American Muslim & a Lost Generation
loading...
A
A
A
Kedua, visi hidup yang salah tadi menjadikan gaya hidup yang tidak lagi peduli dengan agama. Agama bagi sebagian warga Muslim seolah seremoni musiman. Beragama di saat Idul Fitri atau Idul Adha. Atau seringkali agama sekedar hiburan dan/atau pelampiasan. Hadir di pengajian atau kajian karena ajang kumpul dengan sesaman teman yang disukai.
Gaya hidup seperti ini melahirkan kelalaian dalam beragama. Dan salah satu dampak terbesar dari kelalaian itu adalah hilangnya perhatian kepada anak-anak (generasi). Generasi yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup akan lambat laun tapi pasti semakin tidak peduli dengan agamanya.
Ketiga, gaya hidup yang tidak peduli dengan agama itu akan semakin memperbudak sehingga manusia semakin hanyut dalam rutinitas kesibukan mencari dunia yang tiada ujung. Kerja, kerja dan kerja, menjadi motto hidup. Tapi kerja dengan visi yang salah berakibat fatal.
Betapa banyak orang tua imigran yang bekerja keras, membanting tulang siang dan malam untuk mencari dunia. Bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun menghabiskan umur memburu dunia. Tapi anak (generasi) tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Mengakibatkan hilangnya jati diri (identity) generasi itu.
Keempat, perhatian agama yang cenderung bersifat seremonial sesaat. Agama ibaratnya obat instan sesaat. Jika sedang sakit kepala minum panadol niscaya kepala akan menjadi ringan.
Di sinilah para kelompok pengajian atau masjid-masjid sering fokus mendatangkan guru-guru ngaji yang bisa mengajarkan dzikir-dzikir. Para orang tua kemudian diajari dzikir berjamaah. Tapi anak-anak dan generasi mudah tertelantarkan. Apalagi jika guru-guru yang didatangkan itu, tidak saja secara bahasa inkapabel. Tapi juga ada cultural gap (wawasan budaya yang berbeda) dengan generais muda.
Dengan situasi seperti itu, generasi pertama imigran Muslim harusnya berimajinasi 10, 20 atau 30 tahun mendatang. Kira-kira siapa lagi yang akan meramaikan majelis-majelis dzikir dan kajian-kajian agama itu?
Kelima, kegagalan melakukan perubahan (adjustment) dengan keadaan yang berbeda. Amerika adalah Amerika dan bukan lagi negara asal. Barangkali kelompok pengajian atau masjid dikelolah secara kelompok nasinalitas (asal negara). Tapi satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah kenyataan bahwa kita telah hidup di sebuah negara dan bangsa yang punya karakter dan kecenderungan tersendiri.
Mengelolah pengajian dan/atau masjid dengan tribal mindset (pemahaman Kesukuan atau Kebangsaan) akan menjadikan generasi kita merasa tersudutkan. Pergaulan dan dunia mereka jauh lebih luas dari dinding-dinding kabilah dan kebangsaan.
Akibatnya generasi muda akan melihat bahwa kegiatan pengajian atau masjid bukan rumah mereka (they don’t belong to). Ada gap kejiwaan antara mereka dan pengajian (masjid) yang dikelolah secara tribal itu. Apalagi dengan wawasan dan kultur yang tidak lagi menjadi bagian diri mereka secara dominan.
Gaya hidup seperti ini melahirkan kelalaian dalam beragama. Dan salah satu dampak terbesar dari kelalaian itu adalah hilangnya perhatian kepada anak-anak (generasi). Generasi yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup akan lambat laun tapi pasti semakin tidak peduli dengan agamanya.
Ketiga, gaya hidup yang tidak peduli dengan agama itu akan semakin memperbudak sehingga manusia semakin hanyut dalam rutinitas kesibukan mencari dunia yang tiada ujung. Kerja, kerja dan kerja, menjadi motto hidup. Tapi kerja dengan visi yang salah berakibat fatal.
Betapa banyak orang tua imigran yang bekerja keras, membanting tulang siang dan malam untuk mencari dunia. Bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun menghabiskan umur memburu dunia. Tapi anak (generasi) tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Mengakibatkan hilangnya jati diri (identity) generasi itu.
Keempat, perhatian agama yang cenderung bersifat seremonial sesaat. Agama ibaratnya obat instan sesaat. Jika sedang sakit kepala minum panadol niscaya kepala akan menjadi ringan.
Di sinilah para kelompok pengajian atau masjid-masjid sering fokus mendatangkan guru-guru ngaji yang bisa mengajarkan dzikir-dzikir. Para orang tua kemudian diajari dzikir berjamaah. Tapi anak-anak dan generasi mudah tertelantarkan. Apalagi jika guru-guru yang didatangkan itu, tidak saja secara bahasa inkapabel. Tapi juga ada cultural gap (wawasan budaya yang berbeda) dengan generais muda.
Dengan situasi seperti itu, generasi pertama imigran Muslim harusnya berimajinasi 10, 20 atau 30 tahun mendatang. Kira-kira siapa lagi yang akan meramaikan majelis-majelis dzikir dan kajian-kajian agama itu?
Kelima, kegagalan melakukan perubahan (adjustment) dengan keadaan yang berbeda. Amerika adalah Amerika dan bukan lagi negara asal. Barangkali kelompok pengajian atau masjid dikelolah secara kelompok nasinalitas (asal negara). Tapi satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah kenyataan bahwa kita telah hidup di sebuah negara dan bangsa yang punya karakter dan kecenderungan tersendiri.
Mengelolah pengajian dan/atau masjid dengan tribal mindset (pemahaman Kesukuan atau Kebangsaan) akan menjadikan generasi kita merasa tersudutkan. Pergaulan dan dunia mereka jauh lebih luas dari dinding-dinding kabilah dan kebangsaan.
Akibatnya generasi muda akan melihat bahwa kegiatan pengajian atau masjid bukan rumah mereka (they don’t belong to). Ada gap kejiwaan antara mereka dan pengajian (masjid) yang dikelolah secara tribal itu. Apalagi dengan wawasan dan kultur yang tidak lagi menjadi bagian diri mereka secara dominan.