidak tertangani,” terang dia.

Hermawan juga menyarankan Kementerian Kesehatan bersama Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) bersama organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mengevaluasi clinical effectiveness. Sebab, banyak pasien Covid-19 yang ditengarai menjalani perawatan melebihi 14 hari.

“Kalau merawat lebih dari itu ada dua kemungkinan yaitu proses terapinya yang tidak tepat atau memang ada standar DPJP yang belum memulangkan pasien untuk alasan tertentu,” jelas dia.

Dia juga menilai pemerintah daerah perlu menguatkan sistem informasi kesehatan di wilayahnya. Menurutnya, kesehatan merupakan bagian dari desentralisasi yang harus ditangani pemerintah daerah. Dinas kesehatan daerah dapat meningkatkan sistem informasi seperti Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT).
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2790 seconds (0.1#10.140)